Home » » MY DEATH ( Part 3 )

MY DEATH ( Part 3 )


Alvin merogoh saku jaketnya, lalu mengambil sebuah benda sinar ultraviolet ukuran kecil lantas menyalakannya. Ia mengumpat kesal, karena alat penyadap yang telah terpasang pada jacket Safety Ify menghilang begitu saja. Sialnya lagi Ia tidak memasang alat pelacak mini lainnya selain penyadap pada jaket gadis itu. 

Alvin menelusuri trotoar jalan yang Ia yakini merupakan jejak kaki Ify, karena sinar Ultraviolet itu menunjukkan bahwa itu adalah jejak kaki mungil Ify. Akhirnya Ia sampai disebuah Pabrik tak aktif, dilihatnya sebuah sedan hitam legam bersiap pergi dan baru keluar dari Pabrik tersebut. Alvin langsung menenggelamkan dirinya pada semak-semak rimbun dekat Pabrik itu, matanya terus mengarah pada sedan tersebut tak selang berapa lama Sedan itu pergi, datanglah segerombolan lelaki kekar yang bersiap memasuki 2 buah mobil yang memang sejak tadi berada disana. 

"Sial ! Kenapa aku tidak mencurigai mobil sedan itu tadi, bahwa Ify disana." 

Kembali Ia merogoh saku celana dan mendapati ponselnya. "Sebuah sedan hitam sedang melesat ke arah kota Ify berada didalamnya, pastikan dia dalam pengawasan aku belum mengetahui siapa yang membawanya, siapkan 1 mobil untukku dan iringi sedan itu. Aku akan melacak sekitar Pabrik ini lebih dulu, ku rasa ada sesuatu mengganjil disini." Akhirnya panggilan itu berakhir, Alvin mulai beranjak memasuki Pabrik tersebut. 

"Benar dugaan ku, mereka menyamar menjadi Preman biasa untuk menyembunyikan diri. Sialnya lagi Walikota dalam bahaya, termasuk.... Ify." Nafas Alvin memburu, saat mendapati sebuah Whiteboard yang terdapat gambar denah dengan berbagai garis-garis rakitan yang menyambung di setiap sudut Kediaman Walikota, Telah Alvin pastikan sudah berbagai Bom rakitan yang tertanam disana dan siap meledakkan Rumah Walikota. 

Alvin ingat jelas, kenapa para pembunuh-pembunuh misterius itu menjadikan Walikota sebagai sasaran utama dalam misi mereka. Karena, ada oknum dalam yang kecewa atas kekalahannya mencalonkan sebagai Walikota. Daud Va Endels, Walikota saat ini yang terkenal dengan kerendahan hatinya juga meringankan seluruh beban masyarakat bawah, sehingga membuat seluruh masyarakat menyukainya dan memenangkan suara pilihan saat itu. Ternyata, dibalik dirinya yang dermawan banyak Oknum dalam maupun Luar yang tak menyukainya bahkan sangat sering ingin menjatuhkannya secara diam-diam. 

"Ternyata kebaikan seseorang, tidak selamanya dilihat dari sisi kanannya. Bahkan, kebaikan itu bertumpu pada keburukan. Dasar Manusia Bodoh !." Umpat Alvin kesal jika mengingat Oknum-oknum yang terlibat untuk menjatuhkan Walikota dermaawan itu. 


******** 

Sedan itu berhenti, entah kemana mereka berada saat ini pikir Ify. Sosok tegap yang berada dibagian pengemudi lantas membuka pintu mobilnya. Ify yang masih tegang, tidak mendengar sama sekali apa yang diperintahkan sosok yang tadi berada disampingnya. 

"Lekaslah Keluar ! Kau ingin tertangkap mereka ?." Dengan kasar sosok itu menarik lengan Ify untuk keluar, Ify dan sosok itu berlari menembus ladang rumput yang menjulang tinggi, sehingga membuat tubuh kecil Ify tak terlihat namun lain lagi halnya sosok yang masih tengah menggenggam jemari Ify, rumput-rumput tinggi itu hanya sekitar bagian dadanya saja. Mereka terus berlari, membuat tubuh kecil Ify memberikan perlawanan untuk berhenti sejenak. 

"Aku..hahh.. le..hh..lah Pria Bodoh ! Kau pikir aku sama dengan mu, hh..hah." Sosok itu berbalik lalu melipat kedua tangannya. 

"Dasar perempuan, selalu menyusahkan. Cepat bangun ! Sudah cukup kau merepotkan ku saat ini," Sosok itu membuang muka, saat mendapati Ify yang tengah menatapnya marah. 

"Yasudah, kau pergi saja sana. Lagipula aku tidak meminta mu sampai membawa ku ke sini, Aku lebih memilih melawan Preman itu daripada harus ikut dengan dengan mu." Sosok itu memutar kedua bola matanya, Ia kembali menatap Ify lalu merendahkan sedikit tubuhnya, tangan kekarnya langsung menggendong Ify sehingga membuat Gadis yang berada di Gendongannya, Ify menjerit dan memberontak untuk turun. "Kau bisa diam !." Bentaknya, mata Ify menyipit. "TURUNKAN AKU PRIA BODOH !." 

"Aku akan menurunkan mu jika kita menemukan Sungai." Balasnya singkat membuat mata Ify mendelik hebat. "Sungai ?." Gadis itu mengulang kata terakhir sosok yang tengah menggendongnya. 

"Yah Sungai, untuk membuang mu kesana. Jadi kuncilah mulut mu itu, jika tidak ingin ku buang ke Sungai." Ify meneguk ludahnya susah, Apa yang dikatakan sosok itu ? Sungai ? Ya Tuhan... Tidak tahukan dia Ify Sangat takut sungai dari kecil, karena disaat Ia masih kecil sempat tenggelam kedalam sungai ketika bermain dengan sahabat kecilnya. 

"Rio...," Gumam Ify tiba-tiba entah kenapa suasana ini mengingatkannya akan sesuatu. Yah, sahabat kecilnya. suaranya nyaris tak terdengar hanya seperti bisikan, tapi mampu membuat sosok yang tengah menggendongnya menegang. 

"Apa kau katakan ?." Tanya Sosok itu, Ify lantas tersadar lantas menatap sepasang mata berlensa biru yang kini menatapnya Intens. 

"Tidak, aku tidak mengatakan apa-apa." Sosok itu memutar bola matanya masih tetap menggendong Ify, merasa tak ada perlawanan lagi dari Gadis itu dan tempat yang sejak tadi memang ingin sosok itu tuju lantas Ia membuka suara kembali. 

"Siapa nama mu ?." Tanyanya, mampu membuat Ify mengkerutkan keningnya. "Panggil saja aku ify," Sosok itu mengangguk-anggukan kepalanya. 

"Kau tidak ingin bertanya siapa nama ku ?." Respon Ify hanya desahan nafas namun bersuara juga akhirnya. "Siapa nama mu ?." 

"Vano." 

"Vano ?." Ify mengulang kata yang disebutkan oleh Sosok bernama -Vano- itu, Ia menatap Ify yang memang sejak tadi menatapnya. "Begitulah, mengenai di pabrik tadi. Kenapa kau tiba-tiba ada disana ?." Vano menurunkan Ify 

"Aku ingin berlatih menggunakan Pistol atau senjata pembunuh lainnya." Vano bersedekap memperhatikan setiap alunan yang terutara dari bibir kecil Gadis itu, kemudian Ia tersenyum miring. 

"Kau berprofesi sebagai pembunuh ?." Tanya Vano, Ify menggeleng lalu kepalanya mengadah keatas, kenyamanan dan kedamaian dimalam hari berada dipadang rumput seperti ini entah kenapa membuatnya merasa damai. Kembali Ify menunduk, "Aku tidak pernah berpikiran menjadi pembunuh atau bahkan membunuh, tetapi aku dituntut untuk menjadi pembunuh.....," Ify menggantungkan kalimatnya lantas menatap Vano dengan tatapan sendu. 

"...aku melakukannya karena pembalasan dendam, pembalasan dendam yang harus setimpal atas apa yang dilakukan orang itu terhadap keluarga ku. Walaupun saat ini, nyawaku benar-benar terincar." Senyum miris tercipta begitu saja pada bibir mungilnya. 

"Kau tidak takut tertangkap polisi ?." Ify kembali menggeleng, "Aku bersedia ditangkap jika pembalasan itu telah ku lakukan. Tanpa menunggu polisi mencari ku, aku akan melaporkan diri ku sendiri." Jawab Ify tegas membuat Vano tersenyum geli. 

"Kalau begitu, aku tidak perlu repot-repot mencari pembunuh baik seperti mu yang siap melaporkan diri terlebih dahulu. Aku polisi," Mata Ify mendelik dan tak percaya. 

"Kau polisi ? Benarkah ?." Vano mengangguk kecil. 

"Jabatan ku terlalu tinggi untuk dikatakan polisi, dan sebenarnya aku tidak mempunyai wewenang melacak keberadaan para pembunuh misterius itu. Karena Walikota adalah sahabat dekat ku, aku bersedia melakukan tugas ini, mereka selalu mencari ku jika tugas terlalu beresiko." Ify masih syok kini Ia tidak berani menatap Vano seperti tadi. 

"Kau kenapa ? Takut tertangkap oleh ku sebelum kau melakukan pembalasan dendam mu itu ?." Senyuman geli benar-benar ingin Vano tampakkan pada gadis didepannya ini namun Ia urungkan. "Ify Ify, kau tenang saja. Aku membebaskan mu untuk melakukan pembalasan dendam itu, tapi ingat sendiri dengan janji mu, kau akan melaporkan diri mu jika pembalasan itu telah kau lakukan seperti yang terucap pada bibir mungil mu." Ify mendongak kembali berani menatap Vano. 

"Benarkah ? Kau akan membebaskan ku sampai aku berhasil membalaskan dendam ku ?." Vano mengangguk tegas, Ify tersenyum simpul. "Jadi, kau telah lama mengintai pabrik itu juga semua kegiatan yang dilakukan oleh pembunuh misterius disana ?." 

"Ya, tapi tidak setiap hari aku berada disana, karena aku mempunyai tugas lain, mungkin pembunuh itu terlalu bodoh sehingga mereka tidak menyadari aku telah memasang berbagai CCTV khusus yang rentan terlihat." Mereka terus melangkah sampai akhirnya terhenti disebuah Gudang kecil, Vano menoleh kearah belakang. "Jadi begitu, ini tempat apa Vano ? Kenapa kita ke Gudang jemari seperti ini ?." 

Vano memutar tubuh mungil menjadi berubah posisi, tubuh lelaki itu menegang serta meringis sakit sehingga membuat Ify mengkerutkan keningnya. "Vano ? Kau kena...." 

"TANGKAP MEREKA !." Sebuah teriakan membuat tubuh mungil Ify bergetar ditempat. "Cepat lari kedalam gudang, putuskan semua kabel berwarna Kuning yang terdapat pada kotak besi, gunakan telunjuk kanan dan kiri mu menyerupai angka 11 sebelum memutuskan kabel kuning itu." Ify menggeleng panik. 

"Ify, cepatlah. Sebentar lagi aku akan tidak sadarkan diri karena pembius yang mengenai ku saat ini." Ify melihat punggung Vano yang tertancap suntikan pembius oleh pembunuh-pembunuh yang sekarang ini mulai mendekat. 

"Tidak, kau akan mati." 

"Hhh, aku akan baik-baik saja percayalah. Aku atau ribuan nyawa akan melayang termasuk Walikota, semua ada ditangan mu sekarang cepat ke dalam. Masih ada sisa waktu ku untuk melawan mereka sebelum pembius ini bekerja cepat." Ify meyakinkan dirinya lantas berlari menuju gudang jerami yang dimaksud oleh Vano, Ify menoleh ke belakang yang mulai jauh dari Vano, Ia melihat jelas Vano melawan seluruh Pria kekar disana dengan senjata apinya. 

Salah satu Pria kekar berhasil meloloskan diri dari Vano dan sekarang mengejar Ify, membuat Ify mempercepat langkahnya. "Alvin aku membutuhkan mu." Jerit Ify takut, Ia baru menyadari kemana Alvin ? Kenapa saat seperti ini Ia tidak menampakkan diri untuk Ify ? Dengan keberanian Ify meletakkan jari telunjuk kanan dan kirinya pada alat pengunci otomatis melalui sidik jari tersebut. 'Failed'. Ify bertambah panik saat alat pengunci itu tidak bisa terbuka dengan Jari telunjuknya, "Ya Tuhan, ayolah." Kepanikan Ify bertambah saat mendengar langkah kaki yang semakin mendekat. 

"Jari mu terlalu kecil sayang." 


********* 

Shilla tersenyum lebar saat mendengar Ide yang disampaikan oleh kekasihnya -Cakka Vams-. Ide yang ditawarkan kekasihnya itu mampu membuat Shilla tidak perlu berpikir berkali-kali, karena dengan senang hati Ia akan melaksanakan Ide itu. 

"Aku menyukainya Cakka, kau benar-benar membantu." Ucap Shilla seraya tersenyum lantas menopang dagunya pada meja makan, memperhatikan Cakka yangsedang menyesap teh tawarnya. 

Cakka tersenyum lantas menghela lembut dagu Shilla agar benar-benar menatap kearah mata tajamnya. "Aku kekasih mu, apapun yang kau butuhkan aku lantas mengabulkan. Karena aku mencintaimu," Cakka tersenyum manis disana, Shilla juga ikut tersenyum seraya mengangguk. 

"Aku ingin kau melakukan satu hal lagi untuk ku." 

"Katakan sayang." Balas Cakka lembut, Shilla meraih jemari Cakka yang sejak tadi menggenggam dagunya. 

"Segeralah menikahi ku setelah kita berhasil membunuh Ify, kau mau kan ?." Ucap Shilla penuh harap, cakka menarik bibirnya hingga melengkung keatas lantas mengangguk. "Pasti," Jawab Cakka hingga membuat Shilla melompat kearahnya lantas memeluk kekasihnya itu dengan sayang. "Aku mencintai mu." 

"Aku juga," 

"Yah, jangan berharap seorang Cakka Vams mencintai mu Shilla, jangan berharap." Cakka membatin benci. 


********** 


-Grahaniel Stevardus-. Lelaki jangkung ini menatap layar monitornya sendu, rasa sakit dan pedih yang mendalam Ia rasakan bertahun-tahun lamanya tak bisa lagi tergambarkan. Berulang kali dilayar sana mengulang-ulang beberapa gambar seorang perempuan cantik yang anggun. 

Hatinya lagi-lagi merintih pilu saat mendapati, apa yang dulu menjadi impiannya kini harus bersabar Ia nanti. 

"Sampai kapan aku menunggu mu ? Sampai kapan aku bertahan seperti ini ? 
Sampai kapan aku mengadu lelah hati ku pada bayang palsu mu ? Sampai kapan ?." Grahaniel mencengkram hebat gagang kursi besarnya, lantas memejamkan bola matanya. 

"Aku sudah lelah, jadi biarkan aku mengejar mu kembali. Kembali...." Tangannya meraba sebuah benda mungil kemudian kembali Ia mengenakan kacamata hitamnya. 

Ia beranjak, namun pandangannya tersita saat mendapati sebuah kotak persegi panjang berwarna merah marun, ia tersenyum kecut. 

"Sebuah pistol kado dari mu, kado terindah sekaligus kado terburuk yang pernah ku dapatkan...." 

"....darimu." Ia membuang muka lalu kembali melangkah 

******* 
Share this article :

1 komentar:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Frisca Ardayani Book's - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger