Home » » Baby For Alyssa ( Part 10 )

Baby For Alyssa ( Part 10 )


Selama jam kerja yang Sivia lakukan hanya melamun, kerap kali pegawai lama menegurnya agar bekerja dengan konsentrasi. Sivia mengangguk seraya tersenyum apabila berulang kali ditegur seperti itu dan kembali bekerja, sekarang akhirnya waktu istirahat. Karena jarak dari kantor kecamatan desanya dengan rumahnya sangatlah dekat, Ia pun memutuskan untuk pulang dan makan siang dirumah saja lagi pula waktu istirahat 1 jam lebih hitung-hitung mengirit keuangannya. Sivia hanya tinggal berdua dengan kakak laki-lakinya, namun begitu sang kakak sangat jarang berada dirumah, sibuk dengan urusan berjudi juga mabuk-mabukkan. Jika pun pulang hanya ingin meminta uang pada Sivia, Kedua orang tua mereka sudah lama meninggal dunia. Faktor utama yang membuat kakak laki-lakinya berubah yang dulu penyayang dan lembut dalam bertutur kata, karena Orang tua mereka yang meninggal. 

Sivia menepis semua pikiran masa lalunya dan kembali tertarik saat Ia dan Alvin tengah berada diterminal, masih teringat jelas wajah Alvin yang begitu kacau memeluknya dengan erat mencari kenyamanan dan ketenangan. 


-------------- 

"Ehmm.. Sepertinya kita bertemu lagi, dan kali ini disengaja." Sivia langsung melompat saat sebuah suara mengagetkannya begitu saja, Ia menoleh. 

"Alvin, kau...? Bagaimana kau bisa disini?." Tanya Sivia cepat, wajahnya menampakkan ekspresi marah. Alvin berpikir bahwa Sivia masih tidak terima dengan kebohongan kepada sahabatnya itu. 

Alvin mendekat. "Hmmm... Sepertinya, aku perlu mencium pucuk hidung mu lagi agar kau bisa bersikap jinak seperti malam itu." Wajah Sivia seketika bersemu merah saat mendengar ucapan dari Alvin, Sivia malu. 

Alvin terkekeh. "Tadi aku berniat ingin menjenguk kalian berdua, tiba-tiba saja aku melihat mu ditrotoar dan mengarah ke teriminal ini. Aku mengikuti mu." Jelas Alvin, "Dasar laki-laki penguntit diam-diam." 

Alvin membeku ditempat. "Dasar laki-laki penguntit." Kata-kata itu memutari otaknya tanpa ampun, kalimat yang selalu Ia dengar saat itu. Dan kini, Sivia mengatakan hal yang sama walaupun Ia tahu Sivia secara kebetulan saja mengatakannya. Namun mampu membuat Alvin terdiam, dengan satu helaan membuat tubuh mungil Sivia terengkuh sempurna olehnya. "Aku merindukan mu... Aku merindukan mu." 
Sivia tengah syok atas semua perlakuan Alvin yang tiba-tiba ini, membuatnya tidak menyadari bahwa sekarang berpuluh-puluh pasang mata memperhatikan mereka berdua sebagai tontonan drama tanpa memungut biaya. 

"Alvin....," gumam Sivia tak percaya 

Alvin terus mengeratkan pelukannya, "jangan lepaskan Sivia, ku mohon.....," Sivia begitu malu saat menyadari semua orang menjadi mereka berdua sebagai objek yang menarik, terdengar isakan kecil dari Alvin tubuhnya bergetar pelan. Menangis dalam diam. 

Sivia menjadi bingung kenapa Alvin seperti ini, matanya langsung menyusuri dimana mobil Alvin berada perlahan namun pasti Sivia melangkah pelan dan diikuti Alvin yang masih memeluknya sambil terisak. Untunglah mobil itu tidak terkunci, Sivia memilih untuk masuk dikursi penumpang setelah Alvin masuk duluan. Alvin menurut saja, saat Sivia masuk Ia kembali memeluk Sivia. Karena begitu bingung akhirnya Sivia mengusap lembut punggung Alvin dengan jemari mungilnya. 

"Alvin....," panggil Sivia, tak beberapa lama Alvin pun melepaskan pelukannya, menghapus kasar air matanya yang tadi sempat mengalir, Alvin begitu kacau. "Anggap saja aku tidak pernah mengeluarkan air mata ku tadi, Anggap saja mata ku ke masukan debu." Nadanya terkesan marah, Sivia mengkerutkan keningnya terus menatap Alvin yang sekarang memandang ke arah luar kaca mobilnya dengan melipat kedua tangannya di dada. Tatapannya begitu hampa, Alvin beralih pada lehernya lalu menarik sebuah kalung yang berbandul 2 cincin emas putih begitu elegan. 

Alvin tersenyum getir, pikiran Sivia langsung menjalar ke segala arah. Alvin tahu pasti saat ini Sivia sedang bingung dan terus bertanya-tanya ada apa dengan sepasang cincin emas putih itu yang kini digenggam Alvin. Alvin menoleh pada Sivia, "Bisakah pikiran mu itu tidak berprasangka buruk pada ku ? Walaupun aku terlihat lebih jahat dari kedua sahabat ku itu, tapi aku tidak sejahat dan sepicik Rio." Sivia tertegun, berusaha mengalihkan kegugupannya karena pikirannya berhasil dijelajah oleh seorang Alvin. 

"Ini cincin perkawinan." Terang Alvin terus menelusuri sepasang cincin tersebut, Sivia hanya memperhatikan. Takut-takut Alvin juga ingin memaksanya untuk menikah dengannya sama yang seperti Rio ingin lakukan kepada Ify. "Sudah ku bilang Sivia, aku tidak seperti apa yang kau pikirkan." Lagi-lagi Alvin berucap tapi kali ini tanpa menoleh pada Sivia. 

"Bagaimana kau bisa mengetahui pikiran ku ?." Akhirnya karena kesal Sivia bertanya juga dengan begitu polos pada Alvin, Alvin terkekeh. "Raut wajah mu itu mudah ditebak, apalagi pikiran-pikiran buruk mu itu." 

Sivia mengerucutkan bibirnya lalu beralih menatap sepasang cincin yang di pegang oleh Alvin. "Cincin untuk Siapa? Kau akan menikah. ?." Alvin menggeleng 

"Lalu ?." Alvin melepaskan kalung pada lehernya, kemudian mengelurkan sepasang cincin itu dari Kalung. Alvin meraih tangan Sivia lalu memasangkan begitu saja satu cincin berukuran lebih kecil dari cincin yang satunya. Alvin memejamkan matanya saat mengetahui ukuran itu begitu pada jari manis Sivia, "Ambillah Sivia, sebagai tanda Terima kasih atas pelukan mu tadi yang begitu membuat ku tenang....," 

"Jangan menolak apalagi melepasnya, hanya itu yang ku inginkan. Sebagai tanda terima kasih." Lanjut Alvin karena melihat Sivia yang akan mulai berontak, "Bisa pasangkan cincin ini pada ku ?." Pinta Alvin 

"Tenang Sivia, ini bukan hal pelamaran atau semacamnya. Ungkapan Terima kasih ku." Dengan enggan Sivia meraih cincin itu lalu memasangkannya pada jari manis Alvin, Alvin tersenyum Sivia manatapnya bingung. "Aku rasa, aku tidak pantas memakai cincin berpasangan seperti cincin perkawinan ini seperti mu Alvin. Lebih baik kau berikan saja pada calon pengantin mu nanti, dan pelukan itu kau tidak per.....," sebuah kecupan kembali jatuh pada pucuk hidung Sivia dengan lembut, Sivia mematung. Lagi-lagi ucapannya terhenti begitu saja, "sudah ku bilang, jangan menolak dan berulang kali ku katakan ini sebagai ungkapan terima kasih ku." Sivia memilih diam, Alvin membuka pintu mobilnya lalu menoleh kearah Sivia. 

"Lekaslah duduk didepan Sivia, aku akan mengantarkan mu pulang ke Desa." Alvin kembali tersenyum geli. "Sudah berapa kali aku bilang ? Kau itu mudah ditebak, jadi aku tahu kau akan pulang ke desa hari ini. Lekaslah." Akhirnya mereka pun menempuh perjalanan menuju desa Sivia, tak ada banyak pembicaraan diantaranya karena begitu sibuk dengan pikiran masing-masing. 

"Maafkan aku, sudah saatnya aku beralih dari masa lalu ku dengan mu." Alvin pun membatin danterus menggasmobilnya tanpa memperdulikan Sivia yang tiba-tiba saja menjadi pendiam. 

---------- 

Sivia sadar dari lamunannya, saat mendengar ketukan pintu rumahnya. Dilirknya jam dinding rumah masih ada waktu 20 menit untuk kembali ke kantor kecamatan. Sivia bingung, siapa yang bertamu ? 

Dengan langkah pelan, Ia pun membuka pintu dan terkejut saat orang yang mengetuk pintunya itu tumbang begitu saja dihadapannya. 

"KAKAKKK !?." 


********* 


Ify sedang bermain dengan Clara, mencoba mengajarkan si kecil itu untuk berlatih melangkah. Pertama-tama Ia mengajarkan Clara untuk berdiri dan merayap ditembok rumahnya, seketika tawa Ify pecah saat melihat Clara begitu berusaha agar bisa berdiri ditembok rumahnya itu. "Hey hey, jangan terlalu bersemangat Clara." Ungkap Ify geli, seperti tidak ingin diganggu Clara terus saja berusaha untuk berdiri ditembok namun tiap kali itu juga dia gagal. 

"Bubububu." Clara menggerutu dengan panggilannya terhadap Ify, dan sepertinya si nakal itu marah karena Ify terus mentertawakannya. Ify yang sadar lalu menghampirinya, "baiklah manis, bubu tidak akan tertawa lagi. Ayo sini bubu bantu kau berdiri." Seolah-olah senang karena bisa berdiri, Clara malahan melompat-lompat senang tapi tetap dengan penjagaan tangan Ify. 

"Kau ini nakal sekali, sudah-sudah tulang mu akan sakit Clara." Nasehat Ify, Clara menatap Ify lalu tersenyum matanya menyipit. Deg ! Ify meneguk ludahnya susah, senyum ini ? Senyum ini kenapa begitu mirip dengan Zariel bukan Rio ? Ify menggelengkan kepalanya kasar, tidak ! Dia tidak boleh memikirkan lelaki itu, tapi kenapa baru saat ini Ia menyadari akan senyuman Clara ?. Ah, mungkin saja Ia begitu kalut dengan pikirannya menyangkut Zariel maka dari itu semua selalu terobjek pada Iyel. 

Tanpa Ify sadari, sejak tadi Rio memperhatikan mereka berdua. Lelaki itu sudah rapi dan siap berangkat bekerja, Ify menoleh dan mendapati Rio yang menatapnya seperti ingin meminta bantuan tapi enggan. 

Ify berdiri dan membiarkan Clara bermain bersama bonekanya, "kau kenapa?." Ify melirik dasi yang terjuntai dibahu Rio. 

"Kenapa tidak memasang dasi mu dan berangkat bekerja ?." Ify bertanya lagi, Rio tersenyum simpul. "Aku tidak bisa memasang dasi Ify." Jujur Rio membuat mata Ify melotot tidak percaya, bagaimana bisa pengusaha sebesar Rio tidak bisa menggunakan dasi ? Sungguh jenaka bukan ?.. 

"Biasanya dasi ku telah disiapkan oleh pelayan ku dengan lipatan jadi, jadi aku langsung menggunakan saja. Karena terburu-buru kesini aku jadi lupa untuk meminta mereka membuatkannya untuk ku." Jelas Rio, tanpa permisi Ify meraih dasi merah delima dengan motif garis-garis memanjang yang berada dipundak Rio. "Menunduklah sedikit, kau terlalu tinggi." Rio menurut saja ada senyuman yang mengembang dibibir Rio saat melihat wajah Ify yang begitu polos tapi tersirat kekesalan itu tepat dihadapan wajahnya. Ify melingkarkan dasi itu ke leher jenjang Rio menyelipkannya pada kerah kemeja, "perhatikan aku memasangnya, agar kau tidak lagi manja terhadap pelayan mu." Rio memperhatikan Ify, Tidak ! Lebih tepatnya Ia memperhatikan wajah Ify bukan tangan Ify yang sibuk dengan dasinya. Ify begitu manis tanpa polesan make-up seperti perempuan kebanyakan, dengan jarak sedekat ini, Rio mengetahui kalau Ify menggunakan bedak bayi untuk membalut wajahnya, apalagi aroma rambutnya wangi Jeruk. Rio menelan ludahnya susah, Ia takut jika Ify mengetahui apa yang sebenarnya terjadi nanti. 

"Sudah." Ify mundur beberapa langkah. "Kau mengertikan caranya tadi ?." Rio tersadar lalu berdiri tegak seperti semula lalu menggeleng. "Kau terlalu cepat dan membuat ku bingung, bagaimana kalau tiap pagi kau saja yang mengenakannya pada ku ?." Ify memutar kedua bola matanya. "Alasan," balas Ify dan kemudian kembali duduk dimana Clara sedang bermain, sebenarnya sejak tadi Ia begitu gugup berhadapan dengan Rio sedekat itu, tapi mau bagaimana lagi jika Ia tidak memasangkan dasinya bisa saja Rio akan telat ke kantor. 

Rio pun tak ambil pusing, dia Mengenakan jasnya. "Rio." Panggil Ify dan mampu membuat Rio menoleh ke arahnya , "ya ?." 

"Itu lukisan siapa ? Kenapa kau membawa lukisan itu kemari ?." Sebenarnya sejak tadi malam ingin Ia tanyakan, tapi berhubung Rio sudah tidur Ia urungkan hingga esok pagi saja, dan sekaranglah waktunya. Awalnya Ify menduga itu Rio yang melukis, jelas-jelas peralatan melukis berada tepat dipojokan ruangan ini karena tidak mungkin Ify yang punya bukan ?.. 

"Oh itu, lukisan ku. Baru sketsa, kau suka ?." Tanya Rio menatap Ify kini tengah menatapnya. "Aku tidak mengerti apa lukisan mu itu, lagi pula kau bilang itu baru sketsa." Rio tersenyum ikut duduk dilantai tapi sedikit menjauh dari Ify dan Clara. 

"Kau menanyakan apa yang ku lukis itu ?." Ify mengangguk, Rio meraih sebuah kotak kecil untuk menyimpan semua kanvas juga cat lukis berukuran sedang. Rio mengambil benda semacam pasta gigi, "bisa kau jauhkan Clara dari gendongan mu dulu ? Biarkan dia bermain disana." Perintah Rio seraya menunjuk kearah hamparan boneka Clara yang sedikit jauh dari mereka, Ify pun menurutinya. Rio lalu meraih tangan Ify, namun dengan cepat Ify menarik tangannya kembali. "Mau apa kau ?." Nada suaranya langsung berbubah sengit, Rio terkekeh geli dengan respon Ify. 

"Hey, aku hanya ingin melukis pada punggung tangan mu." Ify mengkerutkan keningnya kemudian Menggeleng tegas, "Tidak perlu, aku tidak mau mengotori tangan ku dan membuat wudhu ku terganggu untuk sholat." Kembali Rio terkekeh geli 

"Ya Tuhan Ify. Aku melukis punggung tangan mu menggunakan Henna, jadi tidak akan mengganggu sholat mu." Tanpa persetujuan dari Ify, Rio kembali menarik tangan Ify dan mulai melukis. Ify hanya diam dan tak berontak lagi seperti tadi. 

"Kau tahu? Yang ku lukis ini sama nyatanya dengan yang ku lukis itu. Ku harap, jika kau telah mengetahui Apa arti dari lukisan ini kau mau menerimanya dengan senang hati Ify. Aku tidak tahu apa yang terjadi kelak saat kau menyadarinya." Rio membatin menyelipkan senyuman saat tangan kekarnya yang Kokoh itu begitu lincah memainkan Henna pada punggung tangan Ify. Dan Ify ? Entahlah, kerap kali bersentuhan dengan Rio membuatnya tidak bisa mengelak, tapi yang pasti Ify menyukai itu. Begitu menyukainya.... 


******** 


Agni menatap nanar berkas yang kini berada dipangkuannya, kemudian mengalihkan tatapannya pada sosok lelaki yang tengah berdiri dan menatapnya tak berniat. Hembusan kasar nafas lelaki itu cukup membuat Agni takut dan tak berani untuk menyentuh berkas yang berada dipangkuannya saat ini, lama mereka berdua tetap berdiam satu sama lain. 

"Ap...apa ini Yel ?." Agni memberanikan bersuara lebih dulu, pertanyaan begitu bodoh. Padahal Ia telah mengetahui bahkan sangat meyakini isi berkas tersebut. -Zariel Ltuno- yang sejak tadi berada disana berdecak kesal. 

"Kau masih menanyakan itu apa ? Lelucon !." Balas Iyel sengit tatapannya begitu tajam pada Agni, Agni berusaha tersenyum hambar lalu memberanikan untukmeraih berkas itu. 

"Kau benar-benar ingin melakukannya ?." Zariel mengernyitkan keningnya lantas melemparkan Pena yang selalu sedia pada saku kemejanya. "Cepat saja kau bubuhkan tanda tangan mu, aku tidak punya banyak waktu untuk mengurus ini semua. Sangat membuang waktu ku." 

Sakit. Sudah banyak sakit dan luka hati yang diterima oleh Agni, hati perempuan ini sudah begitu terbiasa dengan perlakuan Zariel yang selalu kasar terhadapnya. Impiannya bahwa pada akhirnya Zariel akan mencintainya hanyalah angan belaka tak akan kunjung terjadi, Agni memejamkan matanya. "Dibagian mana aku harus menanda tanganinya?." Kali ini wajah manisnya benar tersirat luka yang begitu dalam, bahkan lebih luka dari sebelum-sebelumnya. Iyel yang menyadari akan hal itu meneguk ludahnya susah, Ia tepis perasaan aneh saat melihat wajah Agni yang begitu luka disana. 

Setelah menunjukkan dimana bagian yang harus dibubuhkan tanda persetujuan, Agni pun melakukannya. Ia serahkan berkas itu pada Iyel, dengan gugup Iyel pun menerimanya dan kembali memasang wajah tak terbaca. "Aku harap kau berbahagia dengan pilihan Yel." Ucap Agni berusaha tersenyum 

"Oh, itu tentu saja. Aku pasti akan sangat bahagia dengannya." Jawab Iyel sedatar mungkin, Agni menatapnya. "Dan aku juga akan mengambil hak asuh Clara.... Permisi." Zariel pun melangkah menuju pintu ruang rawat Agni. 

"Ambil saja Yel, ambil saja yang ku punya saat ini." Langkah Zariel terhenti saat mendengar ucapan Agni, perempuan itu begitu terluka dan Iyel pastikan Agni tengah terisak tanpa suara. "Apalagi yang kau inginkan dari ku ? Agar kau puas membalas semua kejahatan ku dulu." Suara Agni bergetar, Zariel memilih dian mematung ditempatnya. 

"Aku memang jahat, benar-benar jahat. Tapi apa kau tidak pernah merasakan sedikit pun cinta yang selalu berusaha menyentuh hati dingin mu itu ? Hati mu yang terlalu pekat dengan perempuan itu ? Perempuan yang baru saja masuk dalam hidup mu ! Tidak adakah sedikit pun kesempatan untuk ku Zariel ? Tidak adakah ?." Zariel tetap diam ditempat, ekspresi wajahnya benar-benar tidak terbaca. 

"Jika dikatakan lelah ? Aku lelah Yel, benar-benar lelah. Yang harus kau tahu, aku mempunyai semangat dalam luka ku yaitu Clara...," Agni menggantungkan kalimatnya. "Aku berjuang mati-matian agar dia berada didunia ini dengan selamat, aku sudah tidak peduli jika nanti kau tidak menyukai Clara seperti kau tidak menyukai ku. Aku rela kita berakhir dalam hukum meja hijau jika Clara telah lahir, dan sekarang ?." Agni tersenyum hambar tatapannya kosong. 

"Kau akan mengambilnya dari ku ? Apa kau ingat, saat ditengah kehamilan ku kau tidak memperdulikannya bukan ? Dan sekarang kau akan mengambilnya ?ck. Ini adalah alasan ku kenapa aku lebih memilih Rio untuk menjaganya. Disaat kehamilan ku saja kau terus berbuat kasar dan seolah-olah tidak memperdulikan ku dan Clara. Kau boleh menceraikan ku, tapi tidak untuk Clara." Raut wajah Agni berubah marah, tatapannya tajam menatap punggung zariel. 

Seolah-olah tidak peduli, Zariel justru membuka pintu dan melanjutkan langkahnya. Meninggalkan Agni yang tengah berteriak akan nama Zariel, "Aku tidak akan pernah mau membiarkan mu bahagia Agni, tidak akan ! Ku pastikan itu." 


******** 


Ify telah menyiapkan makan malam, semua sudah lengkap dan selesai, hanya menunggu Rio saja untuk pulang. Entah kenapa Ia begitu bersemangat menyiapkan semuanya, Ia melangkah menuju kamar, dilihatnya Clara tengah tidur. Ify melirik jam dinding rumahnya yang menunjukkan hampir pukul 8, batinnya terus bertanya-tanya kenapa Rio belum pulang juga ? 

Akhirnya sebuah ketukan pintu mampu membuyarkan pikiran buruknya, dengan bersemangat Ia membuka pintu. Entahlah, apa yang membuatnya sesenang ini semenjak Rio melukis pada punggung tangannya. Cantik sekali ! Ya, walaupun dia tidak mengetahui apa sebenarnya lukisan itu. Tapi yasudahlah, yang terpenting Ify begitu menyukai lukisan itu, abstrak memang, namun itulah nilai keindahannya yang Rio katakan bahkan sangat indah. 


Saat membuka pintu, betapa terkejutnya Ify saat melihat sosok lelaki dihadapannya saat ini, Sangat berantakan dan kacau, wajahnya kian memucat, bibirnya memutih kentara wajahnya. Ify meneguk ludahnya susah, dan tiba-tiba menjerit saat sosok lelaki itu jatuh kedalam pelukannya begitu saja. 

Ify mendengar jelas isakan yang kini menguar begitu saja dari sosok yang tengah memeluknya saat ini. "Maafkan aku." Perlahan tubuh kokoh itu terperosot kebawah seraya menutup kedua matanya yang tadi sempat mengalir air matanya.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Frisca Ardayani Book's - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger