Home » » Baby For Alyssa ( Part 16 )

Baby For Alyssa ( Part 16 )


Alvin tengah mondar-mandir didepan teras Rumah mewahnya, Rumah mewah yang saat ini dibelinya dari salah satu rekan kerjanya. Di Kota ini Ia tidak mempunyai Rumah melainkan hanya sebuah Apartemen, kedatangannya kesini waktu lalu untuk berlibur dan melepas penat juga menjernihkan pikirannya, namun semua pupus karena berbagai macam masalah yang mendera. Tidak, bukan dialah yang menjadi tokoh utama dalam permasalahan ini tetapi sahabatnya yang mengalami, mau tak mau pun Ia juga ikut campur tangan dalam masalah sahabatnya. Seperti saat ini, terjebak dalam Tali pernikahan yang bertujuan sebagai melancarkan rencananya dalam membantu semua pihak. 

Alvin melirik Arloji hitam yang melingkar pada tangan kirinya. "Selarut ini ? Ya Tuhan." Ia menghela nafasnya begitu kasar. "Kau kemana Sivia. Kau bilang akan pulang kerumah, tetapi saat aku pulang kau tidak ada. Kenapa juga ponsel mu tidak aktif ?" Alvin berulang kali menyambungkan Teleponnya kepada Ponsel Sivia, tapi nihil Ponsel perempuan itu benar-benar tidak aktif. 

"Arrrgggghhhh." Dengan kesal Alvin membanting ponselnya begitu keras lantas mengacak rambutnya kesal. "Jika saja dia menatap mata ku, aku bisa membaca pikirannya." Ah, pikiran seperti ini mengenai gadis itu, kenapa lebih sulit Ia redam daripada masalah sahabatnya. 

"Kadangkala pikiran mu begitu mudah ku baca tapi entah kenapa ada waktunya kau sulit terbaca, seperti saat ini." Akhirnya Ia memutuskan masuk kedalam rumah mewahnya, sepi dan sunyi. Karena memang, rumah itu Ia khususkan tanpa pelayan rumah atau sebagainya. Hanya ada Ia dan Sivia, tetapi sekarang dimana perempuan itu saja Ia tidak tahu, yang pasti Ia akan menunggu sampai perempuan itu pulang. 


********* 

Jari-jari kokohnya menyatu pada kaca pintu ruangan tersebut, sepasang matanya tak lepas memperhatikan seorang perempuan didalamnya yang tengah tertidur menggenggam jemari mungil Clara. 

Sebuah tarikan tipis melengkung keatas tercipta begitu samar pada bibirnya. "Bingung mencari bahan untuk menutupi penyakit, Clara ?" Suara itu berhasil mengejutkannya lantas Ia memutar tubuhnya tepat kesumber suara. 

"Apa maksud mu ?" Pertanyaan bodoh, padahal Ia tahu maksud dari Ucapan dari Pria yang saat ini tengah didepannya -Zariel Ltuno-. 

Zariel tersenyum tipis kemudian merogoh saku celananya, sebatang rokok pun sudah bertengger pada bibirnya, Rio mengkerutkan keningnya. "Sejak kapan Zariel merokok ?" Rio membatin, karena dia antara mereka berdua bukan Pria perokok. Tak disangka-sangka Zariel menghembuskan kepulan asap rokok tersebut tepat diwajah Rio. 

Rio terbatuk-batuk tetapi tidak sedikitpun melawan dan sebagainya. Sebatang rokok tadi lantas zariel hempaskan kelantai kemudian Ia matikan menggunakan sepatu kerjanya. 

"Heran kenapa aku menjadi perokok aktif ?" Rio hanya diam, dia tahu saat ini Zariel masih menyimpan suatu kemarahan yang besar. 

"Ck, itu sebagai contoh !" Sambungnya begitu dingin 

"Sebentar lagi kau tidak ada bedanya dengan sebatang rokok tadi, Argario !" Matanya menyalang menatap Rio, kebencian sangat tertanam disana, Rio tahu itu. 

"Aku tidak mengerti maksud mu." Tukas Rio santai. 

"Kau lihat sebatang rokok tadi sebelum terbakar lalu berakhir dengan cara tragis karena ku injak ?" Rio tertegun, walau hampir mengetahui maksud Zariel tapi Ia berusaha agar lelaki itu melanjutkan maksudnya. 

"Kau sama halnya seperti puntung rokok yang mulai terbakar sedikit demi sedikit. Kebohongan yang selama ini menjadi tumpu pembakarlah, yang sebentar lagi akan melahap habis dirimu. Habis, tak tersisa seperti debu." Zariel tersenyum penuh kemenangan, Ia memiringkan kepalanya sedikit untuk melihat Perempuan yang tertidur didalam ruangan tersebut, lalu berganti Ia menatap Rio. 

Zariel tersenyum puas. "Jangan pernah beranggapan, aku tidak sebuas seperti dirimu yang begitu mencintai Agni saat itu. Bahkan saat ini......" Zariel menggantungkan kalimatnya. 

".....aku lebih Buas dari mu. Karena Ify, karena aku mencintainya." Rahang Rio mengetat entah setan darimana yang merasukinya, kesebaran yang sejak tadi Ia coba untuk kendalikan sungguh tidak bisa Ia terbendung lagi. Satu pukulan mendarat tepat pada ujung bibir Zariel sehingga membuat lelaki itu tersungkur kelantai, Ia mencoba bangun untuk membalas perbuatan Rio namun tertahan saat mendapati sosok perempuan yang tengah tersenyum diambang pintu ruangan sedangkan Rio mematung ditempat. 

"Ify..." Ucap mereka berdua secara bersamaan, lagi-lagi perempuan itu -Ify- tersenyum ditempat pandangannya kosong berulang kali Ia menggelengkan kepalanya benar-benar tidak mempercayai apa yang Ia lihat sekarang. Tatapannya langsung tertuju kearah Rio, tajam dan mengerikan. 

Rio tertegun. "Fy, aku....aku bisa men...." Ucapan Rio terpotong, saat Ify memberi isyarat pada Rio agar tidak melanjutkan ucapannya. 

"Maaf telah mengganggu, permisi." Tiba-tiba Zariel bersuara lalu membalikkan badannya untuk pergi. "Tunggu Zariel." Baru akan melangkah, Zariel kembali berhenti. 

"Kau tetap disini sampai aku selesai bertanya sesuatu hal pada Rio." Sambung Ify lantas mereka berdua, Ify dan Rio pun menuju taman Rumah Sakit meninggalkan Zariel yang tengah tersenyum penuh menang. Ia tahu, sebentar lagi Ify akan menyadari semua kebohongan dari Rio. Semuanya ! Zariel bisa memastikannya 


******** 

Angin tak henti-hentinya menyapu lembut wajah serta rambutnya yang tergerai indah dibalik kursi rodanya, Ia tersenyum senang sebentar lagi Ia akan bertemu dengan anak perempuan kecilnya -Clara-. Sulaman demi sulaman yang Ia buat saat ini akan selesai dengan sempurna, hanya memperkirakan batin seorang Ibu terhadap anaknya, Ia mencoba mengira-ngira ukuran badan Clara saat ini. "Sebentar lagi..." 

"Sedang membuat apa ?" Karena kaget, jarum sulaman tersebut tertusuk pada jari telunjuknya. "Awww..." Jeritnya mengibas-ngibaskan tangannya karena perih. 

"Agni !" Cakka yang tadi membuat Agni kaget langsung menghampiri Agni seraya meraih jari telunjuk perempuan itu lantas menempelkan pada mulutnya. "Tahan sebentar, darahnya akan berhenti setelah ini." Agni meringis, selang beberapa detik Cakka berhenti dari kegiatannya tadi. 

"Terima kasih Kka..." Ucap Agni seraya tersenyum Cakka pun membalasnya. "Aku yang salah telah membuat mu terluka, secara tidak langsung luka dalam 2 bagian...." Perempuan itu mengkerutkan keningnya. "...hati dan sekarang jari mu." Sambung Cakka, Agni tertegun kemudian Ia menyibukkan kembali dalam sulamannya. 

"Bagaimana kau bisa masuk kerumah ku ?" Tanya Agni mencoba mengalihkan pembicaraan, Pria itu beranjak melangkah kecil tepat dibelakang kursi roda Agni lalu menumpukan kedua tangannya pada gagang pendorong kursi roda. "Mama mu yang menyuruh ku untuk menemani mu...." Ucapan dari Cakka dipotong oleh Agni 

"Jika kau kesini hanya atas perintah Mama, lebih baik kau bisa pergi sekarang." Tukas Agni dingin 

"Aku sudah yakin jawaban mu pasti seperti ini." Cakka tersenyum kecil 

"Benarkan ? Aku hanya perempuan Lumpuh yang tidak ada bedanya seperti benalu, merepotkan dan merugikan semua orang. Aku pantas mendapatkannya karena semua itu salah ku." Jelas Agni, Cakka melangkah lalu berlutut tepat didepan kursi roda Agni meraih jemari perempuan itu dengan lembut. 

"Coba katakan sekali lagi, kalau kau benalu dan hanya seorang perempuan lumpuh. Jika kau menghardik dirimu sendiri sebagai benalu, lalu aku apa ? Cukup Agni, aku disini untuk mu tanpa perintah atau suruhan dari siapa pun. Aku yang akan selalu ada, aku yang akan selalu menjadi pertama untuk menjaga mu......dari kejauhan." Cakka menunduk lalu tersenyum hambar 

"Karena ku tahu, setelah 3 hari perjanjian itu. Aku tidak akan bisa sedekat ini dengan mu, tapi aku berjanji dan ijinkan aku menjaga mu, menjaga mu juga Clara walau dari kejauhan." Mata Agni seperti berembun lalu embun itu mengalir deras menuruni pipi lembutnya. Ah, kenapa Ia menangis seperti ini ? Untuk apa ? 

"Kenapa menangis ? Aku menyakiti mu ?" Jemari kokoh itu menghapus lembut air mata perempuan itu, Agni menggeleng. "Tidak, kau tidak menyakiti ku. Anggap air mata ini sebagai tanda terima kasih ku karena kau bersedia menjaga ku juga Clara nantinya." Balas Agni hampir dengan suara berbisik, entah dorongan darimana Cakka lalu memeluk perempuan itu, tanpa disadari Agni pun membalasnya. 


******* 

Dengan langkah pelan Sivia memasuki rumah mewah bergaya Italia klasik ini, rumah yang dibeli oleh Alvin suaminya. Suaminya ? Sivia tersenyum pahit lantas terus melangkahkan kakinya menuju kamarnya sendiri, ini sebetulnya permintaan Sivia, hanya sebagai batas berjaga-jaga apabila Alvin kehilangan kontrol mungkin saja, bukan ? 

Siavia terus bertanya dalam hati, apakah sekarang Alvin tengah tidur ? Atau mungkin masih berdua bersama teman perempuannya itu ? Ah, sudahlah bagaimana pun juga itu hak Alvin. Lagipula ini bukanlah pernikahan yang sebenarnya, melainkan sebagai syarat agar Cakka sadar. Tapi, setelah mendengar penjelasan Cakka bahwa dia sebetulnya telah menyadari semua kesalahannya dan mencoba-coba mencari tahu dimana keberadaan Agni, nihil dia tidak menemukannya. Karena terus memikirkan hal itu, Cakka tambah menjadi Pria yang buruk. Saat ini ? Tidak akan ada lagi Kakaknya yang buruk, dia telah lebih baik sekarang. 

Secepatnya Ia harus memutuskan pernikahan ini, Ia tidak ingin terus larut dalam perasaannya pada Alvin. Alvin tidak mencintainya, itu tidak akan pernah. Terlalu bermimpi pikir Sivia pahit. 

Sivia memutar knop pintu kamarnya, lantas masuk kemudian menguncinya. Gelap, karena memang Ia meninggalkan kamarnya selalu dalam keadaan lampu dimatikan. Ia kemudian menyalakan lampu, "Ya Tuhan." Jeritnya terkejut, jantungnya berdegup begitu kencang sehingga membuat kedua tangannya menelungkup didada. 

"Alvin, kenapa kau ada disini ?" Dugaannya salah ternyata Alvin ada dirumah, tapi kenapa Ia berada dikamar Sivia ? Ketakutan seketika menyelimutinya, apalagi melihat mata tajam Alvin yang kini menatapnya nyalang. "Darimana kau, Sivia ?" Suaranya tertahan, entahlah Sivia memang peka atau hanya perasaannya saja Alvin tengah menyembunyikan kemarahan. 

"Kau tidak perlu tahu, Alvin." Jawab Sivia sesantai mungkin mencoba tidak mempertemukan matanya pada mata tajam Pria itu, tatapan Alvin bertambah tajam rahangnya pun mengetat memperlihat tulang wajahnya yang terpahat sempurna disana. 

"Aku akan tidur disini." Ucap Alvin dingin, mata Sivia membulat tak percaya. 

Begitu santainya, Alvin melepas kemejanya dan hanya meninggalkan kaus dalam, Sepatu yang tadi masih digunakannya Ia lepas. Sivia masih bernafas lega, bahwa Alvin hanya melepas kemejanya saja tidak dengan kaus dalam juga celana katun kerjanya. 

"Ka..kau boleh tidur disini. Bi..biar aku...aku tidur diluar saja." Dengan gugup Sivia kembali meraih kunci kamar untuk secepatnya keluar dari kamar ini yang tiba-tiba saja membuat jantungnya berdegup begitu kencang. Seharusnya Sivia saat ini marah, bukan ? Marah karena apa ? Apakah karena perempuan teman Alvin itu ? Cemburukah ? Ya Tuhan, Apa haknya bila cemburu ?.... 

Sebuah tangan kokoh menghentikan kegiatannya. "Ini kamar mu, jadi kau juga tidur disini." Sivia tertegun, Ia begitu sulit membantah Alvin saat ini, mungkin saja Pria itu telah menghipnotisnya. Sivia seperti bungkam dan sulit untuk bersuara sedikit pun, dengan pelan Sivia hanya mengikuti langkah Alvin yang kini menggiringnya ke kasur. 

"Percaya pada ku, aku tidak akan melalukan apapun. Aku hanya ingin tidur disamping mu, sebagai suami mu." Bisik Alvin tepat pada daun telinga Sivia, Perempuanini masih sibuk mengendalikan degupan jantungnya. "Dengar aku Sivia, aku akan terus tidur disamping mu seperti ini. Jika ku tahu kau tidak berada dirumah apabila aku pulang, atau bahkan pergi tanpa memberitahu ku lalu pulang selarut ini. Aku seorang Pria, Sivia. Ada saatnya nanti aku akan lebih meminta dari ini." Pandangan Sivia lurus menatap langit-langit kamar, Apa yang dikatakan oleh Pria itu ? Tidak. Sivia tahu itu hanya ancaman, bukan sebuah sinyal perasaan. Bukan dan tidak akan pernah terjadi sebagai sinyal perasaan, Alvin hanya marah karena Ia pulang selarut ini tanpa memberitahu Alvin. Alvin juga bukan mengkhawatirkan Sivia, melainkan hanya menjaga nama baiknya sebagai seorang Pengacara terkenal dan teratas jika orang-orang tahu bahwa Sivia yang dinikahinya beberapa hari yang lalu dengan pesta begitu megah bukanlah perempuan yang tidak tahu peraturan sebagai Istri. Sivia tahu itu, Alvin hanya ingin menjaga nama baiknya. 

Sivia menoleh kesamping, mendapati Alvin yang tidur memunggunginya. "Maafkan aku Alvin....." Gumamnya nyaris tak bersuara 

******** 

Sepi, tak ada satu pun orang yang lewat didepan taman Rumah Sakit ini. Hanya ada Rio dan Ify tengah duduk pada kursi panjang taman, malam sangat larut, membuat keduanya kedinginan sebab angin malam terus mendera keduanya. 

"Bagaimana dengan Clara ?" Ify bertanya mencoba membuka suara, Rio yang disampingnya saat ini menatap Ify benar-benar bingung harus menjawab apa. Jika Ia mengatakan bahwa Clara membutuhkan pendonoran darah secepatnya, apa yang harus Ia katakan selanjutnya ? Membongkar semuanya saat ini ?. Rio takut kalau Ify mendengar percakapannya dengan Zariel beberapa menit yang lalu, kalau Ia Pria pembohong besar. 

"Jawab aku, Rio." Kini giliran Ify yang menatapnya, tatapan itu bertemu. Rio mengalihkan tatapannya, berusaha tersenyum. 

"Cla..Clara...Clara baik-baik saja, hanya demam." Ini sudah melampaui dari kata terlanjur, biarlah nanti Ia menjelaskannya jika disaat yang tepat, dan itu bukanlah sekarang. 

Ify menatap lurus kedepan. "Kau yakin ?" 

Rio kembali tertegun, kemudian Ia mengangguk. "Sudah terlalu malam, dan angin ini tidak sehat untuk mu Fy. Ayo masuk." Rio beranjak namun lengannya ditahan oleh Ify. 

"Aku belum selesai, Tuan PEMBOHONG." Tubuh Rio menegang ditempat, tidak percaya setelah apa yang dikatakan oleh Ify. 

"Belum cukupkah kebohongan yang selama ini kau sembunyikan dari ku, Rio ? Belum sebanyak itu kah ?" 

"If...ify..kau...aku..aku..." Rio menelan ludahnya susah, belum sempat Ia melanjutkan kalimatnya kembali dipotong oleh Ify. 

"Kau pikir selama ini aku bodoh, Rio ? Kau pikir selama ini aku tidak mengetahui dengan keadaan ku saat ini ? Marah hahaha....aku ingin marah Rio, aku ingin sekali marah pada mu." 

"Clara bukanlah anak mu, kau tidak pernah menikah atau memiliki istri yang telah meninggal, kau merenggut tubuh ku karena diawal, untuk pembalasan dendam mu karena perempuan yang kau cintai itu adalah Istri dari kakak mu sendiri, Zariel ! Aku tahu semuanya Rio, aku tahu semuanya." Ify beranjak lalu melayangkan tamparannya pada pipi Rio secara bergantian sampai Ia benar-benar lega, Air matanya terus mengalir. "Aku membenci mu Rio, aku membenci." Rio berusaha tersenyum. 

"Aku mencintai mu." Balas Rio walaupun pipinya kini begitu perih tapi Ia tahu, Ia pantas mendapatkannya bahkan lebih dari ini. "Aku mencintai mu, Ify. Aku mencintai mu." Ify masih terus melayangkan pukulan demi pukulan pada wajah Rio, berusaha untuk tidak mendengar semua ucapan Pria itu. 

"Pukul sepuas mu Fy." Ucap Rio disela-sela pukulan dari Ify, Ia masih terus diam ditempat. Hingga akhirnya cairan merah kental mengalir deras tepat dihidung Rio, Ify syok seketika berhenti. Air matanya masih terus mengalir, "Rio...." Dengan tangan bergetar Ia menghapus darah segar yang terus mengalir pada hidung Rio. 

"Ini tidak seberapa, pukul Fy." Ucap Rio masih dengan senyuman disana, Ify menggeleng. Sedikit menjinjit Ia memeluk tubuh tegap tinggi Rio dengan erat, menangis disana. "Aku mencintamu dan malaikat kecil kita." Rio membalas pelukan itu, Ify terus mengeratkan pelukannya. 

"Maaf Maaf Maaf Maaf Maaf Maaf Maaf Maaf Maaf Maaf Maaf Maaf....." 

Ify melepaskan pelukannya, menatap Rio dalam. "Berhenti mengatakannya." Ucapannya mampu membuat Rio terdiam. Ify meraih bagian ujung bajunya lalu merobek sedikit bagian disana, "Ify !" Seru Rio tak percaya 

"Apa yang kau lakukan ?" Tanyanya bingung, Ify tersenyum. "Berdiamlah." Perintahnya, perlahan Ify menghapus darah segar pada hidung Rio dengan kain bajunya yang Ia sobek. Rio tersenyum haru, lalu meraih tangan Ify dengan lembut. 

"Cukup, ini sudah lebih dari cukup." Rio melepaskan jas kerjanya kemudian menyelimutkannya pada tubuh mungil Ify. " Mengenai perasaan ku, aku tidak pernah sedikit pun berbohong. Karena kau aku menyadari semuanya, karena kau aku mencoba untuk mengembalikan keadaan sampai aku bisa menjelaskannya padamu, kau terlalu pintar mengetahui semuanya." Rio mengecup lembut kening Ify begitu lama, Ify terdiam dan hanya menutup matanya. Menikmati setiap hembusan nafas dari Pria yang saat ini begitu Ia cintai. Yah, dia mengetahui semuanya, semuanya secara terperinci. Marah ? Pasti ! 

Tetapi dibalik kemarahan, Cintanya begitu kuat untuk menembus semuanya. Ify mencintai Rio begitupun sebaliknya, karena Cintalah yang membuat pikiran buruk perempuan ini mengenai Rio benar-benar sirna, yang Ia tahu. Rio mencintainya, sehingga memasa bodohkan semua hal buruk Rio. Karena Ify tahu, Ify tahu Rio melakukan itu semua untuk menjaga kesehatan Ify juga janin yang kini mulai berkembang pada tubuhnya walaupun secara tidak langsung. 

"Kau tidak akan pergi dari ku, bukan ? Kau tidak akan menjauhi ku ?" Ify menatap mata teduh itu begitu dalam lantas tersenyum. "Tidak, tidak akan....." 

"....Dengan syarat kau harus menikahi ku segera." 

Dari kejauhan, sepasang mata menatap mereka penuh kebencian dan penuh murka. Impiannya pupus sudah, tidak ! Ini belum berakhir, rencananya belum berjalan bukan ? Jika ify telah mengetahui semua kebohongan Rio sejak awal dan saat ini memaafkan lelaki itu ? Saat inilah, rencana selanjutnya dari tangan Zariel. Kematian.... 

"Sebentar lagi...." Desisnya tajam dengan tangan mengepal begitu kuat. 


******** 
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Frisca Ardayani Book's - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger