Recent Story

Serpihan Gelap [ Tiga ] *kematian Raynald*


Tittle :: Serpihan Gelap (SerGap) 
Author :: Frisca Ay 
Genre :: Romance, Family Complex, Adult(tapi Untuk Semua Umur) 

PS :: Mohon Maaf Apabila Ada Kesamaan Nama Tokoh Dan Latar Belakang, Ini Murni Untuk Kepuasaan Belaka..... 
Langsung ajj yuk .. 
Keep Reading 'n' Enjoy 


******* 

Ify mengernyitkan keningnya, perlahan membuka kedua bola matanya. Ia masih bingung berada dimana Ia saat ini, pelan-pelan matanya mulai menelusuri setiap sudut ruangan. Namun tetap, Ia tidak tahu berada dimana saat ini. Samar-sama Ia mendengar suara air, sepertinya ada seseorang yang tengah mandi. Seketika Ify menegang, saat mendapati dirinya dibalik selimut tebal berwarna putih bersih. 

Jantungnya seketika berdebar cepat, nafasnya memburu, desiran darahnya juga ikut serta meramaikan ketegangan dirinya saat ini. 'Glek. Ia menelan ludahnya secara paksa, berusaha mengingat kejadian-kejadian sebelum ini. "Mabuk?" Hanya sebatas itu yang baru diingatnya, setelah itu semuanya gelap bagai kepingan-kepingan Puzzle yang sulit dipecahkan. 

"Kau sudah bangun rupanya, perempuan pemalas." Ify tersentak, mengalihkan pandangannya pada sumber suara. Mendapati Pria tampan yang sama, Pria yang sangat begitu Ia benci mulai saat ini. Dan Ify? Akan berusaha untuk berontak! Pria itu hanya mengenakan handuk putih menutupi sebagian tubuhnya yang....Shitt. Kembali Ify meneguk ludahnya, "bagaimana aku bisa disini? Ini dimana?!" Ia berusaha untuk menampakkan nada marah, walaupun terdengar bergetar dan ketakutan. Tapi setidaknya, itu mampu membuat Pria arogan dan sombong itu tidak memandangnya sebagai perempuan lemah. 

"Oh, jadi kau lupa akan adegan semalam? Apa aku harus menjelaskan secara detail pada mu?" Seketika wajah Ify memucat, debaran jantungnya kembali memompa cepat. Apa yang dikatan Pria Gila itu? Adegan apa? Damn. Kenapa sedikit saja Ia tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi, ini semua karena minuman pemabuk itu. Pria brengsek! 

"Bagaimana pun usaha mu untuk mengingat, kau tidak akan pernah tahu ataupun mengingatnya. Karena......." Rio melangkah mendekat, lagi-lagi wajahnya tanpa ekspresi dan dingin. Pluera paru-paru Ify semakin menciut, kala Pria arogan itu jaraknya semakin mendekat. "Alasan pertama karena kau mabuk, dan yang kedua? Jangan pernah bermimpi aku meniduri mu. Stupid Girl!" Lanjut Rio lantas mengetuk dahi Ify, membuat perempuan itu meringis dan menunduk. 

"Cepatlah mandi, aku tidak punya waktu untuk mengantar mu kerumah." Gumam Rio kemudian, Ia lantas membalikkan tubuhnya untuk pergi. 

"Aku tidak tahu apa yang salah pada ku." Langkah Rio terhenti, Ia mengernyitkan keningnya. Tanpa menoleh, terpaku. 

"Entah apa yang membuat mu sangat membenci ku, membeli ku lalu memerintah ku sesuka hati mu. Aku bukan robot, aku punya hati dan perasaan. Apakah kau memang ditakdirkan untuk kejam karena kekuasaan mu?" Rio memejamkan matanya, tangannya terkepal kuat. Tapi Ia tetap diam dan terus mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh Perempuan itu. 

"Kau tahu? Untuk pertama kalinya aku menemukan Pria seperti mu, kau sempurna kau segalanya. Tapi.....ternyata itu jauh dari diri mu. Kau tidak ada bedanya seperti Iblis. Aku membenci mu!" Cukup. Cukup sudah! Rio benar-benar sudah tidak bisa menahan lagi emosinya yang semakin memuncak mendengar seluruh ucapan dari perempuan itu. 

"Aku tahu bagaimana suami ku! Aku tahu bagaimana dia dan sifatnya. Dia punya alasan lebih logis! Aku sangat yakin dan percaya padanya. Dia tidak mungkin melakukan semua......" Plak. Nafas Rio memburu, matanya merah rahangnya mengetat. 

Ify tertunduk, tamparan yang sangat keras. Tubuhnya bergetar, Ia menangis dalam diam. Kenapa saat ini justru orang lain yang berlaku kasar padanya? Orang yang tidak Ia kenal sama sekali. Sedangkan suaminya tak pernah melakukan hal sekasar itu padanya. Hati Ify menjerit, air matanya terus mengalir dengan deras. "Berhenti untuk mempercayai Raynald! Dan jangan pernah sedikit pun kau menyebutkan namanya didepan ku!" Setelah mengucapkan kalimat singkat itu, Rio benar-benar pergi meninggalkan Ify yang saat ini menangis. Bukan karena tamparan itu, melainkan hatinya serasa telah dipermainkan. Sakit, kacau dan hancur! 


******* 

Alvin memasuki Ruangan Direktur, setelah menutup pintu ruangan Ia mendapati sosok Pria bertubuh tinggi menjulang kini tengah melamun bersandar pada kursi jabatannya namun tetap elegan. 

Wajah arogan yang sering kali terpancar tak lagi nampak, hanya kesan sendu yang terlihat oleh Alvin. Ia mendengus kendati sang Direktur muda itu tak kunjung menyadari kehadirannya. Kembali Ia melangkah mendekat, lantas berdehem keras. Membuat sang Direktur tersadar menatap Alvin sekilas lalu memperbaiki posisi tubuhnya kembali tegak dan merapat pada meja kerjanya. 

"Ada apa?" Hanya itu pertanyaan yang Ia lemparkan pada Alvin. Pria bermata sipit yang kini masih berdiri itu lagi-lagi mendengus. "Apa lagi sekarang yang kau lakukan? Kau terlalu memaksakan kehendak." Nada Alvin begitu frustasi menghadapi Direktur muda yang keras kepala ini, yaitu sahabatnya sendiri -Dambrio Gluemian-. Ah ya! Alvin hampir lupa, bukankah Pria ini memang pemaksa dan keras kepala? Setidaknya bersahabat hampir setengah umur mereka, bukankah itu sudah lebih dari cukup untuk mengenal kepribadian diantara keduanya, secara luar maupun dalam. 

"Lebih baik kau diam saja. Kunci mulut mu dan urus saja kekasih mu, Via. Ini masalah ku." Wajahnya kembali nampak dingin dan menahan marah. "Well, aku hanya memberikan sebuah masukan. Ah ya masalah Via, aku melihat mu memarahinya kemarin. Cukuplah untuk berakting seperti kemarin Dambrio!" 

"Berakting kata mu?" Rio mendengus seraya tersenyum sinis, Ia menatap Alvin bengis lantas beranjak. "Jika kau tidak menyukai cara ku. Cukup sampai disini kau ikut campur." Ia mengalihkan wajahnya, tak ingin menampakkan dirinya yang sebenarnya. Dia sama seperti orang-orang biasa, mempunyai masalah yang sangat pelik. Dirinya rapuh, bahkan sangat rapuh. 

"Kadangkala aku juga lelah. Kau tidak akan pernah tahu, bagaimana marahnya aku setelah mengetahui semua ini." Alvin terdiam, menatap wajah Direktur muda yang dengan aksen dingin itu penuh Iba. Ia sebenarnya mengerti, bahka sangat mengerti bagaimana masalah yang saat ini sangat menyiksa batin sahabatnya itu. "Apakah Ify merasakan kehadiran mu?" Rio tersenyum getir 

"Entahlah, aku masih belum bisa membaca keadaan. Dia..... Dia masih mempercayai Raynald." Mata Alvin seketika melotot, kemudian Ia menggeleng tak percaya. "How can?!" 

Ketukan pintu membuat keduanya menoleh, Rio mempersilahkan masuk. Hingga akhirnya sosok perempuan yang sejak tadi menjadi topik pembicaraan mereka nampak dibalik pintu. Tangannya seperti kesusahan membawakardus yang berisi beberapa map dan berkas lainnya. Rio mengkerutkan keningnya, menyuruh perempuan itu masuk. Alvin yang melihat itu menggelengkan kepalanya tidak habis pikir akan jalan rencana sahabatnya itu. 

Seperti yang Alvin duga, sepertinya sang Tuan Muda Almian Classes tidak ingin mangsanya tersentuh sedikit pun oleh siapa saja. Alvin mendengus, melangkah pelan menuju kearah sosok perempuan tersebut maksud untuk membantu membawakan kardus yang mungkin berbeban berat itu. Sebelumnya Ia menatap Rio, lalu tersenyum mengejek membuat Pria arogan itu menggeram. 

"Biar aku yang membawanya ke meja mu." Ucap Alvin lantas mengambil alih kardus tersebut seraya meletakkannya pada meja kerja kosong tepat disamping meja kerja sang Direktur. "Tugas mu sudah selesai Alvin, sekarang kau boleh pergi." Alvin menoleh kearah Rio yang nampak mengepalkan tangannya. Ya! Alvin tahu, Pria itu nampak menahan emosinya. Sesekali Ia tersenyum geli melihat wajah Arogan dengan aksen dingin tersebut menggeletukkan giginya. 

Kembali Alvin menatap Ify kemudian tersenyum ramah serta lembut pada perempuan polos itu, yang sejak tadi hanya memperhatikan adegan wajah Arogan Rio dan gerakan santai Alvin. "Hati-hati, dan selamat bekerja." Pria bermata sipit itu berlalu pergi namun sebelumnya Ia menepuk pundak Perempuan itu dengan samar. Setelah kepergian Alvin, suasana sepi dan mencekam bagi Ify mulai muncul. 

Ia hanya tertunduk didepan meja kosong tempat dimana semua barang-barangnya berada. Sedikitpun Ia tak berani menatap Rio yang berada pada jarak 2 meter darinya saat ini, Pria itu masih menampakkan wajah datarnya yang sombong. "Kenapa kau tidak duduk? Duduklah!" Ify memejamkan matanya, kenapa Pria itu selalu saja menampakkan suara berat dinginnya kerap kali berbicara dengan Ify? Tidak bisakah Ia berbicara biasa-biasa saja! 

Dengan pelan, Ify melangkah menuju kursi meja kerja kosong tersebut. "Aku tidak menyuruh mu duduk pada kursi itu, tapi kursi didepan meja ku saat ini." Shitt! Ify mengepalkan tangannya menahan kekesalan terhadap Pria menyebalkan dan menjengkelkan itu. Ia kembali memutar balik langkahnya menuju kursi yang Rio suruh lantas duduk. 

"Jangan pernah menyentuh benda apapun yang ada dimeja ku, kau ku pindah kesini karena aku tahu kau perempuan tak punya telinga. Kau pasti akan tetap mencari teman disana lalu meyakinkan mereka untuk dimintai tolong agar kau bisa pergi dari ku." Kenapa Pria ini bisa tahu akan jalan pikirannya? Kenapa bisa seperti ini? Jadi Ia benar-benar pindah tempat? Dan selalu akan seruangan dengan Pria menyebalkan ini? Setiap harinya? Ya Tuhan! Ify merutuki nasibnya. Tidak adakah jalan sedikitpun untuknya melarikan diri dari Pria mengerikan dan menakutkan ini. 

"Kau menjadi Sekretaris ku saat ini." 

"Ap....Apa?!" Ify benar-benar kaget entah bagaimana saat ini ekspresi perempuan itu. Ia syok dan sama sekali tidak menyangka posisinya tiba-tiba bisa berubah sekian detik seperti ini? Apa yang sebenarnya diinginkan Pria mengerikan dihadapannya? 

"Kenapa? Kau menolaknya? Oh, bermimpilah. Kau, sekretaris ku saat ini!" Rio kemudian berlalu meninggalkan Ify yang tengah menahan kekesalannya. "Menyebalkan!" 


******** 

Alvin mendengus kesal, sudah sejak beberapa menit yang lalu Ia berdiri didepan meja kerja Via. Perempuan itu nampaknya sama sekali tidak berminat untuk menggubris Alvin. Ia masih saja menyibukkan diri pada layar computer dihadapannya saat ini. Merasa kesal akhirnya Pria sipit itu menyeret Via untuk keluar dari mejanya membawa Perempuan keras kepala itu menjauh dari ruangan itu. 

"Lepaskan tangan ku, Alvin!" Via terus meronta dan berteriak meminta Alvin melepaskan tangannya, tetapi nampaknya Pria sipit itu tak menghiraukannya terus menarik paksa hingga mereka berdua sampai pada sebuah ruangan Manager Almian Classes, jabatan seorang Alvin. Via menyentakkan tangannya dan akhirnya terlepas dari genggaman Alvin. Ia menatap Pria itu marah. 

"Disini tempat mu, tidak lagi disana." Perintah Alvin, Via masih menatap Alvin marah. Ia membalikkan badan, akan keluar dari ruangan ini. Tapi nampaknya Ia kalah cepat, Pria itu menarik tangannya begitu keras, sehingga membuat tubuh Via membentur pada dada kokohnya. Dengan cepat Alvin mendekap Via begitu erat, tidak ingin melepaskan perempuan itu darinya. "Tugas mu selesai, jadi berhentilah untuk bekerja diruangan sana. Kau kembali disamping ruangan ku, tempat asal mu memang bekerja sejak awal." Gumam Alvin penuh penekanan dengan aksen memerintah. Via yang berusaha keluar dari rengkuhan Alvin, hasilnya sama. Rengkuhan itu terlalu kuat untuk tenaganya yang tak seberapa. "Ini perintah! Dan aku calon suami, mu! Inikah sikap terbaik mu untuk ku?" 

Via berdecak, "apa kau bilang? Kau calon suami ku? Bukankah aku sudah bilang, hubungan kita telah berakhir kemarin!" 

"Sayangnya aku tidak menganggap ucapan mu itu." Balas Alvin santai, perlahan Alvin melepaskan pelukannya kemudia menggenggam wajah Via agar menghadap tepat pada wajahnya. Tatapan mereka beradu, Alvin tersenyum membuat seluruh rasa aneh kembali menjalar pada hati Via. Ya Tuhan Alvin! Jika saja Pria ini sedikit peka terhadap perasaannya, mungkin Ia tidak akan semarah ini terhadap Pria ini. Kenapa selalu saja Rio yang Alvin dahulukan? Kenapa selalu Rio? 

"Aku memang tidak seromantis Pria yang kau dambakan, aku memang tidak sepeka apa yang kau harapkan dan aku memang selalu menduakan mu setelah sahabat ku. Tapi yang harus kau tahu, hati ku? Selamanya terjaga untuk mu." Alvin mencondongkan wajahnya mengecup pelan kening Via, Via hanya menjerit dalam hati bahwa yang saat ini terjadi untuk berhenti sebentar. Dia merindukan Alvin seperti ini, Alvin yang selalu bersikap lembut padanya. Walaupun nanti sifat tak pekanya kembali hadir. 

"Jangan pernah berucap untuk mengakhiri hubungan ini dengan pangeran mu, my Princess. Karena aku tahu, sebagaimana pun mulut mu berucap sekalipun membenci ku, aku paham itu hanya karena rasa kesal mu sesaat terhadap ku, Alvin yang penuh kekurangan." Ada haru yang kini menyelimuti hati Via, Alvin benar! Semua ucapannya kemarin bukanlah hal yang sesungguhnya. Via hanya menggertak Alvin, apakah Pria ini masih tetap mempertahankannya? Dan saat ini, Alvin membuktikannya. Bahwa Via terlalu berharga untuk Ia lepas begitu saja. 


******** 

Ify hanya diam mematung, sesekali menatap layar computer dihadapannya lalu beralih pada meja kerja Rio yang kosong. Entahlah, kemana Pria mengerikan itu pergi, yang jelas Ify bersumpah serapah agar Pria itu tidak kembali lagi. Tadinya Ify telah berusaha untuk membuka pintu ruangan ini, namun ternyata Pintu itu terkunci dari luar. 

Rio tidak sebodoh yang Ify kira ternyata! Ah ya, bukankah Perusahaan besar ini telah terkenal pesat diseluruh negara Eropa maupun ASEAN? Harus berpikir berjuta kali untuk menaklukkan sang Direktur muda itu. Apalagi wajah tampannya yang begitu mendominasi, terpahan dengan garis wajah yang tegas, alami dan kharismatik. Mata hitam pekatnya yang tajam dengan aksen misterius mampu menarik perhatian siapa saja, tentu saja yang pertama kali tertarik adalah perempuan-perempuan muda yang cantik dan berkelas sekalipun. Seorang direktur Arogan yang tampan! 

Ify menatap sebuah Laptop bermerk Apple berada tepat diatas meja kerja Rio, Ia mengkerutkan keningnya. Mungkin saja, seluruh pekerjaan penting Rio berada didalam sana. Sebuah ide muncul, Ify tersenyum sinis. Ia melirik kembali kearah pintu, tidak ada tanda-tanda suara sepasang Pantofel mewah itu mengarah keruangan ini. Masa bodoh, dengan perintah Pria mengerikan itu. Ify sudah cukup kesal dengan semua perlakuannya, dia memang telah membeli Ify. Tapi apakah Ify harus menurut terus menerus dan merasa tertindas? Ck. Sekalipun Ia akan dibunuh nanti, Ify tidak akan takut. Ia lebih memilih dibunuh daripada harus tertindas seperti ini. 

Ify melangkah pelan menuju meja Rio, tangannya mulai tergerak untuk memegang Laptop itu. Benar saja, semua file-file penting didalamnya ada. Dengan berbekal sedikit ilmu kala dulu Ia masih menyandang status kekasih dengan Ray, Pria itu sedikit mengajari bagaimana menggunakan alat modern ini. Ify tersenyum licik saat file terakhir berhasil Ia hapus. 

Prok.Prok.Prok. Suara tepuk tangan mampu membuat Ify terkejut dan mengalihkan pandangannya tepat pada ambang pintu. Tubuh Ify menegang seketika, Ia lantas menjauh dan mundur dari meja Rio. Sebisa mungkin Ia meneguk ludahnya yang tiba-tiba saja sulit untuk ditelan. Ya Tuhan! Sejak kapan Pria mengerikan itu berada disana? 

Keringat Ify terus menjalar turun, seakan-akan tahu bahwa sebentar lagi keringat itu akan terganti dengan aliran darah. Akankah Ia dibunuh setelah ini? Ah, itulah yang Ify mau saat ini. 

Rio hanya menaikkan satu alisnya, tersenyum mengjek kearah Ify. Ia memasukkan kedua tangannya pada saku, lantas melangkah maju mendekat kearah Ify yang setengah syok akan kehadirannya. Glek. Ify kembali menelan ludahnya entah sudah sekian kalinya. Deru nafasnya tak kunjung terkontrol saat ini, apalagi dengan beraninya menentang tatapan tajam yang mematikan dari Direktur muda ini. "Apakah kau sudah berhasil menghapus seluruh File penting ku disana?" Pertanyaan mematikan! Ify menjerit kembali didalam hatinya, menggigit daging bibirnya begitu keras untuk menahan seluruh rasa takutnya saat ini. 

Rio mencengkram kedua bahu Ify begitu keras. Sehingga membuat perempuan mungil itu meringis menahan sakit, perih sekali. "Bukankah aku telah mengatakan suatu peringatan, agar kau tidak menyentuh apapun yang berada dimeja ku?" 

"Kau!" Rio melayangkan tamparannya untuk mengenai pipi Ify, perempuan itu pun hanya memejamkan matanya dan sedikit menciutkan tubuh mungilnya. Tangan Rio justru tertahan hanya berjarak beberapa centi dari pipi perempuan itu. Rio menggeletukkan giginya menahan seluruh emosi, Ia berbalik kearah mejanya lantas meraih Laptop miliknya. 

Brak. Laptop putih itu pun berhasil hancur dilantai, Ify yang tadi masih memejamkan matanya seketika membuka kedua matanya dan menyaksikan bagaimana mengerikannya Rio menghempaskan benda mahal itu begitu saja. "Ke...kena...kenapa..kau?" Suara Ify nyaris bergetar menahan takutnya. 

"Bukankah itu yang seharusnya terjadi? Untuk apa aku masih menyimpan benda yang tak lagi penting karena semua isi yang ku perlukan sudah tidak ada disana?" Tatapan mata Rio masih tajam dan mengerikan, Ia mendorong tubuh Ify hingga membentur tembok. "Kau pikir aku sebodoh itu untuk kau kalahkan? Aku tidak akan pernah melepaskan mu sampai kapan pun, sekalipun dirimu tak lagi bernyawa. Ingat itu!" 


********* 

Ray tengah menyesap secangkir kopi hangatnya disebuah Resto yang cukup ramai. Ia memperhatikan setiap pengunjung yang berdatangan pada pintu masuk, kembali Ia melirik arloji coklatnya. Ternyata begitu bersemangat, Ia justru datang lebih awal 1 jam dari perjanjian. 

Dengan cara inilah, Ia bisa menatap dan menghempaskan rindu walau sesaat pada wanita yang Ia rindukan saat ini. Wanita yang selama 7 bulan ini selalu menghiasi hari-harinya dan tanpa Ia sadari justru menjadikan sebuah rasa yang timbul. 

----------- 

Setelan kemeja merah padam polos, serta celana hitam kain katun membalut tubuhnya yang kokoh. Ia menatap dapur rumahnya, lantas tersenyum miris. Dengan pelan Ia melangkah menuju dapur, bukan maksud untuk membuat makanan atau mencari makanan. Ia lakukan disana hanyalah, memandangi seluruh dapur itu. 

Setiap pagi Ia selalu mendapati Perempuan cantik yang tengah memasak disini, tapi sekarang? Semua angan. Hanya angan! Kenapa harus sesakit ini? Bukankah ini semua memang telah direncanakan? Pernikahan itu bukan sungguhan, ada maksud didalamnya. Bahkan Ia juga bertekad, tidak akan hanyut dalam perasaan yang tanpa sadar menyelimutinya?. Tidak! Ini salah! 

"Apa aku harus merebut mu kembali? Haruskah?" Ucap Ray, Ia tersenyum getir melawan seluruh rasa rindunya. "Kau tahu? Ini bukan ingin ku, maafkan aku Ify." Ia tertunduk mengepal kuat tangannya hingga buku-buku jarinya terlihat mencuat. 

Sudah cukup. Ia tidak akan bisa seperti ini terus menerus. Ia membalikkan tubuhnya, untuk pergi kesuatu tempat. Namun saat Ia berbalik, tubuhnya menegang saat melihat siapa saat ini yang tengah berdiri tepat dibelakangnya. 

"Ka.....kau?" 

"Ya. Aku! Dambrio Gluemian, senang kembali bertemu dengan mu." 

"Cisshh! Tidak perlu berbasa-basi, katakan apa mau mu?!" Ray nampak terlihat menekan seluruh emosi yang cukup besar saat ini. Rio nampak menyeringai, "kau merindukan Perempuan ku itu? Oh baiklah biar ku tebak, kau memang merindukannya." Nada yang sangat mengejek! Ray kembali mengepal jari-jarinya. 

"Dia juga merindukan mu sepertinya. Aku akan mempertemukan kalian, tapi untuk terakhir kali!" Rahang Pria berwajah manis itu mengetat sempurna. "Kau dengar! Aku mempertemukan kalian karena aku tidak ingin Perempuan ku itu terus mempercayai mu! Dia milik ku, maka dia harus mempercayai ku. Bukan lagi dirimu!" Kini giliran Ray yang nampak tersenyum mengejek, membuat Rio menggeram. 

"Ck. Karena dia mencintai ku." Balas Ray sesantai mungkin, walaupun saat ini Ia sungguh menaham seluruh emosinya. "Terkutuk kau Raynald!" Pukulan mentah seketika menghujam wajah Ray tanpa ampun, membuat Pria itu tersungkur. Rio mengontrol kembali desahan nafasnya yang nampak memburu. "Kau seharusnya berterima kasih karena aku telah memberikan kesempatan ini. Tapi tenang, aku akan tetap mempertemukan kalian. Dan itu adalah pertemuan terakhir kalian!" Rio langsung saja berlalu meninggalkan Ray yang masih tersungkur dengan luka tepat mengenai ujung bibirnya. 

---------- 

Ray tersadar saat tatapan matanya menangkap sosok perempuan mungil lengkap dengan busana kantor tengah digandeng agresif oleh Pria tampan berpakaian jas resmi lengkap. Pria itu terus menuntun perempuan disampingnya menuju kearah meja Ray. 

Glek. Tatapan itu beradu, sedikit kikuk Ray tersenyum kearah Ify. Perempuan itu membalasnya takut-takut karena melihat tatapan Rio yang mengerikan. "Duduklah." Ucap Ray mempersilahkan. 

Rasa rindu Ray benar-benar terbayar saat ini, begitupun dengan Ify. Mereka saling berpandangan. Rio mencengkram jas kerjanya, menatap Ify yang saat ini nampak begitu bahagia karena bertemu dengan Ray. Rio berdehem membuat keduanya tersadar. Rio mengeluarkan sebuah map dan menyodorkannya kearah Ray. 

"Apa ini?" 

"Surat perceraian kalian." Dengan santai Rio menjawabnya membuat Ify melotot tak percaya. 

"Aku akan meninggalkan kalian 15 menit. Setelah aku datang map itu sudah harus bertanda tangan. Jangan pernah berpikir untuk kabur, Ify." Rio beranjak lantas meninggalkan mereka berdua. Terjadi kesunyian diantara keduanya dan saling menatap map tersebut. 

Ray sudah tidak bisa membendung rasa rindunya, Ia beranjak lantas memeluk perempuan mungil itu yangmasih berstatus istrinya. Ray terus mengecup puncak kepala Ify dengan sayang, mempererat pelukan itu begitupun dengan Ify. Sedangkan Ify? Ia benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan Ray seperti ini, cepat saja anak sungai mulai mengalir dipipinya. "Aku merindukan mu." Hati Ify mencelos saat Ray mengatakan kalimat itu, kenapa baru sekarang setelah beberapa minggu pernikahannya Ray mengatakannya? 

Ify mempererat pelukan itu, tidak ingin terpisah lagi dengan suaminya. "Aku ingin pergi dari sini Ray, bawa aku pergi. Aku takut." Tanpa terasa Ray juga ikut menangis, Ia kembali memberi kecupan singkat pada kening perempuan itu. 

"Maafkan aku, maafkan aku." 

"Aku takut." Ify lagi-lagi bergumam, dengan lembut Ray membelai rambut Ify dengan sayang. "Ada aku disini, kita akan pergi. Kau tenang ya," Ray berusaha meyakinkan Ify bahwa Ia menyesal dan akan membawa Ify pergi, pergi sejauh mungkin tanpa Rio ketahui. Dengan telaten Ray menghapus air mata Ify, lalu menyapu keseluruh sudut pengunjung. Sepertinya Rio benar-benar pergi meninggalkan mereka. 

"Ikut aku, Fy." Ify menggandeng lengan Ray, mereka pun menuju pintu Resto berniat untuk pergi. Ify tersenyum senang akhirnya Ia benar-benar lepas dari cengkraman Rio, Ray kembali untuknya. Mereka berdua pun langsung masuk ke dalam mobil Ray meninggalkan Resto tersebut. Seluruh rasa sakit hati Ify benar-benar terenyahkan saat ini, Ray benar-benar mencintainya. Ia tahu itu. "Maafkan aku." Entah sudah berapa kali Ray mengecup punggung tangan Ify, dan hanya dibalas dengan senyuman lembut oleh perempuan itu. 

"Berjanji Ray, bahwa kau tidak akan melakukan hal ini lagi." Ray menepikan mobilnya dipinggir jalan, Ia tersenyum lantas memposisikan tubuhnya tepat kearah Ify. "Aku berjanji, maafkan kesalahan ku kemarin. Kita mulai lagi dari awal, kau mau?" Ify mengangguk senang. Ya Tuhan, Ia benar-benar bersyukur bahwa sekarang Ia kembali bersatu dengan Ray, suaminya. 

"Kau tunggu disini, aku akan membelikan bunga Lily putih kesukaan mu diseberang sana. Tunggu sebentar." Ray mencondongkan wajahnya, mengecup kilat kening Ify kemudian keluar. 

Ify memperhatikan Ray yang tengah menyebrang jalan, Ia benar-benar membelikan Ify bunga itu. Lily putih kesukaannya. Ray nampak melambaikan sebuket Lily putih diseberang sana kearah Ify, membuat perempuan itu tersenyum senang melihatnya. "Hati-hati, Ray." Teriak Ify dari dalam mobil, seperti mendengar suara Ify walaupun bertempur dengan suara kendaran mampu membuat Ray mengerti, Ia mengacungkan jempolnya bahwa akan baik-baik saja. 

Ray mulai menyebrang jalan, benar-benar hitungan detik! Ray terpental jauh saat sebuah mobil menabraknya, Ify yang melihat itu langsung syok. Wajahnya seketika pucat, air matanya mengalir begitu cepat. Kenapa? Kenapa semua secepat ini? Ify mendengar jelas orang-orang berlarian dan berteriak diseberang sana. 

"RAYYYYYYY!" Ify membuka pintu mobil namun justru mendapati Sosok tinggi menjulang kini menatapnya tajam, rahangnya mengeras. "Kau lihat apa yang baru saja terjadi? Itulah hukuman bagi orang yang ku beri kepercayaan tapi justru menusuk ku." Lengan Ify kini sudah ditarik paksa oleh Rio untuk menuju mobilnya, tapi Perempuan itu terus meronta dan berusaha melepaskan diri. 

Ify terus menangis dan menyebutkan nama Ray, Rio memejamkan matanya kembali manahan emosinya. Ia mengguncang tubuh Ify lalu menampar begitu keras agar perempuan itu sadar. "Dia sudah mati! Apalagi yang kau harapakan darinya! Dia sudah ku buat mati saat ini!" Ucap Rio geram 

"Kau Iblis! Aku membenci mu! Kau Pria biadab! Kau bukan manusia, sikap mu sungguh jauh untuk dikatakan manusia, Rio! Kau pembunuh! Kau pembunuh, Rio! Aku ingin Ray! Aku hanya dia!" 

"RAYYYYYYYYYY!" Tubuh Ify melemas, matanya tiba-tiba saja berkunang-kunang. Kepalanya terasa berat hingga akhirnya Ia tidak merasakan apapun. Gelap. 


******* 

Shilla memasuki kamar Dami, kamar yang penuh dengan nuansa bola basket dan robot-robotan. Ia menatap sendu kearah Dami, sudah hampir 3 hari Rio tidak menjenguk anaknya ini. Ada apa sebenarnya dengan lelaki itu? 

Lihatlah sekarang, Dami justru terserang demam. Entah sudah berapa kali bocah lucu ini mengigau memanggil papanya. Shilla duduh dipinggiran ranjang Dami, Bocah itu tertidur lucu. 

Sudah sekian kali Shilla menelpon Rio, tapi nampaknya Pria itu tak ingin diganggu karena selalu bernada sambung sibuk. "Kau harus sabar, sayang. Ibu akan terus tetap disisi mu." Shilla menghapus lembut rambut Dami, panasnya belum jugaturun. Bukan maksud Shilla tidak ingin membawa Dami ke Rumah Sakit tapi Rio harus mengetahui lebih dulu keadaan anaknya saat ini. 

Ketukan pintu kamar Dami, membuat Shilla terlonjak kaget. Sosok Pria bertubuh tinggi langsung saja masuk dan menghampiri Shilla. "Rio?" 

"Maaf, aku baru datang menjenguk. Ada apa dengan Dami?" Rio merasa ganjil saat melihat kompresan dan beberapa botol syrup obat kini bertengger rapi pada meja lampu Dami. "Dami sakit, dia merindukan mu. Kemana saja kau beberapa hari ini, sehingga melupakan anak mu sendiri, Rio." 

Rio merutuki kesalahannya, bagaiamana bisa Ia justru melupakan Dami? Ya Tuhan.... 
"Dami, ini Papa sayang. Papa juga merindukan mu. Papa punya banyak mainan untuk mu. Maafkan Papa." Rio terus mengecup punggung tangan Dami, melepas kerinduan dan kesalahannya disana. 

"Dami tidak pernah menginginkan hanya sekedar barang untuk mengalihkan perhatiannya terhadap mu. Walaupun dia masih kecil, dia mengerti betul akan kasih sayang. Berpikirlah untuk mementingkan Dami saat ini." Shilla kemudian berlalu, membuat Rio mencerna setiap kalimat yang Perempuan itu katakan. Kasih sayang? Ya Tuhan....sudah begitu berdosanya Ia melupakan anaknya sendiri. 


******** 

Seorang Pria mengepalkan tangannya penuh emsoi yang meluap-luap. Melihat sosok yang terbujur kaku dengan rona wajah yang tak lagi ada tanda-tanda kehidupan disana, pucat dan bibir yang telah membiru. Ia kembali menutup wajah itu dengan kain putih. Mata Pria itu memerah menahan seluruh emosinya saat ini. Ia baru saja tiba dari Indonesia, dan mendapatkan kabar bahwa keluarga satu-satunya yang Ia punya, adik kandungnya sendiri dikabarkan meninggal karena tertabrak sebuah mobil yang melaju sangat cepat dan sampai saat ini belum diketahui. 

"Ray. Aku bersumpah! Akan membalas dendam mu, kematian harus dibalas dengan kematian." 


******* 

Serpihan Gelap ( [ Part 2 ] kau milik ku Ify )


Perempuan itu terlihat bingung, sesekali Ia menatap kiri dan kanan. Sial! Kenapa tidak ada satu orang pun yang memandang kearahnya, untuk diminta bantuan, semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Memasang wajah serius tak ingin diganggu, walaupun hanya sekedar disapa. Jadi, seperti inikah semua watak para pegawai perusahaan -Almian Classes- ? Tidak ada solidaritas sedikit pun, untuk pegawai baru semacam dirinya? 

Apa? Pegawai baru? Hei. Sejak kapan dia mencalonkan diri ingin menjadi salah satu pegawai disini? Bukankah, ini karena atas suruhan Pria sombong dan menakutkan itu? Ia sedikit bernafas lega, ternyata Pria itu membelinya bukan untuk melakukan suatu hal negative seperti apa yang Ia takutkan. 

Ia kembali memperhatikan beberapa Map tebal diatas meja kecilnya. Ia benar-benar syok atas tugas menggudang seperti ini, tanpa pengarahan terlebih dahulu. Bagaimana bisa Pria itu memperkerjakannya disebuah staff perusahaan bertandang ini. Ia tahu jabatan yang Ia peroleh sebakarang bukanlah jabatantinggi, hanya pegawai bawahan, tapi? tetap saja Ia yang memang tidak berpengalaman bekerja seperti ini.Ia tidak akan tahu harus berbuat apa. Bukankah, dia hanya seorang anak panti asuhan? Dan tugas sehari-harinya adalah membantu Ibu panti saat itu. Mengenai bangku sekolah? Ia hanya berakhir pada bangku menengah Atas. 

Damn. Bisakah ada satu orang saja yang tidak sibuk dan mau berteman dengannya, memberikan arahan sedikit bagaimana mengerjakan pekerjaan ini? Ia mendesah pelan, menundukkan kepalanya. Ia frustasi dengan waktu yang begitu cepat ini, seakan-akan ingin membunuhnya secara perlahan. Hatinya lelah, lelah karena terus menerus dituntut untuk kuat atas semua beban yang Ia alami saat ini. 

Tubuhnya bergetar, Ia menitikkan air matanya. Menangis dalam diam, menenggelamkan wajahnya dibalik papan pembatas ruangan kecil kerjanya. Yah, para pegawai itu mendapatkan ruangan sendiri-sendiri berukuran kecil yang hanya dibatasi oleh kaca pembatas pada bagian sisinya juga didepannya. Ia terus menangis, dan Ia yakin tidak akan ada yang melihatnya. 

Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya membuat perempuan itu tersadar lalu menghapus dengan gerakan cepat air matanya. Ia mendongak mendapati seorang Perempuan, sepertinya seumur dengannya, begitu cantik sekali. Perempuan itu tengah membawa beberapa Map dan kini menatapnya bingung. 

"Kau kenapa? Menangis?" Tanyanya bingung, masih terus menatap Ify perempuan yang tadi menangis. Ify tersenyum samar, lantas menggeleng. "Ah, tentu saja tidak. Mataku dimasuki sesuatu, debu mungkin." Perempuan cantik itu mengangguk mengerti. 

"Kau pegawai baru itu?" Perempuan cantik dengan alis tebal, matanya yang sipit serta kulit putih perawakan cina itu kembali bertanya. Ify menilai dirinya dengan perempuan itu sangat jauh berbeda dari segi penampilan, perempuan itu jauh lebih modis daripada dirinya. Jika saja Ia tidak dirombak seperti ini, pasti akan sangat malu sekali. "Iya, aku pegawai baru." Balas Ify seraya tersenyum. Perempuan itu juga ikut tersenyum, Ify menilai hanya perempuan ini yang ramah padanya. Lihat saja wajahnya yang penuh keramahan dan baik. 

"Perkenalkan aku Livia Uziza, panggil saja Via meja ku tepat disamping kiri mu. Aku melihat mu begitu gelisah, maka dari itu aku kesini. Nama mu siapa?" Perempuan cantik beralis tebal itu ternyata bernama -Via- secara singkatnya. Ify tersenyum lantas menyambut uluran tangan Via. 

"Aku Lalyssa Fynox. Cukup Ify." Balas Ify, Via kembali mengangguk dan memperhatikan keadaan sekitar. "Sudah waktunya jam makan siang, kau tidak ingin pergi makan siang?" Ah ya, Ify baru menyadari bahwa saat ini Ia tidak mempunyai uang sepeser pun. Bukankah Ia kesini juga tanpa tas atau pegangan kartu ATM lainnya? Bagaimana ini? Apalagi saat ini perutnya benar-benar meronta untuk minta diisi. 

Ify meringis, kemudian berusaha tersenyum ke arah Via. "Kau saja, pekerjaan ku masih banyak. Lagi pula, aku lupa membawa uang." Ify mendesah pelan, Ia berbohong. 

"Aku akan membayarnya, anggap saja awal memulai pertemanan. Ayo, tanpa penolakan." Tiba-tiba saja lengannya telah ditarik oleh Via teman barunya itu, dia perempuan baik, ramah juga sangat ceria. Ify sedikit lega dan tidak perlu sungkan apabila mempunyai kesusahan tentang pekerjaannya, Via pasti akan membantunya. 


******* 

"Kau tahu? Kehadiran mu di Perusahaan ini sebenarnya telah lama menghangat, ku tafsir sekitar 2 minggu yang lalu?" Perempuan cantik beralis tebal itu membuka pembicaraan, ketika Ify menatap makaroni cheese yang bertabur saus ala perancis dimejanya saat ini penuh nafsu. 

Ia mengalihkan tatapannya pada Via perempuan beralis tebal dihadapannya saat ini. "Oh ya? Kenapa begitu?" Seakan-akan lupa dengan perutnya yang minta diisi karena lebih tergiur dengan topik pembicaraan Via. 

"Sekretaris Direktur bilang akan ada Pegawai baru dibagian staff kami. Pegawai tersebut diterjunkan langsung oleh Direktur sendiri, tanpa melalui test yang begitu ketat jika ingin menjadi Pegawai Almian Classes ini. Itulah yang membuat berita bahwa pegawai baru tersebut merupakan hal yang spesial bagi Direktur tampan itu. Lebih menghebohkan lagi, kami tidak diperbolehkan mendekati pegawai baru tersebut jika masih ingin bekerja disini. Dan pegawai baru itu kau, Ify." Via nampak bersemangat menceritakan kehebohan perusahaan mengenai pegawai baru beberapa minggu yang lalu, dan saat ini pegawai baru tersebut telah berada didepannya. Ify! Lalyssa Fynox. "Awalnya aku tidak ingin menegur seperti tadi ataupun mendekati mu seperti ini. Karena kami telah dipesankan untuk tidak mendekati mu bagaimanapun caranya, tapi melihat mu seperti kebingungan saat diruangan tadi, membuat ku tidak tega untuk meninggalkan mu diruangan sendirian." Lanjut Via seraya tersenyum ramah. 

Apa? Sebenarnya Ia telah ditafsirkan kurang lebih 2 minggu yang lalu memang akan bekerja disini? Bukankah? Kurang lebih 2 minggu juga, Ia menikah? Ya Tuhan...Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Ify menggigit daging bibirnya menahan gejolak itu, gejolak yang selalu bisa membuat pertahanannya kembali mencambuk ulu hatinya tanpa ampun. 

Via menatap Ify dengan alis bertaut, mengapa perempuan itu tiba-tiba saja menundukkan kepalanya dan berdiam tanpa suara. Via menatap sekelilingnya, kembali bingung kenapa para pegawai yang tengah meluangkan waktu istirahatnya disini, semuanya nampak berdiri berposisi tegap dan menatap kearah pintu masuk Cafe. Sekian detik Via tak ambil pusing, namun saat mengalihkan wajahnya tepat pada Pintu masuk, tiba-tiba wajahnya memucat lantas ikut berdiri. 

Seluruh pasang mata yang berada didalam Cafe khusus pegawai -Almian Classes- ini tertuju pada satu Objek yang kini tengah menatap tajam pada sosok perempuan mungil yang tak menyadari kehadiran terlangka saat ini, karena memang membelakangi dari arah pintu Cafe, apalagi saat ini Ia tengah menundukkan kepalanya. 

Via menjerit dalam hati, kenapa Ify tak kunjung ikut berdiri dan menyadari keadaan saat ini yang nampak tegang. Tapi nampaknya perempuan itu masih menikmati akan keadaan hatinya dan enggan untuk sadar. Seluruh isi cafe itu berdecak kagum, bagaimana bisa sang Direktur muda perusahaan ini memasuki Cafe khusus para pegawainya? Bukankah ini sangat luar biasa? Ia datang sendiri tanpa para pengawalnya, melangkah dengan elegan namun terkesan dingin dan sombong, tatapannya tajam hanya tertuju pada satu objek. Objek yang sama sekali tidak menyadari akan kehadirannya saat ini. 

Rahangnya nampak mengetat sempurnna, tangannya terkepal hebat dan terus melangkah. Sampai akhirnya Ia sampai pada sebuah meja yang terdapat 2 pegawai perempuannya. 

"Selamat siang, Pak Direktur." Sapa pegawainya yang saat ini nampak takut dan khawatir, Ia melirik kearah Ify yang saat ini masih belum sadar. Seperti tidak mendengar apapun baik sapaan dari pegawainya, Direktur muda tersebut hanya menujukan tatapannya pada Ify, tak ada yang lain. 

Direktur muda Almian Classes -Dambrio Gluemian- nampaknya Ia sangat marah saat ini, entah apa yang membuatnya marah. Tatapannya Ia tujukan pada Via, benar-benar murka. Ia mendesah kasar. 
"Kau dengar ucapan ku, jangan pernah mendekatinya! Ini peringatan akhir. Aku tidak akan segan-segan memecat mu atau bahkan mengakhiri hidup mu!" Ify tersadar sempurna saat mendengar suara berat dengan aksen dingin dan kejam yang menyelimuti setiap nada yang terucap dari sosok tinggi menjulang saat ini yang berada didepannya. Nafasnya tercekat, saat melihat Via yang nampak menundukkan kepalanya karena takut. Tak beberapa lama, lengannya telah ditarik paksa oleh Direktur muda tersebut meninggalkan cafe. "Via..." 

Seluruh isi Cafe kembali memperbincangkan adegan yang baru saja menjadi topik terhangat. Direktur Muda Almian Classes Dambrio Gluemian, yang terkenal keras, arogan, menakutkan dan tampan. Memasuki Cafe khusus pegawai ini untuk pertama kalinya! Hanya demi menjemput pegawai baru yang menjabat pada staff rendahan? Bukankah ini sebuah rekor? Beruntung sekali perempuan itu. 

******* 

Ify meremas safety belt yang saat ini tengah menjadi pengamannya, Ia terus menunduk belum lagi debaran jantungnya saat ini tak bisa terkontrol seperti biasanya. Ingin sekali membuka pintu mobil, meloncat keluar dari mobil mewah ini yang seharusnya membuatnya nyaman, namun Ia tahu pintunya terkunci dan bagaimanapun Ify akan keluar tidak akan bisa. Entah kenapa suasana mobil itu terasa panas bagi Ify, Ia takut apa yang akan terjadi padanya. Kemana Ia akan dibawa setelah ini? Mengenai penjelasan Via, kenapa Ia tidak boleh didekati oleh para pegawai? Kenapa kehadirannya benar-benar seperti virus? 

Lagi-lagi Ify menjerit dalam hatinya, berusaha bersahabat kembali dengan paru-parunya agar bernafas lebih tenang. 

Rio sejak tadi hanya memasang wajah dingin, tidak sedikit pun memberikan ekspresi pada wajahnya hanya datar dan menakutkan. Tatapannya tertuju ke depan dan begitu tajam, bagai elang yang tengah mencari mangsanya. Saat ini? Ia tengah mengendalikan emosinya, emosi yang selalu saja datang tanpa ampun tiap kali melihat Perempuan disampingnya ini. Ia ingin sekali rasanya membunuh Perempuan ini, Tetapi? Shitt. 

Ia menepikan mobilnya dipinggir jalan, kemudian berhenti. Ify menelan ludahnya, sedikit melirik kearah Pria tampan pada kursi kemudi. Ya Tuhan, dari samping saja sudah membuat Ify berdecak kagum akan ketampanan yang terpahat begitu khas tanpa cacat. Pria ini begitu sempurna, ah tidak. Dia Pria yanng mengerikan Ify ketahui, hanya tampilan luarnya saja yang begitu sempurna. 

"Kau sudah puas menikmati wajah ku?" Glek. Lagi-lagi Ify menelan ludahnya, wajahnya memucat seketika. Ia merutuki dirinya kenapa bisa kehilangan kontrol saat melihat wajah tampan Pria itu, wajah itu seakan-akan menghipnotisnya untuk dinikmati. 

"HAHH!!" Rio memukul keras stir mobilnya yang diiringi dengan teriakannya yang sampai-sampai membuat Ify kembali menciut, Perempuan itu benar-benar takut. Rahang Rio kembali mengetat, Ia menoleh kearah Ify dan menatapnya begitu tajam dan mengerikan. Ekspresi yang ditunjukkannya masih sebatas datar tidak berekspresi sama sekali. 

"Jangan pernah bersosialisasi dengan pegawai ku, kau ku beli untuk bekerja. Bukan mencari teman." Kalimat itu begitu dingin dan menusuk, Ia seorang Direktur keras dan tak terbantahkan. 

"Aku tidak mengenal mu, Aku ingin pulang! Aku tidak ingin bekerja dengan Pria Iblis seperti mu! Aku bukan barang yang bisa kau beli! Dan aku buk....." Ify menegang, terpaku. Menatap sepasang mata yang saat ini mengunci perhatiannya, Ciuman itu mampu membuat dirinya kehilangan akal. Air matanya yang ternyata sejak tadi menetes kini berhenti seketika. Sentuhan yang begitu lembut, dan mampu membakar seluruh pikiran buruknya menjadi sebuah kepuasan. 

"Kau tahu? Aku akan melakukan lebih dari ini, jika kau tidak menuruti permintaan ku. Dengar itu, Nona." Aksen yang keluar lagi-lagi sebuah peringatan, Ify masih mengatur desahan nafasnya. Dentuman-dentuman jantungnya berpacu lebih cepat seakan-akan ingin melompat dari tempatnya. Tidak! Ada apa ini? Ciuman itu? Ya Tuhan. 

Dan apa yang Pria itu katakan? Akan melakukan lebih dari ini? Tidak! Itu tidak akan pernah terjadi! Tidak akan. "Kita makan siang." Lanjutnya kemudian kembali membuyarkan pikiran Perempuan itu. 


****** 

Mobil sport merah cerah itu berhenti beberapa jarak dari sebuah Rumah bak Istana yang merupakan tujuannya, Ia mendengus kesal kemudian melepas kacamata hitamnya yang sejak tadi bertengger pada batang hidungnnya. Ia melirik sosok bocah kecil pada jok belakang yang tengah sibuk dengan mainannya, lantas tersenyum miris. 

"Meishilla, kau yakin akan masuk kerumah itu?" Sebuah suara menyita perhatiannya, kini mengalihkan tatapannnya pada sosok perempuan muda yang seumuran dengannya dan merupakan managernya -Agnixel Hyura-. Meishilla Cluens, Ia merupakan penyanyi terkenal di Perancis. Kehadirannya selalu saja menjadi sorotan para Paparazi, belum lagi akan hubungan spesialnya dengan Pengusaha muda Almian Classes yang terkenal di Eropa itu, hubungan gelap itu ternyata membuahkan hasil hingga dikaruniai seorang Putra. Berita-bertia tersebut masih dicari pembuktiannya apakah fakta atau sebuah Opini. Walaupun telah berulang kali mendapat peringatan dari Manager perusahaan Almian Classes tetap saja Paparazi itu masih mengintai dari kejauhan. 

"Aku tahu, mereka saat ini pasti telah memasang beberapa kamera tersembunyi diberbagai sudut luar Rumah Rio." Gumam perempuan cantik itu, kembali Ia mengalihkan tatapannnya pada Dami, pewaris tunggal dari Dambrio Gluemian. 

"Aku tidak tega, jika Dami lagi-lagi gagal untuk bertemu papanya." Lanjutnya kemudian. "Aku mengkhawatirkan reputasi mu jika para Paparazi itu mendapatkan berita kembali, kau harus mementingkan karir mu. Berilah pengertian pada Dami, aku yakin dia pasti mengerti." Saran Agni pada Shilla, Perempuan itu hanya menatap Agni sekilas, lantas tersenyum miris. Dami baru berumur 3 tahun dan baru saja Ia masuk pada sebuah sekolah swasta khusus anak-anak dibawah umur 5 tahun, sebelum memasuki sekolah dasar. 

Dan apakah sosok kecil menggemaskan itu akan mengerti? Dan belum tentu juga, Rio berada dirumahnya sekarang. "Dami." Panggil Shilla pada bocah itu, Dami hanya menatapnya mengalihkan perhatian dari mainan-mainannya. 

"Papa bilang, dia tidak ada dirumah. Tetapi, Papa akan datang kerumah Ibu. Bagaimana kalau kita membeli mainan terbaru untuk mu? Kau tahu, Papa bilang dia akan membelikan banyak mainan untuk mu jika pulang kerumah ibu nanti." Kedua bola mata Bocah lucu itu nampak berbinar, seakan-akan menyetujui dan mempercayai ucapan dari Shilla. 

"Iya Ibu, Dami mau membeyi(membeli) mainan balu(baru). Tapi, Papa janji bukan? Akan puyang(pulang) ke lumah (rumah) Ibu." Dengan cadelnya Dami berusaha berbicara, Shilla lagi-lagi terkekeh geli. "Iya sayang, Papa mu janji. Sekarang kita membeli mainan untuk mu." Balas Shilla lantas menghidupkan mesin. 

"Kau tahu Dami, Tante Agni merasa akan ada banyak koleksi mainan robot yang kau suka. Apakah kau ingin membeli semuanya?" Tanya Agni menggoda, Dami melepas safety beltnya kemudian menyembulkan kepalanya diantara kursi depan. "Tentu saja Tante. Iya kan Ibu?" Shilla hanya menanggapi dengan anggukan, hatinya meringis saat mendapati bahwa Dami sangat begitu mempercayai ucapannya. Tidak seharunya Ia menanamkan kebohongan seperti ini, cepat atau lambat Dami akan mengetahui keadaan sebenarnya. 


******** 

Ify berdecak kagum saat dirinya begitu teliti memperhatikan keunikan restaurant mewah ini dengan pujian-pujian entah sudah berapa kali. Desain yang terbentuk bermodel Belanda ini nampak mengandung keromantisan. Walaupun saat ini tengah disiang hari, namun suasana didalam restaurant ini sungguh seperti saat dimalam hari. Penerangan lampu yang remang, serta alunan musik biola juga piano ikut meramaikan. 

Memang terkesan tenang dan romantis, tetap saja restaurant ini sungguh Spekta! Bagi seorang Ify. Benar-benar mengandung suatu suasana sejarah dikala dulu. "Bisakah kau tidak terlalu udik seperti itu? Kau pikir aku mengajak mu kesini untuk kencan? Bermimpi!" 

"Cepatlah makan, dan aku tidak menyukai pegawai yang manja akan waktu." Lanjut Sosok Pria dihadapan Ify. Aksen suara itu itu lagi-lagi dingin dan sebuah peringtan. Tidak bisakah Pria ini berucap tanpa suatu peringatan. Ify memperhatikan cara makan Pria tampan dihadapannya itu dengan seksama, begitu elegan dan tenang sekali. Sungguh berbeda saat berbicara dengannya. 

"Kenapa kau begitu jahat sehingga harus membeli ku? Apa kau tak punya hati?" Ify akhirnya mau membuka suara, memandang takut-takut pada Rio. Tapi nampaknya Pria itu masih saja dengan kegiatannya, sekian detik Ia membersihkan mulutnya. Memandang Ify tak berminat. Apa yang perempuan ini katakan? Sejahat itukah dia? 

Untuk kesekian kalinya, rahangnya mengetat. "Kau nampaknya telah mengundang amarah ku." Rio menjentikkan tangannya ke udara, tak beberapa lama seorang pelayan membawakan sebuah botol besar kemudian menuangkannya pada gelas berukuran sedang milik Ify dan Rio. Pelayan itu pun kembali pergi. 

"Cepat minum Bir itu!" Perintahnya bengis, Ify menggeleng tegas. "Aku bilang minum! Atau aku akan melakukan hal yang lebih seperti yang ku katakan saat dimobil tadi." Glek. Ify menatap segelas bir itu kemudian menatap Rio yang saat ini menatapnya tajam. Ify terus memaki Rio didalam hatinya, mengutuk Pria iblis itu sesuka hatinya. Tapi hanya sebatas membatin! Karena Ify tidak akan berani memaki Rio secara langsung, sama saja Ia mencari celaka. 

Dengan ragu akhirnya Ia meminum segelas bir itu, Rio kembali menumpahkan pada gelas Ify dan menyuruh perempuan itu untuk meneguknya lagi. Rio tersenyum sinis dan puas, saat melihat Ify menenggelamkan wajahnya pada meja makan. Perempuan itu benar-benar sudah mabuk. "Kau tahu Ify, inilah tujuan ku sebenarnya. Aku sudah tidak ingin lama menunggu. Kau.....milik ku." Gumam Rio tanpa ekspresi. 

******** 

-Raynald Fubber- Pria itu nampak menuruni tangga rumahnya, wajahnya begitu lesu dan tak bersemangat. Setelan kemeja merah padam polos, serta celana hitam kain katun membalut tubuhnya yang kokoh. Ia menatap dapur rumahnya, lantas tersenyum miris. Dengan pelan Ia melangkah menuju dapur, bukan maksud untuk membuat makanan atau mencari makanan. Ia lakukan disana hanyalah, memandangi seluruh dapur itu. 

Setiap pagi Ia selalu mendapati Perempuan cantik yang tengah memasak disini, tapi sekarang? Semua angan. Hanya angan! Kenapa harus sesakit ini? Bukankah ini semua memang telah direncanakan? Pernikahan itu bukan sungguhan, ada maksud didalamnya. Bahkan Ia juga bertekad, tidak akan hanyut dalam perasaan yang tanpa sadar menyelimutinya?. Tidak! Ini salah! 

"Apa aku harus merebut mu kembali? Haruskah?" Ucap Ray, Ia tersenyum getir melawan seluruh rasa rindunya. "Kau tahu? Ini bukan ingin ku, maafkan aku Ify." Ia tertunduk mengepal kuat tangannya hingga buku-buku jarinya terlihat mencuat. 

Sudah cukup. Ia tidak akan bisa seperti ini terus menerus. Ia membalikkan tubuhnya, untuk pergi kesuatu tempat. Namun saat Ia berbalik, tubuhnya menegang saat melihat siapa saat ini yang tengah berdiri tepat dibelakangnya. 

"Ka.....kau?" 


****** 


"Via...Via tunggu." Perempuan itu akhirnya berhenti melangkah, tapi tidak menoleh sedikit pun. Ia nampak kesal dan marah, sampai akhirnya Pria perawakan wajah korea kini menggenggam tangannya. Namun Via, menghempaskan pegangan itu penuh marah. 

"Jangan pernah mengikuti ku." Balas Via menatap Pria yang lebih tinggi darinya itu. "Dengarkan aku dulu, kau tidak tahu masalahnya." Tukas Pria korea itu masih bersikeras untuk mempertahankan diri. 

"Aku muak dengan semua ini, Alvin! Kau pikir aku tidak merindukannya? Aku tahu kau begitu patuh pada sahabat mu yang sombong itu, tapi apa kau memikirkan aku? Tidak bukan?" Embun yang sejak tadi terbendung pada pelupuk matanya, meleleh sudah. Apakah Pria didepannya ini tidak mengerti akan perasaannya? Atau bahkan tidak pernah peka akan perasaannya? 

Via tertunduk. "Kau tidak mengerti posisi ku. dan aku? Aku ingin kita mengawali semuanya dengan jalan masing-masing. Permisi," Via melangkah dengan cepat, menghapus air matanya yang terus saja mengalir. Meninggalkan Pria perawakan bangsa korea itu terdiam dan mematung ditempat. 

-Calvin Bemars- yang merupakan manager Perusahaan sekaligus sahabat dari Rio. Ia menghela nafas kasar, apa yang baru saja terjadi? Apa yang perempuan itu katakan? Mengambil jalan masing-masing? Apakah ini isyarat bahwa hubungan yang mereka jalin telah berakhir? secepat itu? 

"Katakan bahwa kau bercanda Via." 

********* 

Alyssa's Babies ( [ SINOPSIS ] Sekuel BFA )


~Ify Viewers~ 

Ternyata pernikahan itu tak semudah yang ku bayangkan, ku pikir tetap bersamanya dan seorang malaikat kecil ku, itu sudah lebih dari cukup. Namun ku salah, justru itulah yang membuat pernikahan ini semakin diuji akan ke kokohannya. 

Cemburu? Ya, ini permasalahannya. Hanya sekecil biji apel, tetapi dengan hebatnya dalam hitungan detik mengembang bagai batu yang sangat besar dan siap menghancurkan istana megah sekalipun. 

Dan saat ini, saat inilah masalah itu akan muncul ditengah-tengah keluarga kecil ku yang benar-benar hangat dan bahagia kala terjadi suatu kehancuran. Canda serta Tawa yang terurai begitu manis justru menjadi tangisan tanpa ada kata akhir dan terus membelenggu ku dalam lautan pedih yang menyiksa ku tanpa ampun. 

"Mama, kita akan kemana? Kenapa harus pergi dari rumah? Apakah Papa mengusir kita?" Aku menatap malaikat kecil ku begitu dalam, kemudian mendekapnya, mengecup puncak kepalanya dengan sayang. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, yang pasti aku harus pergi jauh dari sini. Aku tidak meninggalkannya, hanya ingin memberinya waktu untuk berpikir. 

Hatiku terlalu sakit dan perih atas ucapannya. Ucapan terburuk, dan untuk kedua kalinya Ia mengatakan itu padaku. 

Satu yang pasti dia tahu, "Aku mencintainya, sebagaimana pun dia telah mengecewakan ku. Aku disini berdiri dari kejauhan hanya untuknya. Ku tahu dia melihat ku dari sudut terburuk ku, tanpa melihat ke sudut yang lain. Bahwa aku? Akulah permasalahan ini." 

"Tidak akan, aku tidak akan pernah berhenti mencintainya. Karena saat ini? Saat ini aku berusaha meyakinkannya, bahwa hal yang Ia katakan, bukan seperti adanya. Ia hanya tabu, Ia hanya terpengaruh oleh asap debu cemburu yang kemudian membakar secara perlahan. Aku ingin Ia yang dulu, yang mencintai ku tanpa jeda.....bukan seperti saat ini." 


******** 
~Sivia Viewers~ 

Aku begitu bahagia, sangat bahagia. Menghabiskan waktu selalu berdua dengannya. Tapi kau tahu? Aku merasa takut, aku merasa khawatir akan kehilangan dirinya. Aku tahu diamencintai ku, tapi apakah akan bertahan jika cinta itu tanpa sosok mungil yang mewarnai hari-hari mu, apalagi tujuan pernikahan mu memang untuk mengembangkan keturunan? 

Rasa ke khawatiran ku semakin menjadi, disaat tahun-tahun awal pernikahan itu terjadi. Aku merasa tidaklah sempurna sebagai wanita, aku terus mencemooh diri ku begitu buruk. Tetapi? Dengan lembutnya Ia berkata "Tenang, aku akan terus disisi mu. Itu janji ku." 

Aku selalu bisa tersenyum jika Ia tengah menyelipkan kata dalam itu tepat pada daun telinga ku, aksen yang keluar dari suaranya benar-benar penegasan. Dia....tidak akan meninggalkan ku, aku yakin! 

Semakin menambahnya usia pernikahan ku, dan kabar buruk pun terdengar oleh ku. Kabar yang tidak ingin sekali ku dengar, kabar yang ingin ku kubur sedalam-dalamnya. Aku hanya terdiam, membeku, saat salah satu dokter spesialis kandungan mengatakan. Bahwa aku? Aku tidak akan bisa memberikan keturunan. 


********* 
~Agni Viewers~ 

Dia begitu sibuk, sedikitpun tak pernah meluangkan waktunya sekedar untuk menemaniku ataupun putri kecilnya yang saat ini mulai tumbuh dengan sempurna. Tetapi aku mengerti posisinya, aku mengerti dengan keadaannya sekarang. Karena yang terpenting bagi ku? Aku bisa menatap putri kecil ku yang begitu anggun dan cantiknya tengah melenggak-lenggok bak seperti model yang merupakan cita-citanya. 

Aku tahu, dia sangatlah masih muda. Muda sekali, tetapi aku berusaha untuk mendorong, memotivasi serta memfasilitasinya akan impiannya yang ingin menjadi model tersebut. Tapi ternyata impiannya itu benar-benar ditolak tegas oleh Ayahnya, kendati dengan sabar aku terus memberikan pengertian pada ayahnya. 

Namun tetap, suamiku menentang keras akan impian putri kecilnya itu. Setiap kali itu juga, yang menjadi permasalahan dan pertengkaran hebat ku dengan suami ku. 

Aku tetap memotivasi putri kecil ku, aku tetap melakukannya. Seperti saat ini, membawanya pada sebuah Les khusus model padanya. Aku mencuri-curi waktu atau bahkan berbohong pada Suami ku akan pergi keluar sebentar. Aku harus melakukan kebohongan itu, karena aku tidak ingin putri kecil ku menangis tersedu-sedu dikamarnya. Aku tidak ingin melihatnya menangis. 

"Mama, kata mentor ku. Aku harus membawa Mama untuk Show, dan mama harus menggandeng tangan ku kemudian berjalan berdampingan pada panggung nanti. Apakah mama bisa?" 

'Deg. Bagaikan batu yang menohok tepat pada hati ku, aku meremas dan mengepalkan tangan ku, aku terus menatap mata bulat cantiknya dengan pandangan yang sulit diartikan. Aku tahu, putri ku begitu polos. Usianya sangat begitu muda, tapi? Apa yang Ia katakan tadi? Berjalan berdampingan? Apakah aku bisa? Apakah aku bisa menuruti permintaannya untuk yang satu ini? Ya Tuhan..... 


********

Serpihan Gelap ( [ Part 1 ] Pria Tampan Misterius )


Perempuan itu nampak menciutkan tubuh mungilnya yang kini tengah dijagal diantara kedua Pria bertubuh besar dan kekar dikiri dan kanannya. Matanya pun terlihat sembab akibat menangis entah beberapa jam lamanya, sisa-sisa air matanya juga terlihat mengering menghiasi pipi putih miliknya. 

Ia tidak tahu kemana saat ini Ia akan dibawa. Tiba-tiba mobil itu berhenti, membuat Perempuan itu waspada seraya meneguk ludahnya paksa. Salah seorang Pria kekar itu turun dari mobil, lantas menarik Perempuan itu keluar. Ia menolak dan memberontak, benar-benar takut. Dimana Ia sebenarnya berada saat ini? 

"Lepaskan, aku!" Pria kekar tersebut terus memaksa Perempuan itu untuk keluar walaupun dengan cara paksa. Ia kemudian diseret menuju sebuah Rumah mewah tepat berada disamping dimana mobil itu berhenti. Ya tuhan, bagaimana bisa Ia tidak memperhatikan area halaman rumah itu yang sangat spekta! Dengan patung kuda yang mengeluarkan air mancur dibagian mulutnya, kuda itu berwarna emas. Sehingga terlihat elegan dan begitu mewah, mungkin saja itu memang terbuat dari emas, melihat kesan mewah dan megah rumah ini yang bak seperti Istana kerajaan Perancis. 

Belum lagi halaman disana tengah dipasang sebuah rumah-rumahan kecil macam Paviliun tetapi bukan sebuah Paviliun, dengan berukuran sedang. Diatas atapnya berukir tanaman bunga menjalar yang mengelilinginya, Perempuan ini berpikir mungkin jika merasa bosan, pemilik rumah ini akan berkunjung kesana sekedar melepas lelah sambil menikmati kolam ikan yang berada dibawah rumah-rumahan kecil itu. Belum lagi terdapat tanaman anggur disampingnya, Ah. Pasti sangat menyenangkan. 

Namun, kekaguman Perempuan itu buyar seketika saat kedua Pria kekar itu terus menyeretnya masuk ke dalam Istana megah tersebut. Perempuan itu -Lalyssa Fynox- perempuan bertubuh mungil, memiliki rambut tebal dan lembut, kedua alis yang cukup tebal dengan kedua bola mata cantik berwarna coklat pekat hampir mendekati warna hitam. Akhirnya mereka pun berhenti tepat disebuah ruangan, ruangaan itu diterangi dengan sinar lampu yang remang-remang. 

Kedua Pria kekar itu tiba-tiba saja meninggalkannya. Ia terdiam, setelah mendengar pintu besar ruangan kosong ini ditutup begitu keras dan terkunci, Ia lantas tersadar kemudian berlari kearah pintu setengah meronta-ronta juga berteriak sekeras mungkin ingin meminta keluar. Namun percuma, semua itu tidak akan mungkin, Ia disini karena dijual! Dijual oleh suaminya sendiri. 

Tak terasa tenaganya telah terkuras habis akibat teriakan-teriakan juga memukul-mukul pintu besar itu. Apa yang sebenarnya dipikiran suaminya? Sehingga tega menjualnya entah kepada siapa Ia pun tak tahu. Ia membalikkan badannya, bersandar kemudian terperosot seakan-akan tulang-tulangnya tak lagi mampu menopangnya untuk berdiri. Ia menangis, menangis dalam diam. 

Kedua kakinya Ia tekuk, lantas melipat kedua tangannya dan menenggelamkan wajahnya disana. Ia merasa asing, Ia tidak pernah menyangka jika hidupnya sekelam ini. Sejak lahir tak mempunyai sanak keluarga ataupun orang tua, hanya dibesarkan disebuah Panti asuhan. Setelah Ia beranjak dewasa tiba-tiba seorang Pria muda datang berkunjung ke Panti tersebut, sejak saat itu mereka mulai akrab. Menjalin hubungan selama 6 bulan, kemudian? Memutuskan untuk menikah beberapa minggu yang lalu. 

Ia meremas pakaian yang Ia kenakan saat ini menyalurkan seluruh sakit hatinya pada suaminya itu. Tidak! Dia bukan suami! Hanya penipu ulung untuk menjual dirinya kepada laki-laki hidung belang, seperti saat ini. Ia hanya bisa pasrah apa yang akan terjadi selanjutnya. 

Detik berikutnya, Ia mendongak menghapus air matanya yang terus menjuntai turun. Ia memandang disekitar ruangan ini, jika ini penyekapan? Kenapa berada disebuah ruangan besar yang lengkap akan alat musik seperti ini? Sebuah panggung mini ditengah-tengah ruangan besar yang bak seperti gedung pesta. Apakah ini sebuah ruangan khusus untuk pesta-pesta? 

Ia terkesiap, saat melihat sebuah kilauan-kilauan yang berada diujung kanan ruangan ini. Ia beranjak kemudian melangkah pelan kesana, karena sangat begitu penasaran. 

Perapian kecil? Ruangan seperti gedung ini? Mempunyai sebuah pearpian kecil? Diatas perapian itu terdapat sebuah figura Foto yang nampak usang termakan debu. Ia berusaha meraihnya, ingin melihat wajah dari Foto tersebut. 

Sedikit menjinjitkan lagi kakinya, maka Ia akan sampai. Sedikit lagi dan...... 

"Jangan sentuh apapun yang berada ditempat ini !" Suara berat itu mampu membuatnya terkejut sehingga menghempaskan tubuh mungilnya ke tembok dekat perapian tersebut. Dentuman jantungnya tak habis-habisnya berdetak begitu keras, wajahnya memucat mendengar suara tersebut. Suara itu begitu dingin dan menakutkan, Ia terus menatap sosok itu dibalik lampu remang-remang ini. Tidak terlalu jelas, yang sempat Ia nilai hanya kesan misterius juga menakutkan. 

Sosok Pria bertubuh tegap, tinggi menjulang mengenakan kemeja hitam lengkap dengan celana kain katun hitam mendominasi fisiknya yang begitu sempurna, hanya sekedar itu Ia bisa menilai. Wajahnya tidak nampak karena lampu ini yang sangat begitu mengganggu indera penglihatannya. Apakah? Apakah ini Pria yang membelinya itu? Tidak. Apa yang akan Pria ini lakukan padanya. Ia terlihat waspada, saat Pria itu melangkah pelan menuju kearahnya kemudian kembali berhenti. 

Pria itu nampak berpikir sebentar. "Kau Lalyssa Fynox?" Tanyanya masih dengan nada dingin yang terkesan misterius, Pria itu bersedekap. Perempuan itu hanya diam, tidak berani membuka suara untuk menyahut. Matanya hanya terfokus untuk waspada apa yang akan Pria itu lakukan padanya. 

"Bisakah kau menjawab pertanyaan ku !" Perintahnya dengan suara yang lebih meninggi nampak geram, Pria itu terlihat mengertakkan rahangnya menahan amarah. Lalyssa Fynox yang memang kerap disapa Ify itu memejamkan matanya karena takut, nafasnya memburu, dadanya tiba-tiba sesak. Tak terasa Ia menganggukkan kepalanya memberi respon kepada Pria itu. 

Seakan-akan tahu apa yang Ify maksud akhirnya Pria itu mendesah kasar. "Kau bisu? Ck. Tidak seharusnya aku membeli perempuan semacam diri mu, terlalu lemah, rapuh dan cengeng." Ucapnya kemudian membuat Ify semakin meremas pakaiannya, mencoba mengendalikan desahan nafasnya yang tak teratur. 

"Lalu kenapa kau membeli ku?" Dengan keberanian Ify akhirnya bersuara, Pria itu nampak tersenyum sinis. Memasukkan kedua tangannya pada saku celana. Memandang Ify Intens dibalik sinar remang-remang ini. Perempuan itu nampak takut dan tertekan. 

"Oh, ternyata kau mempunyai suara yang lumayan seksi." Glek. Ify menelan ludahnya, apa yang Pria itu katakan? Oh Tidak. Hentikan. Apaan ini? Komentar Pria itu sama halnya seperti bisa ular bagi Ify, lambat laun akan membuatnya mati. Tidak. Tidak akan. 

"Kau ingin tahu kenapa aku membeli mu? Membeli mu dari suami bodoh mu yang gila akan harta itu? Kau seharusnya justru berterima kasih padaku, hidup mu terselamatkan oleh ku." Pria sombong ! Ify menghujat Pria itu dalam hatinya, namuan seketika hatinya mencelos saat mendengar penjelasan singkat Pria yang berjarak cukup jauh darinya itu mengenai alasan suaminya yang menjualnya. Jadi, benar? Suaminya itu hanya penipu ulung, dengan segenap cinta palsu padanya? Dan dengan bodohnya Ify mempercayai? Ya Tuhan... 

Ify kembali menitikkan embun-embun yang mulai mengalir pada pipinya, tubuhnya bergetar. Pria dihadapannya itu hanya mengangkat satu alisnya kembali mendengus kesal. Bisakah Ia melihat semua perempuan tanpa menangis? Ah, tidak. Itu semua mustahil. Mana mungkin ada wanita seperti itu, dasar wanita. Hanya menangis jika merasa perasaannya sakit atau bahkan terluka dengan alasan konyol, mungkin. Ya....seperti perempuan dihadapannya ini. Ia kembali menatap perempuan itu sinis, bagaimana bisa Ia memperkerjakan perempuan ini jika baru berbincang sedikit saja sudah membuat perempuan itu ketakutan, lihat saja itu. Bahkan menangis saat ini.... 

"Pelayan...."Suara berat lelaki itu kembali menggema didalam ruangan luas ini, tak berapa lama seorang pelayan wanita tua yang diiringi 2 pelayan muda dibelakangnya mereka menunduk ukuran punggung. 

"Ya Tuan.." Jawab pelayan paruh baya tersebut masih dalam keadaan membungkuk memberi hormat. Pria itu nampak masih betah menatap Ify yang masih menangis, lagi-lagi Ia mendengus. 

"Bawa dia ke kamar, ubah dia secantik mungkin. Aku tidak ingin melihatnya kotor atau berantakan seperti itu." Perintah serta komentar yang begitu pedas, setelah mengamanatkan perintah pada pelayannya. Pria Itu melangkah pergi, dengan langkah yang penuh elegan. Menghilangkan kesan wangi Parfume yang sangat harum diruangan ini. 

Para pelayan nampak membantu Ify berjalan. Entah kenapa saat ini Ify merasa lemah sekali, jangankan untuk berjalan. Mendengar semua ucapan dari Pria tadi saja, tidak begitu jelas didengarnya. Hati dan pikirannya sibuk memikirkan hal-hal lalu, hal-hal yang menyenangkan dengan suaminya sebelum mereka menikah. 

Saat dimana keduanya terasa begitu berbahagia tak ada kebohongan dan kepalsuan, seperti.....saat ini. Cukup sudah, semuanya sudah berakhir. Berakhir dengan cara yang tragis.....Cinta penuh kepalsuan. 


********* 

Pria itu berdiri mematung didalam ruang kerjanya, menatap kearah luar kaca ruangan ini. Beberapa menit yang lalu baru saja Ia berbincang dengan Perempuan yang Ia beli. Membeli? Ia mendesah lantas menggelengkan kepalanya. 

Wajah tampannya dengan sepasang mata hijau gelap, sepasang mata yang begitu tajam dan dingin. Tidak akan ada yang mampu menatap mata dingin itu terlalu lama, kesan yang terumbar hanyalah suatu peringatan. Peringtan untuk berhati-hati jika tidak ingin mati dengan tangannya sendiri. Pengusaha muda terkenal mempunyai banyak saham dimana-mana, tidak tanggung-tanggung sebagian besar Eropa serta negara ASEAN lainnya merupakan tempat saham-saham yang Ia tanam begitu besar disana. Dan saat ini Ia tengah diincar-incar Paparazi mengenai Privacy kehidupannya yang begitu tertutup. 

Menurut desas-desus, Directur muda dari Perusahaan -Almian Classes- ini, Ia mempunyai seorang anak hasil hubungan gelapnya dengan seorang wanita. Wanita tersebut merupakan Penyanyi terkenal di Perancis, namun berita hangat itu meredup seketika saat salah satu Tim Paparazi mendapatkan peringatan dari Manager perusahaan -Almian Classes-. 

-Dambrio Gluemian- Ia lah Directur muda yang saat ini tengah diperbincangkan oleh seluruh masyarakat Eropa, tidak ada yang tidak mengenal Direktur muda ini. Direktur muda yang sangat misterius dan menakutkan. Dibalik itu semua, sikapnya memang menunjang kedisiplinan, Pekerja keras, dan tidak akan main-main dengan keputusannya. 

Otaknya terlalu melebihi kapasitas sehingga, baik Professor pun akan kalah kecerdasan dengan dirinya. -Dambrio Gluemian- semua akan tunduk, takut dan patuh padanya. Dan apa pun, akan selalu bisa didapatkannya tanpa terkecuali. Dia.....seorang Direktur terkaya dan berkuasa di Eropa. 


******* 

Pria itu menatap kosong cincin yang saat ini melingkar pada jari manisnya, dengan samar Ia membelai lembut cincin emas putih itu. Embun dimatanya seakan-akan berteriak ingin keluar dari bendungannya, Ia memejamkan matanya. 

Menekan dan menenggelamkan embun itu agar tidak keluar saat ini. Ia Pria yang kuat, tidak mungkin dia menangis. 

Setelah merasa benar-benar nyaman, Ia lantas membuka kembali matanya. Meraih kembali perhatian pada cincin emas itu, Ia tersenyum saat melihat ukiran kecil yang tertuang pada cincin tersebut. 


Glek. Ia menelan ludahnya dengan paksa. Mendesah panjang lantas mengecup cincin emas putihnya. 

"Semoga kau baik-baik disana, Maafkan aku." Gumamnya penuh pilu, ah tidak. Bagaimana ini bisa terjadi ! Kenapa semuanya harus secepat ini? Tak puas hanya menatap cincin itu, Ia meraih sebuah sapu tangan. Sapu tangan sutera berwarna Cream lembut. Aroma dari sapu tangan itu, merupakan aroma yang sangat Ia rindukan. Tidak bisakah waktu kembali terulang? Ah, tidak semuanya tidak akan pernah terjadi dan terulang. Semuanya sudah terlambat. 

"Aku jatuh dalam lubang yang ku gali sendiri. Diawal aku hanya ingin menjatuhkan mu...." 

"...... tetapi? Tanpa ku sadari, aku terlalu takut meninggalkan mu didalam lubang itu sendirian. Aku ikut terjun, untuk menemani mu...." 

"Tapi kenyatannya? Aku justru terkubur sendiri. Terkubur didalam kesunyian yang ku putuskan sendiri." Ia tersenyum getir, kembali mencium aroma dari sapu tangan itu. "Aku....aku merindukan mu...sangat merindukan mu." 


******* 

Bocah kecil. Wanita ini memutar kedua bola matanya saat melihat bocak kecil yang menggemaskan itu tengah asyik bermain dan menganggurkan makanannya saat ini. 

Ia baru saja pulang kerja, tetapi pemandangan yang disuguhkan oleh bocahnya itu sungguh keterlaluan. Lihat saja, mainan berserakan dimana-mana. Hampir membuat lautan mainan pada ruang keluarga mewah ini. 

Pelayannya tengah sibuk dan lelah mengejar bocahnya itu yang saat ini berumur 5 tahun. Dia menggemaskan, apalagi wajahnya yang tampan sangat menurun dari Ayahnya. Rambutnya tebal, dengan hidung yang mancung, sayangnya bocahnya itu masih terlalu lucu saat berbicara. Dia tidak bisa menyebut huruf 'R' dan 'L' secara sempurna. 

Wanita itu tersenyum sebelum akhirnya memutuskan untuk menghampiri anaknya. "Hayyy, sayang. Apa yang kau perbuat sehingga membuat rumah ini sungguh berantakan." Wanita itu berjongkok, saat mendapati bocah itu berlari kearahnya dan meninggalkan pelayannnya yang saat itu sedang berusaha memberikan segelas susu untuk diminum oleh bocah itu -Dami-. 

"Ibu Puang (Ibu Pulang)." Wanita itu terkikik geli saat mendengar celetohan lucu bocah tampan itu. "Iya, Ibu pulang. Jadi....mau kah kau meminum segelas susu mu?" Dami menggeleng tegas seraya memainkan alis Ibunya tersebut. 

"Oh ya? Kau tidak mau?" Wanita itu mencoba menggodanya, Dami nampak berpikir lama tapi akhirnya Ia kembali menggeleng. 

"Kau tahu? Jika kau tidak meminum susu mu, kau selamanya tidak akan bisa mengatakan huruf 'R' dan 'L'. Nantinya, kau akan dijuluki teman mu. Dami si Cadel, kau mau seperti itu?" Ibunya kembali menakutinya. Dan biasanya ini senjata ampuh untuk menakuti Dami jika tidak ingin makan atau meminum susunya. 

"Papa beyum(belum) datang, dan Dami tidak akan minum susu itu, jika Papa tidak datang." Dami nampak cemberut dan bersedekap, ya Tuhan. Kenapa tingkah menjadi sama persis seperti dengan Ayahnya. Wanita itu medesah pelan. 

"Dami. Tatap mata ibu sebentar." Wanita itu tersenyum, Dami memperhatikannya. Tapi justru jari kecil Bocah itu memainkan kembali alis Ibunya. Entah kenapa, Ia suka sekali memainkan alis Ibunya itu. "Damiiii..." Ibunya memperingatkan agar bocah itu fokus padanya. 

"Iya, Ibuuuu." Wanita itu menyentil pelan hidung Dami. "Itu hukuman untuk mu, selalu saja membuat Ibu jengkel..." 

"Kau merindukan Papa?" Dami tampak mengangguk, Wanita itu tersenyum. "Gantilah pakaian mu, kita akan kerumah Papa. Ibu juga akan mengganti pakaian." Dami mengkerutkan keningnya. 

"Apakah Papa ada diyumahnya(rumahnya) ?" Wanita itu mengangguk. "Tentu saja, lekaslah." Dami tersenyum mengembang, kemudian berlari lebih dulu dari pelayannya. Anak itu terlalu bersemangat untuk bertemu Papanya. Wanita itu merasakan matanya memanas melihat nasib Dami. "Kau tahu Nak, Papa mu sama saja tidak mengharapkan kehadiran mu disisinya. Ia hanya menemui jika tidak terlalu sibuk." 


******* 

-Dambrio Gluemian- Ia sepertinya begitu sibuk dengan berkas-berkas dimejanya saat ini. Padahal baru saja Ia ingin meminta waktu pada perusahaannya untuk sementara tidak diganggu jika Ia sedang Pulang kerumah. Tapi nyatanya, Ia harus melakoni dan membabat tuntas pekerjaannya walaupun saat ini tengah berada dirumahnya sendiri. 

Rio pekerja keras, dan Ia selalu mendahulukan pekerjaannya apapun itu. Pekerjaan adalah hidupnya. Seperti saat ini, menggeluti berbagai macam berkas yang baru saja diantar oleh pegawai perusahaannya. Karena manager Perusahaannya bilang, semua berkas itu penting. Dan mau tak mau, Rio harus menurutinya. 

Pintu ruangan kerjanya terdengar diketuk. Ia meraih remote Pintu otomatis tersebut, sehingga membuat pintu itu bergeser ke kiri dan sempurna terbuka. "Masuk." Gumamnya dingin, tanpa mengalihkan pandangan dari berkasnya. 

Ia hanya mendengar suara kaki tengah melangkah ke arah mejanya, tapi kemudian berhenti. Rio mengkerutkan keningnya, memasang wajahnya yang masih nampak dingin dan menakutkan, belum juga beralih dari berkasnya. Tapi Ia tahu siapa itu... 

Sekian detik tak ada suara, hingga akhirnya Ia merasa bosan menunggu sosok didepan meja kerjanya ini untuk membuka suara. Ia mendongak, mengalihkan perhatiannya pada sosok didepannya ini. 

Tatapan itu saling berpendar, sosok itu seakan-akan terhanyut melihat mata hijau gelap dari Pria yang tengah duduk pada meja kerjanya. Ia masih terpana, Ya Tuhan.... Jadi seperti ini wujud yang tadi saat diRuangan luas seperti gedung 1 jam yang lalu? Tampan sekali. Sosok yang kini justru terpana akan ketampanan Pria yang tengah duduk menatapnya itu, ternyata Ify yang saat ini telah berubah penampilan. 

Rambutnya dibiarkan tergerai, potongan kemeja press body berwarna biru malam, sehingga memperlihatkan bentuk tubuh mungilnya yang begitu eksotis. Apalagi dipadu dengan rok mini berwarna hitam pekat, namun masih santun dan sopan jika dilihat, Menampakkan bagian kakinya yang jenjang. 

Rio hanya menatap sekilas, sekarang dia menyadari perempuan itu tengah memperhatikannya tanpa berkedip. Ia mendengus, kemudian beranjak membuat Ify yang sejak tadi mengagumi ketampanan wajah Pria didepannya itu, tersadar sempurna. 

'Glek. Ify menelan ludahnya susah. Apa yang akan dilakukan Pria yang membelinya ini? Pria itu semakin mendekat kearah Ify yang tertunduk. 

Pria itu hanya menaikkan satu alisnya, masih memasang wajah datar, misterius dan menakutkan. 

Pikiran buruk Ify kembali bergelayut pada kepala cantiknya. Apakah? Pria ini akan melakukan hal buruk padanya? Pikiran itu terus meracau pada otaknya, terus memberikan penilaian serta elemen negative pada Pria tampan didepannya ini. 

"Bisakah pikiran buruk mu tidak kau tujukan pada ku? Kau pikir aku membeli mu untuk hal-hal tidak penting seperti yang kau pikirkan saat ini." Rio lagi-lagi mendengus menatap sinis perempuan didepannya ini. Kenapa bisa pria ini membaca pikirannya? 

"Listen to me !" Nadanya begitu dingin dan tak terbantahkan, Jari telunjuknya menghela dagu Ify agar menatapnya. Manik mata keduanya. "...jangan pernah berpikir kau kriteria ku, kau sama sekali bukan kriteria ku. Dan jangan pernah membantah apapun yang ku katakan jika kau ingin selamat. Ingat itu! Ikut aku." Tubuh Ify menegang saat mendengar kalimat terakhir itu, tak terasa lengannya ditarik oleh Rio, yang bisa Ia lakukan saat ini hanya bisa pasrah dan mengikuti semua permintaan Pria tampan itu, walaupun Ia sama sekali tak mengetahui nama Pria tersebut. 


*** 

Serpihan Gelap (PROLOG)


Bagaimana jika kau tahu bahwa lelaki yang selama ini kau cintai dan bahkan memutuskan untuk menikahi mu, dia melakukan apa saja untuk mu, menyayangi mu. Tetapi, disaat pernikahan itu terjadi belum genap sehari Pesta pernikahan meriah itu selesai. Lelaki yang telah berstatus sebagai suami mu itu tidak menginginkan mu untuk tidur bersama layaknya suami-istri pada umumnya ? 

Apa yang akan kau lakukan ? Menangiskah ? Atau bahkan memberontaknya ? memakluminya dengan kebaikan hati mu ? Seringan itu kah ? Bisakah kau memakluminya terus menerus hingga 1 minggu berturut-turut dengan kalian memiliki kamar masing-masing tanpa kebersamaan layaknya pengantin baru ? Berbagai kelabat pertanyaan bahkan hal buruk lainnya sudah pasti berkecamuk dalam pikiran mu hingga menimbulkan emosi yang besar, bukan ? Semua terdominasi dengan tidak adanya percakapan diantara keduanya, Suami mu tidak pernah kau dapati tengah sarapan pagi ternyata Ia telah berangkat bekerja, dan malam ? Kau tertidur menunggunya pulang larut malam. Inikah sebuah pernikahan ? tidak adakah yang seperti dulu disaat hubungan mu yang begitu hangat sebelum pernikahan ini terjadi ?. 


Sampai suatu ketika, pencetusan itu terjadi. Pencetusan yang mengakibatkan tubuh ku bergetar dan tidak bisa lagi menahan gejolak kemarahan yang ku lepaskan begitu saja melalui tamparan keras dari tangan mungil ku. Pencetusan yang berakibat pernikahan itu pun usai, "Aku telah menjualmu kepada Teman ku. Besok surat perceraian kita harus segera kau tanda tangani." Ucapnya, ternyata tamparan keras juga air mata ku yang terus mengalir ikut mengiringi kesakitan ini tidaklah bisa menyadarkannya atas apa yang Ia ucapkan. 

"Kau Brengsek ! Apa maksud mu dengan menikahi ku lalu setelahnya kau menjual ku begitu saja kepada teman mu ! Kau pikir aku barang dan semacamnya yang bisa kau tukar dengan Uang, Hah ?" Sekali lagi aku menamparnya dan Ia hanya menunduk ditempat. "Maafkan aku." 

Aku menatapnya sinis, tidak menyangka hanya Ucapan itu yang sekedar terlintas dari mulutnya. "Apa kau bilang ? Maaf ? Maaf atas apa yang sebentar lagi akan terjadi pada ku ?. Bodoh ! Kau Bodoh ! Aku membenci mu. Jangan berharap aku mau bersama teman mu itu." 

"Bagaimana pun kau mengatakan tidak atau bahkan lari kemana pun. Kau tidak akan bisa pergi," 

"Ck. PERSETAN DENGAN UCAPAN MU." Aku lantas berlari menuju kamar ku lalu memasukkan seluruh baju ku kedalam Koper besar ku. Tidak, aku tidak mau dijual seperti ini. Dijual oleh suami ku sendiri, pernikahan yang masih berumur sangat muda lalu diceraikan dengan cara tragis ini. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi ? Dosa besar apa yang ku perbuat sebenarnya ? Sudah cukup kesusahan ku tanpa Orang Tua, Inikah jalan hidup terberat yang harus ku jalani ? Seperti inikah ? 

Pintu kamar ku terbuka lebar sampai akhirnya, 2 Pria kekar masuk kedalam kamar ku, aku tidak tahu siapa mereka. Lantas, aku mendengar suara Suami ku memerintahkan 2 Pria kekar itu untuk menyeret ku keluar dan membawa ku pergi dari rumah. 

Aku menjerit ketakutan, tetapi saat melewati dihadapan Suami ku. Entah kenapa tatapannya penuh dengan luka dan penyesalan. 


********* 

Pria ini memandang Manager perusahaannya dengan angkuh dan dingin. "Aku tahu, sebentar lagi semuanya akan terjadi." 

Sang Manager hanya mengernyitkan dahinya bingung. "Kau terlalu cepat, aku sebagai sahabat mu hanya bisa memberi saran." Pria dingin itu membuang muka lalu berdecak. 

"Jadi menurut mu, ini bukan waktu yang tepat ? Aku sudah lama menunggu, dan kau pikir penantian ku selama ini apa ? Dasar bodoh." Pria itu lalu meraih remote pintu otomatis ruang kerjanya maka terbukalah pintu tersebut. "Ku rasa, pintu ku sudah menyuruh mu kembali bekerja..." 

"Tunggu apa lagi ? Kau bisa keluar sekarang." Manager atau sahabatnya itu mendengus kesal. 

"Pertimbangkan lagi saran ku, jangan ceroboh." Pria itu menggeleng. "Tidak akan, Cepatlah kau pergi." 

"Dasar !" Akhirnya Manager itu pun pergi meninggalkan Pria ini yang sedang asyik tertawa menahan gelinya. 

Begitu asyik tersenyum dan membayangkan hal-hal yang akan terjadi setelah ini, membuat perasaannya begitu senang. Senyumnya sirna saat ponselnya berdering menandakan ada yang menelpon. 

Senyuman itu kembali datang saat tahu siapa yang menelponnya. 

"Ya, Hallo sayang." 

"..........." 

"Mobil-mobilan ? Hanya itu yang kau mau ?" 

"..........." 

"Papa akan segera pulang, tunggulah dirumah. Bersihkan tubuh kotor mu itu dulu, jangan buat Ibu mu melaporkan hasil kenakalan mu disekolah kepada Papa." 

"..........." 

"Kau pintar sekali Bola, Cepatlah mandi lalu matikan Ponselnya dan kembalikan pada Ibu. Dahhhh Sayang." 

"............" Akhirnya sambungan singkat itu berakhir, Senyuman itu kini terukir lebih mengembang. 

"Ckck, dasar Bola. Kau pikir Papa mu bisa kau bodohi ? Lihat saja apa yang terjadi jika ayah pulang, kau pasti belum mandi." Pria itu menggelengkan kepalanya tak habis pikir karena anaknya begitu pandai mengakalinya, tetapi anaknya itu jugalah salah satu penyemangat terbesarnya. 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Frisca Ardayani Book's - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger