Home » » Baby For Alyssa ( Part 14.a )

Baby For Alyssa ( Part 14.a )



Sivia beringsut memeluk lututnya disudut ruangan besar yang Ia yakini adalah sebuah kamar. Ia baru saja bangun dari tidurnya yang entah kapan Ia pun tidak mengetahui pasti bagaimana Ia bisa tertidur begitu saja setelah kejadian Ia merelakan diri menjadi penukaran hutang kakaknya -Cakka-. 

Matanya terus menyusuri tiap-tiap benda yang terpajang, aroma mint yang terurai diruangan itu entah darimana asalnya, sehingga membuat Gadis berlesung pipit itu sedikit merasa tenang. 

Ditengah keasyikannya bergelut dengan bayangan Cakka sang Kakak dan saat ini entah bagaimana nasibnya, Sivia menggelengkan kepalanya ke kanan-kiri secara bergantian untuk menghilangkan bayangan Alvin yang tiba-tiba saja terdampar ke alam pikirannya. Hei ! Seharusnya saat ini Ia harus memikirkan nasibnya apa yang akan terjadi setelah ini, apa yang akan terjadi jika Para Pria kekar yang membawanya ke tempat ini kembali dan merenggut semua yang ada pada dirinya. 

Sivia memejamkan matanya lantas mengacak rambut lembutnya begitu frustasi, "Ayolah Sivia, kau pasti bisa. Kau bukan gadis yang suka menangis !." Entah sejak kapan air matanya menjuntai turun hingga ke arah dagunya kemudia dihapusnya begitu kasar. "Kenapa aku membutuhkan Alvin disetiap hal seperti ini, kenapa aku harus berharap dia yang datang lalu menyelamatkan ku ?." Sivia membatin diiringi dengan Irama buaian akan sosok Phalvin Sena. Yah ! Lelaki yang saat ini sangat diharapkannya.... 

******** 


Sivia menggenggam jemari kekar Alvin yang baru saja ingin menggunakan belt, Alvin mengernyit heran lantas menghentikan kegiatannya. Sivia menatapnya dengan wajah yang bingung dan frustasi tidak tahu harus berbuat apa. Jemari mungil tangan kiri Sivia bergerak lembut meraba sudut bibir Alvin yang terdapat darah mulai membeku, Alvin menahan jemari Sivia untuk tidak mengapus darah itu. 

"Kenapa ?biarkan aku membersihkannya." Tanya Sivia lembut, Alvin tersenyum lantas menggeleng. 

"Aku tidak ingin tangan mungil lembut mu itu kotor hanya karena darah ku. Aku baik-baik saja Sivia, kau tidak perlu cemas." Sivia menatap Alvin dalam lalu mengangguk. 

"Maafkan aku, tidak berhasil membujuk Zariel untuk mempertemukan mu dengan Ify." Sivia tersenyum kecil lalu menatap lurus ke depan. 

"Aku mengerti perasaan Iyel, begitu banyak kebohongan dan ketidak tahuannya akan semua ini. Aku tidak apa-apa, aku hanya mengkhawatirkan kondisi Ify yang kini kehamilannya semakin hari semakin bertumbuh. Sampai saat ini pun Ia belum mengetahui kehamilannya." Jelas Sivia, Alvin menggenggam lembut jemari Sivia yang tadi menggenggam jemarinya. 

"Jika aku mengatakan ini, ku harap kau jangan terkejut Sivia, Zariel-----," Alvin menggantungkan kalimatnya membuat alis Gadis itu terangkat, "Katakan Alvin." 

Alvin menghela nafasnya kasar, lalu memandang kearah lain. "----Zariel berusaha menggugurkan kandungan Ify," Sivia syok ditempat, Alvin kembali menatap mata bulat Gadis itu. "Aku membaca pikirannya saat setelah Ia menyuruh kita pergi, Rio harus mengetahui ini Sivia." Gadis itu menghempaskan kembali tubuh mungilnya pada sandaran, kembali Ia memijat batang hidungnya. Pusing ! Ia benar-benar pusing dengan keadaan atas apa yang akan terjadi selanjutnya pada Ify. 

"Aku ingin Ify mengetahuinya, aku ingin Ify tahu semua ini ! Rio dan Zariel benar-benar lelaki brengsek ! Arrggghhh !" 

"Tidak Sivia, Ify jangan mengetahui dulu semua ini. Kau ingin dia kembali melemah ? Dan.... Secara tidak langsung kau membahayakan keselamatan janinnya ?." 

"Tapi------," 

Alvin mendekat. "Percayalah pada ku Sivia, setidaknya 1 minggu lagi satu masalah akan selesai. Persidangan perceraian Iyel dan Agni akan berlangsung." Sivia menggeleng kuat. "Alvin ! Ini bukan 1 masalah yang selesai, tetapi dengan bebasnya mereka tanpa hubungan lagi akan membuat Iyel semakin gencar untuk melakukan rencananya !." Alvin tersenyum 

"Tepat ! Pasti seperti ini respon mu." Sivia menatap Alvin bingung. "Maksud mu ?." 

"Aku sudah tahu jika respon mu seperti ini. Dengar aku Sivia, ini Zariel. Zariel yang mencintai Ify dan tidak akan pernah menyakiti Gadis itu, Aku yakin lambat laun Zariel akan merelakannya. Aku, kau dan Riolah menjadi penghambat rencananya. Kau mengerti ?." Alvin memegang lembut kedua bahu Gadis itu meremasnya untuk memberi keyakinan, Akhirnya anggukan kecil pun tercipta bersamaan Alvin juga ikut memberi respon melalui senyuman lembutnya. 

******** 

Hal kemarin yang membuat rona pipi Sivia kembali memerah bak seperti tomat, langsung melebam menjadi wajah pucat pasi saat mendengar kuncian pintu kamar itu mulai dibuka. Sivia menekan terus dirinya kesudut tembok, memeluk lututnya kuat-kuat. 

Langkah kaki dari suara sepatu Pantofel hitam legam mengkilat kini mulai mendekat kearah Sivia yang tengah menunduk. Langkahnya berhenti tepat didepan Sivia, sehingga tubuh Gadis mungil itu bergetar karena takut. Siapa lagi ini ? Kemana ke 5 Pria kekar yang membawanya ? Kenapa sepertinya yang saat ini berada dihadapannya tidak asing ? 

"Sivia, bangunglah." Nafas Sivia seakan-akan terikat, dengan cepat Ia pun mendongak ke atas. "Alvin ?" Si empu Pantofel itu yang disebut Sivia adalah Alvin membungkukkan tubuhnya lantas menggiring Sivia untuk berdiri. 

Refleks Sivia lantas memeluk tubuh tinggi Alvin dengan cara menjinjit. "Alvin ku mohon, ku mohon bawa aku pergi dari sini. Aku takut Alvin, Aku takut...," Sivia menangis tidak lagi bisa dirinya menahan ketakutan yang terus mendesak melalui Air mata beningnya. Alvin membelai lembut rambut Sivia memberi ketenangan. 

"Tenang, aku ada disini. Maafkan aku telah membuat mu takut." Sivia melepaskan pelukannya, Air mata yang menjuntai dipipinya kemudian dihapus dengan lembut oleh jemari kekar Alvin. "Aku akan menjelaskannya, tapi jangan memberi respon apapun sebelum aku selesai menjelaskannya. Kau janji ?." Alvin tersenyum lalu mengangkat jari kelingkingnya tepat dimata Sivia, Gadis itu menatapnya lama akhirnya menautkan kelingkingnya pada Kelingking Alvin. "Bukti." Jawab Sivia kemudian terkekeh, rasa tenangnya menjalar keseluruh tubuh sehingga memberikan efek kenyamanan pada dirinya. Dan itu semua karena Alvin ! Yah Alvin. Seorang Phalvin Senan dengan Elemen lebihnya, bukan itu yang menarik tapi bagaimana Lelaki itu selalu bisa, selalu mampu, selalu berhasil membuatnya bungkam dalam ketenangan yang Ia ciptakan sendiri. 


******* 

Rio bernafas lega, karena Clara telah diperbolehkan pulang. Dokter masih meneliti perihal penyakit yang diidap oleh perempuan kecil nan mungil itu. Rio hanya berharap penyakit yang diderita oleh Clara tidaklah serius dan berbahaya membuatnya beruntung lagi kali ini ada seseorang yang telah rela mendonorkan darahnya untuk Clara tanpa ingin diketahui siapa orang itu, karena pendonoran inilah yang membuat Clara telah diperbolehkan pulang lebih awal karena kondisinya perlahan benar-benar menampakkan kemajuan. 

Pagi-pagi sekali Ia menjemput Clara diRumah Sakit, Ini Ia lakukan agar saat Ify telah sadar dari tidur panjangnya langsung melihat Clara sehingga tidak membuat perempuan itu bertanya-tanya dimana Clara. 

Rio membuka pintu kamar Ify, lantas masuk. Namun sebelumnya, Ia menatap lembut sosok mungil yang kini tengah berada digendongannya. "Siapa pun Ayah mu, walaupun kau bukanlah Anak dari Zariel, Ayah akan tetap menjadi Ayah mu." Rio tersenyum lalu menghapus lembut pipi gembung Clara yang tengah tidur dengan hidung mancungnya. "Ayah perdana ini namanya." Rio tertawa pelan dan merasa bahagia telah bisa menggendong perempuan kecil yang waktu lalu ingin sekali digendongnya. 

Clara menggeliat kecil, seperti gelisah saat Rio baru saja duduk dikursi tepat disamping Bed Ify yang masih tertidur. "Kau kenapa sayang ? Kau tidak suka Ayah menggendong mu ? Diamlah, Bubu mu sedang tidur. Jangan berisik," Tapi entah kenapa dengan Gendongan perdana dari Rio membuat Clara sibuk dengan aktivitasnya sendiri yaitu menggeliat dengan gelisah, sampai akhirnya saat mata bulat mungil itu terbuka wajahnya langsung berubah masam kemudian menangis begitu kencang membuat Rio syok ditempat, Ia bingung bagaimana cara untuk menenangkan Clara saat ini. "Clara, Cup Cup Cup. Tidurlah." 

Disisi lain perempuan yang tengah tertidur disana mengkerutkan keningnya saat mendengar suara tangisan bayi, saat Ia berusaha mengenali suara tangisan itu dengan cepat Ia bangun dan menegakkan tubuhnya lantas menoleh kearah samping kanannya didapatinya sosok Lelalki tengah menggendong bayi ditangannya. "Rio !" Ia langsung merebut bayi itu begitu saja, lalu berusaha menenangkannya. 

"Kau bisa tenang sayang, ini Bubu. Apa yang telah dilakukan Ayah mu ?." Entah kenapa, nyawa Ify begitu saja pulih padahal baru saja dengan hitungan detik Gadis itu bangun. Perlahan tangis Clara mereda, "Botol susunya Rio, cepat !" Rio syok dengan tingkah Ify yang baru saja bangun lalu merebut Clara dari gendongannya dengan tiba-tiba, tapi Ia kemudian sadar lalu berlari menuju keluar kamar untuk memanggil pelayannya agar membuatkan Susu botol untuk Perempuan kecilnya, setelah tersedia Ia lantas kembali. 

Rio mendapati, Ify dan Clara telah berubah posisi. Clara telah tertidur pulas pada Bed dan Ify disampingnya menghapus lembut punggung Clara. Rio tersenyum lalu memberikan susu botol itu pada Ify, "Sepertinya kau sudah siap untuk menjadi Ibu." Ini pernyataan bukanlah sebuah pertanyaan, Rio terus tersenyum lalu duduk dipinggiran Bed. 

"Aku hanya menyukai anak kecil, semua yang ku lakukan saat ini hanya mempraktekkan apa yang ku lihat dari Ibu-ibu yang mempunyai anak. Rio...," 

"Ya." Rio menatap Ify lembut masih tersenyum. "Bisa kau jelaskan kenapa aku bisa disini ?."

"Kau pingsan," 

"Pingsan ?." Rio mengangguk lalu, Ify nampak berpikir. "Ya Tuhan, Aku baru sadar. Sepulang dari Desa aku langsung menuju kesini karena begitu semangat ingin bertemu Clara. Karena begitu lelah, aku pingsan didepan pagar rumah mu. Maaf Rio,Aku jadi merepotkan kalian." Rio menggelengkan kepalanya. 

"Aku tidak merasa direpotkan, tapi kau merepotkan pelayan dan Pejaga rumah ku karena bingung harus apa." Rio tergelak tawa diikuti oleh Ify. 

"Kenapa kau bisa menggendong Clara ? Sudah tidak takut lagi ? Ajaib." Rio langsung mengacak rambut Ify lantas beranjak. "Pertanyaan dan pernyataan mu membuat ku Gemas ! Aku sudah mengatakannya bukan ? Aku tidaklah takut pada Clara, aku hanya masih belum menerima atas meninggalnya Ibu Clara. Hanya itu, dan sekarang kau datang membuat ku perlahan-lahan mengubur rasa tak terima ku. Aku juga tidak ingin terus-menerus merepotkan mu untuk mengurus Clara. Jadi aku coba memberanikan diri," Ify tersenyum namun senyumnya memudar saat melihat tertunduk. 

"Tapi ternyata, Gendongan perdana ku belum sesuai dengan ukuran Gendongan mu. Dia tidak menyukai cara Gendongan ku yang mungkin....domaninan kasar. Tadinya aku berharap Clara mau menerima apa adanya atas gendongan Perdana, nyatanya Ia menolak. Aku rasa tidak ingin menggendongnya lagi." Ify beranjak lalu mendekati Rio berdiri menghadap lelaki jangkung didepannya ini. 

Ify meraih kedua tangan Rio lantas tersenyum. "Lakukan sekali lagi, kau hanya belum membiasakannya. Lakukanlah Rio," entah serangan darimana membuat hati Rio tergelitik senang, ada semangat yang muncul disana dan memberikan energi tersendiri baginya. 

"Aku boleh menanyakan sesuatu Rio ?" Lelaki itu mengangguk, "Kenapa saat ini kau begitu baik pada ku ?." 

"Kau menuntut ku untuk jujur ? Atau sebaliknya ?." Rio terkekeh saat melihat Pipi Ify mengembung. "Akan ku jawab dengan sebenar-benarnya. Jawaban sama saat aku mencemburui bersama Zariel." Ify menatap Rio tak percaya perlahan Ia mundur namun dengan cepat Ia menahannya. 

"Kau bohong Rio ? Ini bukan saat yang tepat untuk membuat Lelucon." Rio menggeleng tegas. "Kau bisa lihat dimata ku apakah aku berbohong ? Aku mencintai mu. Tetapi aku tidak akan pernah memaksa mu untuk melakukan hal yang sama seperti apa yang ku rasakan saat ini." Rio tersenyum. 

"Sudah saatnya aku ke kantor, aku titip Clara pada mu. Jangan sampai kejadian penyataan perasaan kedua ku ini membuat mu kembali menjauhi ku. Sungguh aku hanya ingin menjawaba yang sebenarnya. Aku pamit," Rio mulai melangkahkan kakinya tapi kali ini Ifylah yang menahan. Mata mereka saling bertemu saling menyampaikan rasa satu sama lain melalui benang transparan dari pancaran mata keduanya. 

"Apa aku salah jika memiliki rasa yang sama Rio ? Rasa yang sama entah kapan aku memilikinya." Rio menatap Ify takjub, baru kali ini Ia merasakan hatinya benar-benar bahagia, lama Ia menatap Ify tak percaya lalu direngkuhnya tubuh mungil itu dengan erat. "Tidak Ify, tidak ada yang salah. Aku menyalahkan mu jika kau tidak menyadari perasaan mu." Ify tersenyum, entah kenapa hatinya menuntut untuk mengatakan itu, entah darimana Ia memberanikan diri. Tapi yang pasti Ify juga bahagia, bahagia yang melebihi dari saat dirinya bersama Zariel dulu. 

Perlahan Rio mencondongkan wajahnya mendekat kewajah Ify yang kini menatapnya dalam, jarak diantara perlahan semakin terhapus dalam hitungan jari... 

"Ify." Ify membuka matanya lalu menatap Rio malu, "Maaf aku lancang---" Ucap Rio memohon dan terhenti saat telunjuk jari Ify mengatup mulutnya. "Tidak ada paksaan disini," Rio tersenyum lalu mencubit gemas hidung bangir perempuannya saat ini. 

"Kau bisa diajak untuk berjanji ?." 

"Menurut mu ?." 

"Emmm, sepertinya bisa." 

"Katakan." 

"Jangan pernah berpikir untuk meninggalkan ku, apapun itu, apapun itu dan apapun itu. Karena aku mencintai mu, percayalah." Rio kembali merengkuh tubuh mungil Ify. "Aku juga mencintai mu Rio," 


******* 

Sivia menatap Alvin yang kini menatap balik matanya. 

"Jadi ini rumah mu ? Dan ke 5 Pria kekar tadi sudah kau bayar menjadi anak buah mu untuk melancarkan rencana mu ini ? Ya Tuhan Alvin ! Aku membenci mu, aku membenci mu. Kau sudah membuat ku takut !." Sivia memukul Alvin sekuat mungkin, "Sivia dengarkan aku lagi." 

Sivia berhenti lalu menggerutu kesal. "Rencana ini untuk menjebak Cakka agar mau mengakui kesalahannya diwaktu lalu juga mendonorkan darah untuk Clara, kau tahu bukan Clara harus mendapatkan donor darah entah penyakit apa yang diidapnya saat ini. Dan terakhir menyesali perbuatannya yang keterlaluan pada mu." Sivia nampak berpikir apa yang dikatakan Alvin dan semua rencananya memanglah benar. 

Alvin menggenggam tangan Sivia lembut. "Tatap Aku, dan ini rencana terakhir ku." Sivia menatap Alvin dalam. "Agar rencana ini benar-benar sukses dengan titik terang, Besok...besok kita menikah." 


******** 
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Frisca Ardayani Book's - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger