Home » » Baby For Alyssa ( Part 19 )

Baby For Alyssa ( Part 19 )


Alvin menggiring Sivia ke tempat tidur, lantas mendudukkannya. Ia meraih segelas air putih yang memang telah ada diatas meja disamping ranjang tersebut, kemudian menyuguhkannya pada perempuan beralis tebal itu.

Sivia menyambutnya lalu meneguknya penuh nafsu karena memang Ia sangat begitu haus saat ini, Alvin tersenyum manis dan mampu menohok hati Sivia saat melihat senyuman termanis itu. Senyuman termanis yang saat ini hanya untuknya dan saat ini juga telah menjadi miliknya. Senyuman dari seorang Phalvin Sena, suaminya.

Tatapan itu beradu, mencoba saling mengutarakan perasaan yang kini sama diantara keduanya. Perasaan yang tanpa mereka sadari telah tumbuh dan berkembang sangat begitu cepat. Kelegaan dan kejujuran perasaan masing-masing telah tersampaikan, dan itu artinya mereka akan memulainya semua dari awal, dengan nyata, pasti dan sesungguhnya tanpa kebohongan serta permainan yang menyelimuti.

"Kau masih mencintai, Zeva?" Sivia bergumam dengan suara yang tertahan, seperti hanya lirihan kecil. Ia takut, takut menyinggung perasaan Alvin. Atau bahkan takut membuat Alvin mengira Ia meragukan Cinta dari lelaki itu.

Alvin hanya menatap Sivia sendu, lalu mengambil posisi duduk disamping perempuan itu. Perempuan yang telah resmi Ia miliki saat ini, maksudnya telah resmi bukan hanya sekedar dari status melainkan juga hatinya. Ia telah memiliki perempuan ini seluruhnya dan seutuhnya. Jari-jari kokohnya meraih tangan Sivia, lantas menggiring telapak tangan lembut Sivia tepat didadanya.

Sivia meneguk ludahnya susah, seraya menatap sepasang mata biru pucat itu begitu kentara. Tatapan itu beradu, seakan-akan mampu menghanyutkan Sivia, yang saat ini wajahnya telah sangat merah merona. Alvin begitu tampan dengan mata biru pucat dan sipitnya, wajahnya oriental juga tenang penuh misteri benar-benar membuat Sivia terhipnotis. Bukan, bukan terhipnotis dalam arti lain. Tapi Ia terhipnotis dengan alami, alami karena perasaan keduanya.

"Apa yang kau rasakan disana? jika kau merasakan dia berdetak disana begitu cepat dan bahkan lebih cepat dari sebelumnya berarti aku hanya mencintaimu tanpa yang lain didalamnya. Karena hidupku bergantung pada mu, jantung ku tergantung cinta mu." Sivia tertunduk, mengalihkan wajahnya kini benar-benar memanas menahan malu campur senang. Ya Tuhan, bisakah Alvin tidak seromantis ini padanya. Apa? Romantis? Hey, bukankah ini hanya perlakuan biasa? Ah, entahlah Sivia merasa ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan. Ia mencintai Alvin, itu tandanya Ia harus mempercayai Alvin.

"Zeva memang masa lalu ku, dan aku bahkan tidak akan bisa melupakan kejadian yang lalu begitu saja apalagi dengan kesalahan terbesar ku yang terus-menerus menghantui tanpa ampun. Tapi aku percaya, dengan mu semuanya akan lebih ringan untuk ku. Hanya dengan melihat mu tetap disisi ku." Alvin meraih kepala Sivia, lalu mencondongkan kepala cantik perempuan itu mendekat kearahnya. Kecupan kecil Ia daratkan pada kening Sivia, dan perempuan itu hanya menikmatinya dalam diam. Menikmati setiap kecupan-kecupan kecil itu yang mampu membuatnya melayang, kecupan itu turun pada pucuk hidungnya. Sivia membuka matanya, Alvin tersenyum namun masih bertahan menempelkan bibir seksinya tepat pada pucuk hidung Sivia.

Sekian detik, Ia melepaskannya tapi hanya berjarak 2 centi dari wajah Sivia, benar-benar begitu dekat, sampai-sampai desahan nafas keduanya berbaur menjadi satu. "Sudah lama aku tidak mengecup pucuk hidung mu, kau sepertinya menginginkannya lagi." Sivia tersentak kemudian mendorong tubuh Alvin agar menjauh darinya.

"Jangan menggoda ku." Balas Sivia matanya berubah tajam, itu hanya aksi untuk menghilangkan rasa malu juga kesan nervous yang sejak tadi menderanya.

"Oh ya? Tapi melihat respon dari mu, sepertinya kau ingin sesuatu yang lebih dari itu." Glek, Sivia lagi-lagi menelan ludahnya susah. Alvin tersenyum geli diatas lampu kamar ini yang memang bersinar remang-remang. Berbagai kelabat pikiran negative berkembang pesat pada kepala cantiknya. Tidak, Ia tidak menginginkan hal itu dulu saat ini.

Apa-apa'an Alvin ini ! Dia sengaja untuk menggoda Sivia sepertinya.

"Bagaiman Sivia? Kau siap?"

"Iya, bersiap-siaplah kau tidur dikamar mu sendiri." Sivia melemparkan bantal tidurnya pada Alvin, dengan sigap lelaki itu manangkapnya. Alvin nampak tersenyum menyeringai. "Kesabaran ku sudah habis, sayang. Jangan membuat ku sakit dengan tolakan-tolakan mu saat ini. Kau sudah menjadi milik ku." Mata biru pucat itu mengerling, membuat Sivia salah tingkah. Ia mengangkat kakinya keatas ranjang lalu mundur perlahan, menatap waspada pada Alvin.

Lelaki itu tersenyum penuh makna, kembali Sivia meneguk ludahnya susah. "Al...Alvin...apa..apa yang ingin kau lakukan?" Suara itu tercekat, Sivia terus mundur hingga membentur pada sandaran ranjang. Alvin terus merangkak, mendekati Sivia senyuman itu terus nampak.

Alvin tertawa melihat ekspresi Sivia yang ketakutan, lantas menggeleng. "Ya Tuhan. Sebegitu takutnya kah kau pada ku? Aku suami mu dan kau istri ku, apa saja yang kita lakukan tidak akan membuat gumpalan dosa. Sudahlah aku memaklumi mu sampai kau siap." Alvin terkekeh pelan, Ia mencondongkan kepalannya kembali mengecup kecil pada kening Sivia. "Tidurlah, besok pagi kita akan menjenguk Clara dan Ify." Alvin mundur lalu beranjak pergi dari kamar Sivia.

Astaga Sivia, apa yang telah Ia lakukan? Membiarkan suaminya sendiri, dan bahkan saat ini memperlakukan semuanya seperti bukan suaminya. Apalagi mereka berdua telah mengetahui perasaan masing-masing, bukan? Lalu, apa lagi yang Sivia tunggu? Membiarkan Alvin kecewa? Bagaimana pun lelaki itu menyembunyikan perasaan kecewanya seperti ini, Sivia peka karena dia perempuan. Perempuan jauh lebih pekanya daripada laki-laki.

Sivia menatap punggung kokoh itu dan jari kokohnya sudah hampir memegang knop pintu. "Alvin.." Sedikit mengernyit, Alvin lantas memutar tubuhnya menatap Sivia bingung. "Ada apa? Kau membutuhkan sesuatu?" Pipi Sivia tiba-tiba saja merona merah, sudahlah! Ia harus melakukan apa yang Alvin mau, Alvin suaminya. Dan Ia harus terbiasa dengan itu.

"Aku ingin kau tetap disini----tidur bersamaku, ka...kau mau bukan?" Sivia benar-benar gugup, keringatnya terus meluncur hebat disekitar dahi dan pelipisnya. Alvin terpaku ditempat. "Aku tidak ingin memaksa mu, sayang. Kau perlu istirahat banyak." Sivia menggeleng begitu berani, lagi-lagi Alvin terpaku, senyuman mengembang kini nampak begitu jelas pada bibirnya.

"Ah, baiklah Darling. Kau ingin bermain-main dengan ku ternyata." Seperti singa yang tengah dilemparkan daging segar, tidak mungkin bukan? Singa itu membiarkannya teranggur?

Alvin melepas jas kerjanya sembarang tempat kemudian dasinya lalu sepatu. Ia melangkah pelan kembali menuju ranjang dimana Sivia tengah memperhatikan Alvin, dentuman-dentuman jantungnya semakin lama semakin cepat. "Baiklah sayang, kita mulai." Alvin langsung melompat ke atas ranjang. Malam inilah Ia akan membayar semuanya, melupakan masa lalunya. Tidak, bukan melupakan hanya membuang jauh-jauh kenangan gelap itu hingga terkubur dalam, tidak akan tersentuh oleh siapapun.

Sivia, perempuan itu. Dia akan menjadi hal yang terindah dan tidak akan pernah Alvin sia-siakan, sudah cukup dirinya dimasa lalu. Malam itu adalah malam pengeksekusi, malam penyatuan diantara keduanya, malam yang akan membuktikan bagaimana seharusnya cinta itu selanjutnya berjalan. Menyatukan hati dan raga dalam irama kesyahduan alami. Malam awal untuk segalanya.....


*******


Cakka tengah menggendong Clara, namun dengan alat bantuan seperti gendongan khusus mirip seperti kantong kangguru. Kedua tangan Cakka mendorong kursi roda Agni, Ah. Mereka benar-benar seperti keluarga harmonis dan saling melengkapi satu sama lain. Dibalik itu, Agni merasa bahagia dan nyaman jika tengah terus bersama Cakka apalagi saat ini. Ada sedikit mengganjal hatinya saat ini, karena Clara yang tak kunjung memberikan respon yang baik padanya. Sampai kapan putrinya itu terus-terusan bergantung pada Cakka -Ayahnya-.

Padahal saat ini, Ia sebagai Ibunya ingin sekali mendekap perempuan kecil cantik itu. Clara tengah asyik memainkan kerah baju Cakka, si malaikat kecil itu nampaknya lebih cerah dan ceria dibandingkan hari-hari lalu, Cakka tersenyum geli melihat wajah serius putrinya itu.

Dokter Clara bilang, Ia sudah membaik walaupun nanti Ia akan terus check-up perkembangannya mengenai penyakit Thalasemia mayor dideritanya yang kapan saja akan kambuh tanpa melihat waktu dan tempat. Tetapi, selama dalam 1 minggu sekali Ia terus mendapatkan pendonoran darah itu akan lebih baik.

Mereka terus berjalan hingga akhirnya berada tepat didepan ruangan Ify. Agni menahan tangan Cakka yang akan membuka pintu. "Biar aku saja, kau sudah banyak melakukan sesuatu untuk ku. Dari menggendong Clara, sampai mendorong kursi roda ku. Berikan aku kesempatan untuk bergerak." Cakka hanya tersenyum lalu mengangguk, Agni pun membuka pintu tersebut.

Mereka masuk, dan mendapati Ify juga Rio seperti bertengkar kecil.

"Ya Tuhan, sayang. Bisakah kau membuka mulut mu? Aku akan menyuapkan bubur ini untuk mu, ayolah kau makan." Suara itu benar-benar tak sabaran dan terlihat frustasi. Emosinya Ia tahan, Ify masih bergeming menatap Pria didepannya ini benar-benar kacau memaksanya untuk makan.

"Ify. Bukalah mulut mu." Ify menggeleng tegas. "Kau pikir makanan itu enak? Kau mau aku muntah disini, dan kembali merepotkan mu. Aku tidak menyukai makanan itu, Rio. Rasanya hambar dan membuat perutku kembali mual." Ah, entahlah. Sudah berapa kali perempuan itu mengatakan hal yang sama sejak tadi, lihat saja wajah Rio saat ini sangat kacau, berantakan dan frustasi melihat sikap Ify yang keras kepala.

Rio meraih rahang Ify dengan lembut, agar perempuan itu mau membuka mulutnya dengan ini. Sama saja sepertinya, justru itu membuat mulutnya mengatup lebih rapat dari yang tadi. "Jangan paksa aku, Pria batu !" Tatapan Rio berubah tajam dari biasanya, Ia benar-benar kesal dengan tingkah Ify saat ini. Kesabarannya sudah diujung, itu tandanya sebentar lagi Ia akan bersikap kasar setelah ini.

Tidak mungkin. Ia mencintai Ify, dan bersikap kasar atau semacam menyakiti perasaan perempuan itu jauh terbelakang Ia lakukan atau bahkan menghapusnya.

Agni dan Cakka menatap sepasang kekasih itu dengan tatapan takjub serta geli. Bisa-bisanya Ify ditengah sakit masih memberontak, belum lagi rio dengan sifat pemaksa juga arogannya agar Ify mau makan. Benar-benar telenovela sekali mereka berdua, desis Agni dan Cakka.

"Haii kalian, para Pria dan Wanita sama-sama keras kepala. Disini ada anak kecil yang sedang memperhatikan tingkah mu berdua." Ify dan Rio tersentak lantas menoleh ke sumber suara, mereka baru menyadari ternyata sejak tadi ada tamu yang datang. Ya Tuhan....

Agni terkekeh geli. "Sejak kapan kalian disana?" Tanya Rio, Cakka nampak berpikir. "Yang pasti sejak kau begitu kacau menghadapi Ify yang tak kunjung menurut pada mu."

"Dia keras kepala." Balas Rio dengan dagunya yang menunjuk Ify

"Kau pikir kau tidak? Dasar lelaki pemaksa, arogant, kejam, batu, keras..." Cupp. Kecupan singkat itu mampu membuat Ify terdiam. Rio nampak menyeringai. "Hentikan hujatan nakal mu terhadap ku, jika kau tidak ingin aku melakukan hal yang lebih dari itu." Mata Rio nampak mengerling penuh kemenangan. Ify menggeletukkan giginya kesal campur malu, lihat saja apa yang dilakukan Rio barusan, sudah mampu membuat semburat warna merah diwajahnya berpencar. Ia terdiam seketika.

"Damn! Kau benar-benar Gila, Rio. Mencium Ify dengan beberapa pasang disini. Apalagi ada Clara, kau lelaki penuh nafsu ternyata." Rio melemparkan senyuman sinisnya, lantas melirik ke arah Clara.

"Malaikat kecil ku tidak akan melihat, lihat saja Ia menghadap mu seperti itu. Aku kasihan padamu, sepertinya kau iri dengan ku." Dasar Rio, Ify menggeram lantas mendaratkan pukulan kecil pada tempurung kepala Pria tampan yang saat itu duduk membelakanginya.

"Bisakah ucapan mu lebih berkelas seperti jabatan mu sebagai direktur perusahaan mu, Rio." Rio hanya memutar kedua bola matanya. "Terserah mu." Balasnya

"Ternyata kau bisa diam seketika jika Ify yang bersuara." Cakka mengejeknya sekarang. "Tutup mulut mu." Ucap Rio dingin.

"Sudah-sudah, kita kesini untuk menjenguk Ify. Kenapa kau beradu mulut dengan Rio." Akhirnya Cakka, Clara dan Agni mendekat pada Bed Ify.

"Jadi Clara telah boleh pulang?" Ify bertanya antusias, Agni mengangguk. "Untuk itu, kami akan menitipkan Clara sebentar selama aku dan Cakka berada diruang Dokter. Dokter bilang akan membicarakan sesuatu tentang penyakit Clara kedepannya." Ify dan Rio hanya mengangguk senang.

"Aku berharap malaikat kecil ku sembuh, aku begitu menyayanginya." Rio bergumam, Ia sudah sedikit menerima dengan kehadiran Agni saat ini.

"Dia pasti akan sembuh, Clara perempuan kecil yang kuat......hey, dia tertidur ternyata." Cakka justru mendapati putrinya tertidur kembali, anak ini lebih banyak meluangkan waktunya untuk tidur ternyata. Dasar bayi.... Pikirnya

"Lekaslah kalian pergi, aku dan Rio akan menjaganya sampai kalian kembali. Ini sebagai perpisahan juga, yang artinya aku sudah tidak bisa dengan leluarsa membawanya kemanapun." Ucap Ify seraya terkekeh pelan. Rio beranjak membantu Cakka melepaskan kunci-kuncian alat penggendong itu, hingga akhirnya Clara pun telah berada digendongannya. Ia tertidur begitu lucu.

"Jangan membangunkannya, Rio. Dia butuh Istirahat." Peringatan Ify mampu membuat Rio berhenti mencium pipi gembung dan lembut Clara yang tengah tertidur.

"Aku hanya merindukannya." Balas Rio dengan wajah cemberut. Ify, Cakka dan Agni tergelak tawa. Suasana ini, suasana yang sudah cukup menggambarkan kehangatan.....


********

Dokter Clara menatap Agni dan Cakka secara bergantian. Mereka berdua hanya menunggu sang Dokter membuka suara, tapi ternyata sang Dokter lebih memilih menatap mereka begitu lekat. Sampai akhirnya sang dokter menghela nafasnya berat, kemudian tersenyum.

"Kalian yakin akan melakukan Operasi tulang sumsum untuk, Clara?" Agni menoleh dan menatap Cakka, tatapan itu bertemu saling berpendar satu sama lain.

Ada ketidak yakinan dari pancaran mata Agni, Cakka meraih jemari Agni lalu menggenggamnya memberi keyakinan. Cakka kembali menatap Dokter. "Kami yakin, Dok." Cakka berusaha tersenyum, walaupun Ia merasa tak yakin dengan ini. Tapi Ia ingin, melakukan sesuatu. Sesuatu untuk menebus semuanya.

"Melakukan Operasi ini bisa saja berhasil atau bahkan sebaliknya. Karena pencangkokan tulang sumsum pada Clara tergantung bagaimana respon sistem tubuhnya." Ujar Dokter, Agni dan Cakka mengkerutkan kening.

"Maksud Dokter ?" Kali ini Agni yang bersuara. Dokter berkepala plontos itu memperbaiki kacamata bingkainya, kembali menghela nafas.

"Ada cara lain yang lebih relatif mudah tanpa harus takut akan keselamatan, Clara. Operasi sistem Pancu. Ini merupakan alat terbaru yang ditemukan oleh Dokter Amerika untuk penyembuhan penyakit Thalasemia yang diderita oleh Clara sampai Ia benar-benar sembuh, tanpa harus melakukan Operasi Tulang sum-sum yang beresiko bagi Clara kecil." Jelas Dokter, dan mampu membuat mereka berdua tersenyum penuh harap.

"Benarkah, Dokter?" Kini entah kenapa Agni begitu antusias dan senang, Cakka menatapnya. Kenapa Agni sebahagia ini?

Dokter mengangguk tegas. "Jika anda setuju, kami akan merujuknya ke Rumah Sakit luar negeri tersebut."

"Kami setuju !" Ucap Agni penuh yakin. "Benarkan Kka?" Ia mengajak Cakka untuk memberi rospen. "Aku terserah bagaimana yang kau mau. Karena besok waktu ku sudah habis bersama kalian." Suara itu benar-benar membuat Agni tertohok, Ia baru ingat. Bahwa besok, adalah hari terakhir Cakka bersama mereka sebagaimana perjanjian itu disetujui.

Ya Tuhan, kenapa Agni melupakan itu? Tidak, Ia sudah merasa nyaman dengan sosok Cakka disampingnya. Ah bukan, Cakka hanya bersimpati dan empati padanya tidak lebih dan kurang. Bukan karena Cakka menyukainya, itu mustahil. Ia hanya perempuan Cacat dan selamanya akan seperti itu.


********

Ify berbaring tenggiring menghadap Clara, dan si kecil lucu itu tidur menelentang. Ify membelai lembut pipi Clara dengan sayang, Clara tertidur begitu tenang dan lucu, Rio memperhatikan mereka berdua dari Sofa.

Ia akhirnya memutuskan menghampiri lalu duduk dikursi samping Bed Ify. "Tadi kau bilang pada ku jangan mengganggunya, tapi sekarang kau mengganggu tidurnya." Ify menatap bola mata tajam itu dengan geli, bibir seksi Rio mengerucut cemberut.

"Kau tidak pulang untuk membersihkan tubuh mu? Kau kelihatan lelah sekali." Rio yang tadi menatap Clara lantas menatap Ify.

"Aku akan lebih lelah lagi, memikirkan keadaan mu bagaimana, jika aku tidak disini." Nadanya terdengar penuh kepemilikan, kesan sarkastik dan penuh posesif. Itulah Rio. Ify menghela nafasnya, Rio menumpukan wajahnya pada Bed hampir mendekati wajah Clara. Wajah Ify dan Rio hanya dibatasi oleh wajah Clara yang tengah tidur manis.

Ify tersenyum. "Kau tetaplah keras kepala seperti batu dan....." Blep. Lampu tiba-tiba saja mati, Ify meneguk ludahnya lalu merapatkan diri seraya memeluk Clara. "Rio....." Panggil Ify tak ada respon dari sang pemilik nama.

"Rio? Kau masih disini?" Suara itu tertahan, dan tercekat. Ia takut dengan kegelapan, lalu? Dimana Rio? Kenapa Pria itu tidak menjawab panggilannya? Kemana dia?

Dan kenapa juga lampu Rumah Sakit bisa padam semua seperti ini? Ia merasakan pinggangnya tengah dilingkari sebuah lengan kokoh, lengan itu penuh otot yang keras. Dan kini melingkar begitu tegas dipinggangnya. Mendekap dan memberi kenyamanan.

"Jangan takut, aku disini." Bisikan itu begitu lembut ditelinga Ify, membuat bulu-bulu disekitar tengkuknya memberikan respon. Suara berat itu sangat seksi ditelinganya dengan jarak sedekat ini.

"Kau kah itu, Rio?"

"Adakah nama Rio selain diriku dihatimu?" Tanpa terasa dikegelapan ini, membuat suasana yang tadi mencekam dan menakutkan bagi Ify berganti menjadi suasana kehangatan. Setengah malu, Ify sedikit menjauhkan tubuhnya yang begitu rapat, saat ini dengan Rio.

Rio mengernyit. "Kenapa kau menjauh?" Keringat Ify bercucuran pada pelipisnya. Wajahnya merona merah didalam kegelapan, bisakah Ia mengerti bahwa saat ini tengah nervous. Apalagi jika nanti lampu kembali menyala dan tiba-tiba saja suster menagkap posisi mereka saat ini? Ya Tuhan Rio...

"Kau membuat Bed ini rubuh, Rio. Kembalilah ketempat mu." Rio menggeleng. "Berada pada posisi sedekat ini dengan mu membuat ku nyaman untuk tertidur." Bulu tengkuk Ify kembali meremang, Ia membasahi bibirnya yang kering. Rio menenggelamkan wajahnya pada rambut Ify yang beraroma melon manis yang segar. Entah kenapa Ify merasakan ini terakhir kalinya Rio akan bersikap seperti padanya. Kenapa Rio bertingkah seaneh ini?

"Aku menyukai aroma rambut mu." Shit, bisakah Pria ini tidak membuat jantungnya berdentum-dentum ingin loncat dari tempatnya. Perut Ify terasa tergelitik oleh sesuatu. "Pergilah Rio." Rio menghela nafasnya merasa kecewa.

"Aku hanya ingin berbaring disamping mu, aku tahu kau membutuhkan ku. Baiklah, aku akan pergi sebentar untuk mengecek pada bagian khusus yang menangani listrik Rumah sakit ini, mengapa listriknya padam. Jangan kemanapun sebelum aku datang." Rio beranjak lalu melangkah pelan keluar ruangan.

Dan akhirnya Ify bisa bernafas lega, karena sejak tadi menahan nafasnya. Ia benar-benar nervous sedekat itu bersama Rio. Ia benar-benar ingin mengutuk Pria itu, aroma musk yang bercampur alami pada tubuh Pria itu benar-benar begitu menggodanya dan saat ini masih terasa. Ah tidak, bukan hanya dirinya yang akan tergoda, semua wanita diluar sana pasti memperebutkan posisi yang kini Ify dapatkan. Bukankah itu keberuntungan?

Ify tersenyum bahagia, lalu pikirannya tiba-tiba saja berlabuh pada...... Zariel.

"Zariel?" Gumamnya, Ia baru ingat akan pesan lelaki itu. Menemuinya ditaman Rumah Sakit jam 8, sepertinya begitu serius. Tapi kini? Lampu masih padam, Ia menjaga Clara belum lagi pesan dari Rio. Ya Tuhan, bagaimana bisa Ia melupakan pesan dari Zariel. Bagaimana ini ?


******


Zariel tengah duduk dikursi taman Rumah Sakit, yah. Tempat inilah Ia melihat adegan Rio dan Ify menyatu lebih erat saat ini, bukan sebuah perpisahan. Ia tersenyum getir, sudah seharusnya Ia merelakan Ify. Sudah sepatutnya. Ify tidak akan bisa kembali padanya dan itu telah terbukti bagaimana cinta Ify pada Rio, juga janin yang kini tengah berkembang dalam tubuh Ify. Rio adalah pemilik Ify.

Memang. Ia memang ingin mencelakakan bayi yang tengah dikandung Ify, karena dengan itu semuanya akan mudah. Tapi kembali lagi, bukankah Ia berjanji tidak akan menyakiti Ify? Menyakitinya saja tidak ingin bahkan Ia ingin menghapusnya, bukan? Mencelakai bayi Ify, sama saja Ia menyakiti Ify. Hatinya berontak, benar-benar tidak terima sekaligus sakit saat melihat Ify pendarahan waktu itu. Ify meronta kesakitan.

Jeritan-jeritan Ify dan darah itu. Sudah mampu menyadarkan Zariel. Tidak, sudah cukup. Dengan melihat air mata itu saat itu, mampu menghapus dendamnya. Ia akan belajar merelakan, merelakan Ify untuk adiknya -Argario Tersaa-.

Tak terasa air matanya mengalir mengiringi hatinya yang kini benar-benar remuk dan hancur. "Maafkan aku Ify, setelah ini aku akan merelakan mu. Aku berjanji." Ia menyeka air matanya dengan pelan lantas melirik arloji hitam yang melingkar sempurna pada tangan kirinya.

Sudah 2 jam Ia menunggu sebagaimana janji yang Ia pesankan pada Ify. Tapi kenapa, Perempun itu tak kunjung datang? Tidak, Ia yakin Ify akan datang. Ia yakin itu.... Ia terus berharap dalam hal yang memang tak pasti saat ini.

Zariel beranjak, saat mendapati suara langkah kaki yang bergesek pelan dengan rumput-rumput ditaman itu. Tetapi Ia tidak menoleh kearah belakangnya, namun Ia yakin itu Ify. Ify datang untuknya....

"Aku kira kau tidak akan datang, Ify." Ujarnya penuh semangat menggebu-gebu. "Tetapi keyakinan dan penantian ku benar-benar dikabulkan. Kau datang saat ini, menemui ku." Zariel tersenyum penuh bahagia, Ya Tuhan... Hanya Ify datang saja sudah membuatnya sebahagia ini.

"Aku janji tidak akan berlama-lama. Aku hanya ingin memberitahu mu suatu hal, dan setelah ini aku akan pergi dan merelakan kebahagiaan mu bersama Rio." Diakhir kalimat itu suaranya tertahan setengah tidak rela, tapi Ia harus melakukannya, melanjutkannya hingga tuntas.

"Kau sebenarnya bukanlah anak dari Pria dan Wanita miskin yang kau panggil Ayah dan Ibu. Kau bukanlah anak dari keluarga Missel, mereka adalah Paman dan Bibi mu bukan Ayah dan Ibu mu. Dan.... Ayah Ibu mu sebenarnya dari keluarga Lavendo, Kiki Rhicard Lavendo adalah Ayah mu, sedangkah Zahrasya Nazuela adalah Ibu mu. Merekala Orang tua kandung mu Fy, bukan dari keluarga Missel." Zariel menghirup oksigen lebih banyak, sekali lagi Ia tidak menoleh masih membelakangi sosok yang dibelakangnya.

"Orang tua Agni, adalah Orang tua mu. Kau dan Agni bersaudara, Agni adalah kakak mu, kakak kandung mu. Dan nama Asli mu bukanlah Steffy Missel Alyssa melainkan Alyssa Gissel Lavendo. Itulah namamu yang sebenarnya. Nama yang mirip dengan kakak mu, Agnissya Gissel Lavendo. Dulu...Ayah dan Paman mu adalah kakak beradik yang kaya raya dinegeri ini, Ayah mereka mempunyai saham dimana-mana dan merupakan pemegang saham tertinggi, sampai akhirnya kakek mu meninggal dan membagi rata harta warisannya kepada Ayah dan Paman mu. Setelah beberapa tahun kemudian, Ayah mu menjadi seorang bilioners muda sama halnya seperti kakek mu, Ia berhasil dengan usahanya. Sedangkan Paman mu bangkrut, ditambah lagi istrinya tidak bisa menghasilkan seorang anak."

"Iri dan kebencian tiba-tiba saja merasuki Paman mu lalu berbuat nekat. Ditengah-tengah kelahiran mu, Ia mengambil mu karena sangat terobsesi ingin mempunyai seorang anak. Dan seperti saat ini....kau dibesarkan dengan penuh sayang oleh mereka. Saat kehilangan mu, orang tua kandung mu benar-benar hancur. Mereka tidak tahu lagi harus mencari mu kemana, untuk bukti foto saja mereka tidak punya, karena kau lenyap begitu saja selesai proses persalinan itu berlangsung, mereka terus mencari bertahun-tahun hingga akhirnya mereka pun mengikhlaskan mu." Sudah, Zariel sudah menjalankan maksudnya. Dan kini Ia ingin tahu bagaimana reaksi Ify setelah mendengar semuanya.

"Aku mengetahui semua ini, saat mendapati foto keluarga Agni yang saat itu masih berada dilemari kamarnya. Aku mulai mencari tahu dengan menyuruh orang suruhan ku, dan aku terkejut saat mengetahuinya. Kau harus tau....." Zariel tersentak, saat mendengar suara deheman lembut, lantas Ia menoleh dan menghadap sempurna pada sosok yang sejak tadi Ia kira Ify.

"Menyedihkan sekali hidup seorang Ify yang begitu sangat kau cintai itu Zariel." Zariel membeku ditempat, matanya melotot saat melihat yang kini bertengger tegas menuju kearahnya, sebuah pistol. "Aku heran. Apa yang membanggakan dari seorang Ify! Tidak kau dan tidak Rio sangat mencintainya." Sinis Shilla, Rahangnya mengetat menahan marah.

Ternyata, bukan Ify yang tadi mendengar semuanya? Ify tak datang? Dan yang datang justru Shilla?

"Terkutuk kau Shilla, jangan pernah bermain-main dengan ku." Ia melirik pistol itu dengan gagahnya mengarah padanya.

"Seorang Shilla tidak akan pernah main-main Zariel. Aku ingin kita mati berdua disini, dan setelah itu tidak akan ada lagi yang memiliki mu, hanya aku yang memiliki mu. Hahahaha." Shilla tertawa penuh luka, yah. Ia luka benar-benar sangat luka.

Zariel meneguk ludahnya, benar-benar perempuan Psikopat. Bagaimana caranya Ia menenangkan perempuan itu. "Apa yang kau inginkan dariku?" Tanya Zariel melembut, Shilla tersenyum sinis.

"Aku menginginkan mu, Zariel. Aku sudah lama menyukai mu. Tetapi kau selalu saja menolak ku, aku yang lebih dulu mengenal mu daripada perempuan brengsek bernama Ify-----."

"Tutup mulut mu!" Zariel menggeram, Ia melangkah mendekati Shilla. "Jangan mendekat Zariel, atau kau tertembak." Ancam Shilla, Zariel hanya tersenyum meremehkan dan menatapnya bengis.

"Aku tidak takut." Kembali Ia melangkah, Shilla terus mundur dengan pistol yang masih tertuju pada lelaki itu. "Zariel !" Peringatan itu kembali Shilla lemparkan, Ia terus saja melangkah.

Shilla memejamkan matanya lalu menekan pelatuk pistol. Dum. Dum.

"ZARIEL AWASSSS !"

"RIOOOOOO !"

Shilla terpaku, pistolnya jatuh ditempat. Melihat siapa yang saat ini terbaring lemas dengan darah yang mengalir hebat menembus perutnya. Zariel berlari menghampiri Rio.

"Za...Zariel...Ma....Maafkan..ak...aku.." Entah mengapa, hati Zariel mencelos. Rio? Rio menyelamatkannya? Ya Tuhan...

Rio meringis menahan sakit yang kini benar-benar menderanya tanpa ampun. Cairan merah itu terus mengalir hebat, "kau diam disini, ku mohon bertahan. Aku akan memanggil suster. Aku...aku akan memanggil pertolongan Rio....kau bertahan, jangan berbicara." Zariel beranjak namun lengannya ditahan oleh Rio, Zariel benar-benar panik. Haruskah Ia masih mengharapkan dendam pada adiknya sendiri? Rio adiknya, adik kandungnya? Naluri seorang kakak bagaimanapun juga akan terus hidup, tak pernah mati.

"Ak..aku..men..dengar...se...semuanya." Gumam Rio tersengal-sengal, Zariel mengkerutkan keningnya. Apakah? Apakah sejak tadi Rio sebenarnya berada disini?

"ak..aku..ingin.. kau..menjaganya, sebagaimana dulu kau menjaganya dengan cinta dan sayang mu. aku sudah cukup banyak membuat kesalahan padamu, ak..aku..ra..sa wak..tu..ku..ham..pir..de..kat. Maafkan aku-------" Deg. Nafas Zariel memburu, tak terasa embun yang sejak tadi menghadang dipelupuk matanya mengalir lebih begitu deras, Ia mendekap Rio lantas menggendongnya menuju ruang Unit Darurat Rumah sakit ini, Ia terus berlari. Tidak peduli bagaimana besarnya tubuh Rio dibandingkan dengan tubuhnya, Ia harus menyelamatkan Rio. Adiknya. Adiknya bagaimana pun kesalahan Rio dimasa lalu.

"Rio ! Kau tidak akan mati, kan? Kau masih hidupkan? Rio! Balas tatapan ku, bersuaralah! Rio ! Riooooo !"


*******

Lampu telah menyala, kenapa Rio belum juga kembali? Dan sekarang Ia sendirian, karena beberapa menit lalu Cakka dan Agni telah membawa Clara pulang.

Ify merasa haus, lalu mencoba mengambil segelas air putih dimeja. 'Prangg'.

Ify membeku, menatap segelas Air yang tadi diraihnya tiba-tiba saja jatuh kelantai dan sekarang pecah. Nafasnya tercekat, seakan-akan gelamir paru-parunya tidak bekerja sebagaimana mestinya, darahnya berdesir hebat. Ia merasakan kepalanya tiba-tiba saja pusing, perasaan tak nyaman menghinggap tiba-tiba pada dirinya.

"Ap..apa yang sebenarnya terjadi? Rio."


*********
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Frisca Ardayani Book's - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger