Home » » Baby For Alyssa ( Part 12 )

Baby For Alyssa ( Part 12 )


Alvin menatap tajam kearah Rio, saat ini mereka berada di apartemen Alvin. Rio terus menunduk dan bibirnya terus mengalir darah segar, Alvin menggelengkan kepalanya tak habis pikir apa yang dilihatnya saat dirumah Ify tadi. Bisa-bisanya Rio masih saja ingin membalas dendamnya terhadap Ify, gadis yang saat ini sebenarnya lebih banyak mengalami penderitaan.

Tatapan bengis tetap tertuju ke arah Rio, hembusan nafasnya benar-benar tak terkontrol. "Kau pikir dengan memperlakukan Ify seperti tadi, bisa membuatnya jatuh dalam pesona mu ? Dan semua rencana mu selama ini bisa berlajalan lancar sesuai keinginan mu ? Lelucon !." Entahlah, Alvin sudah muak dengan semua perbuatan Rio, dengan cara apa lagi Ia harus menyadarkan lelaki ini.

"Berpikirlah sedikit Argario ! Apa hati mu benar-benar buta dan beku, Hah ? Sampai-sampai perbuatan kotor mu waktu itu sama sekali tak kau sesali ? Ku pikir dengan aku memberitahu bahwa aku membawa Ify kerumahnya dan berusaha membohongi keadaan, kau mau meminta maaf padanya. Tapi nyatanya, kau masih saja berusaha untuk membalas dendam mu itu ?Ya Tuhan !." Alvin mengepalkan tangannya lalu memukul tembok lantas menempelkan dahinya, nafasnya memburu menahan emosi. Memberi 2 pukulan keras tepat mengenai bibir Rio belum berhasil membuat emosinya mereda, bisa-bisanya Rio tidak menyesali akan perbuatannya waktu lalu. Apalagi jika mengingat Sifat Alvin yang begitu menyayangi perempuan, dia tidak akan segan-segan melindungi perempuan yang menderita atau tersakiti seperti Ify.

"Masihkah kau menyimpan cinta mu untuk Agni, Rio ? Ck. Aku sepertinya tidak perlu jawaban mu, apa kau tidak sadar ? Agni hanya mencintai Zariel ! Walaupun Iyel tidak tahu bahwa Clara bukanlah anak....," Alvin menggerutu dalam hati, bisanya Ia lepas kontrol sampai-sampai rahasia selama ini yang selalu Ia jaga hampir terungkap karena emosinya begitu menggebu. Alvin meneguk ludahnya dengan susah payah, dilihatnya Rio mulai beranjak tatapan matanya tajam terarah pada Alvin tersirat menginginkan suatu penjelasan. Rio mulai melangkah mendekat, "Jika Clara bukanlah darah daging Zariel, lalu siapa ?."

"Cepat katakan Alvin ! Apa yang kau sembunyikan selama ini dari ku maupun Zariel ? KATA ALVIN ! Kebohongan apa yang tidak kami ketahui !." Rio mencengkram kuat kerah baju Alvin, Alvin yang diawal emosi seketika gugup. Jawaban apa yang harus Ia katakan sekarang ?

"JAWAB AKU ALVIN !." Rio mengguncangkan tubuh Alvin dengan kasar, "Cukup Rio ! Cla..Clara, Clara anak Zariel... Siapa lagi Ayahnya selain Zariel, aku terlalu emosi karena perbuatan mu maka dari itu semua ucapan ku asal." Jawab Alvin gugup, dilihatnya wajah Rio seperti mempercayai ucapannya, membuat Alvin bernafas lega.

"Lupakan Agni, Rio ! Sedikit saja kau menerima kenyataan bahwa dia tidak...," ucapan Alvin terpotong dengan lepasnya tangan Rio dari kerah bajunya, Rio membalikkan badan, memunggungi Alvin yang menatapnya tak tega.

"Aku tahu Alvin, aku bahkan sangat tahu. Agni memang tidak mencintaiku, aku memang merelakannya bersama Zariel asal dia bahagia, tapi Iyel ? Lihatlah, lihat apa yang dilakukannya pada Agni ? Dia selalu tidak memperdulikan Agni, kau pikir melihat perempuan yang kau cintai seperti itu kau tidak bertindak ?." Rio lalu memegang kepalanya setelahnya meremas rambutnya frustasi.

"Aku memang berusaha membalaskan dendam atas penderitaan Agni selama ini kepada Ify, memang itulah rencana awal ku. Tapi... Tapi entah mengapa saat ini aku menikmatinya, begitu sulit mengendalikan diri ku jika telah bersama Ify. Aku..aku bingung," Alvin tertegun berusaha mencerna kata demi kata yang terutara dari Rio, apa Rio katakan ? Dia menikmati rencana pembalasan dendamnya ini ? Menikmati dalam arti lain ?, Alvin tersadar lalu menatap Rio penuh arti

"Ja..jangan katakan, kalau kau....," Rio kembali membalikkan badan seperti semula lantas menatap Alvin dengan tajam. "Jika kau bisa membaca bahasa perasaan ku, ku mohon simpan rapat-rapat tentang ini. Karena aku tidak ingin ada yang tahu sekalipun itu Ify, biarlah dia mengetahui dengan sendirinya." Rio menghembuskan nafasnya kasar, lalu tersenyum kecut. "Dan masalah Agni ? Sebagai laki-laki aku tidak akan melepaskan tanggung jawab walaupun disini aku bukanlah siapa-siapa, dengan pelan Ify lah yang berhasil menyadarkan ku. Untuk Zariel ? Ku rasa, jika dia mengetahui aku berada dirumah Ify dan tinggal disana bersama Clara, pasti saat itu juga dia akan membunuh ku." Rio melangkah menuju pintu, jemarinya mulai memegang knop pintu.

Rio menoleh. "Usahakan jangan sampai Zariel tahu akan semuanya, sampai Ify sadar akan perasaan ku. Jika Ia telah sadar, aku akan kembali kerumah bersama Clara. Disaat itulah Ify menimbang hatinya dan menentukan pilihan, Aku atau Zariel." Rio akhirnya menghilang dibalik pintu, sedangkan Alvin yang melihat kepergian Rio benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki itu. Karma kah ini ? Atau hanya siasat Rio saja agar rencana pembalasan dendamnya terhadap Ify tetap berjalan lancar ?

Secepat itu kah Rio bisa melupakan rasanya terhadap Agni ? Dan sekarang lelaki itu mulai memupuk rasanya terhadap ify ? Secepat inikah ? Benarkah ini ?. Alvin mencoba menenangkan dirinya dari semua pertanyaan dibenaknya, mencoba menela'ah satu persatu. Sebuah senyuman manis kemudian mengembang dibibirnya, Alvin mencoba membaca pikiran Rio beberapa menit yang lalu. Ia pastikan, lelaki itu memang mencintai Ify.

"Aku harap cinta mu kali ini berpihak, seperti yang terbaca dari ku. Kau harus bersiap mengalami banyak hambatan Rio, aku benar-benar berharap kau tetap memperjuangkan semuanya." Gumam Alvin masih dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.


*********

Sivia menangis di dalam kamarnya, sudah 2 hari ini Ia terkunci dikamarnya sendiri, akibat perbuatan kakak laki-lakinya yang tidak mengizinkannya keluar rumah untuk bekerja. Kamar kecilnya telah berantakan, berusaha memberontak pada sang kakak agar Ia dilepaskan.

Bagaimana nasib mereka jika Sivia tidak bekerja bukan ? Apalagi Sivia baru saja diterima sebagai pegawai muda pada kantor kecamatan desa, Sivia terus menjerit dan berteriak memanggil nama sang kakak, namun nihil tak ada jawaban sama sekali. Sivia menatap cincin emas putihnya pemberian dari Alvin, mengenai sosok bermata tajam itu kenapa hati Sivia lebih terasa perih, menginginkan lelaki itu datang dan menolongnya keluar dari rumah ini. Kenapa Sivia menginginkan itu ? Air matanya terus saja mengalir, saat mengingat kejadian beberapa waktu lalu bersama sosok Alvin, sosok yang benar-benar beda dari lelaki tampan lainnya.

Sivia tersenyum kecut, semuanya hanya angan. Tak mungkin seorang pangeran melabuhkan hati pada gadis jelata biasa sepertinya, hanya angan ! Memang sudah ditakdirkan bahwa gadis jelata sepertinyalah yang memang berangan untuk mendapatkan hati dari pangeran. Sivia menghembuskan nafasnya kasar, matanya yang berkantung akibat tak tidur dan lebih menghabiskan waktunya untuk menangis saja. Sivia mendengar sayup-sayup suara yang tengah memanggilnya, namun matanya benar-benar sulit untuk dikendalikan, belum lagi rasa peningnya yang terus menggerogot dikepala.

"Alvin, kau kah I..tu ?." Bertepatan itu jugalah Sivia terbaring dikasurnya dan pintu kamarnya berhasil terbuka dengan sempurna hasil pendobrakan paksa.

"SIVIAAAAAAA !."


***********


Ify memilih ikut untuk tidur siang bersama Clara yang memang tengah tidur, dia juga tak ingin melihat Rio dulu saat ini, begitu malu dirinya saat Rio mengecupnya waktu itu namun berakhir dengan keterkejutan satu sama lain karena Alvin yang tiba-tiba saja datang. Ify melihat jelas mata Alvin memancarkan kemarahan yang terus menatap Rio, dan mereka pun memutuskan untuk pergi dari Rumah Ify mencari tempat lain untuk berbicara. Ify awalnya cemas takut-takut Alvin dan Rio bertengkar karena terlihat sekali Alvin menahan emosinya, namun sentuhan lembut dikeningnya dengan waktu sekian detik mampu membuat kecemasan Ify mereda.

Ify tersadar, saat mendapati sepasang mata kini menatapnya diambang pintu kamar. Ify lalu memperbaiki posisinya menjadi duduk dikasur, menelan ludahnya payah. "Kau... Sejak kapan kau disitu ?." Tanya Ify gugup, senyuman geli terpatri jelas pada sosok diambang pintu itu -Argario Tersaa-. Ia melangkah mendekat, "kenapa kau gugup seperti itu ? Apa aku menakutkan ?." Ify menggeleng cepat, "tidak, bukan itu maksud ku."

"Lalu ?." Desak Rio, senyum gelinya terkulum disana melihat tingkah Ify. "Ng...ak..aku... Oh ya kau sudah menjalankan sholat Dzuhur ?." Rio berhenti tersenyum lalu menggeleng.

"Belum, aku baru saja pulang jam makan siang." Jawab Rio jujur karena Ia memang baru saja pulang dari kantor untuk makan siang. "Lekaslah ambil wudhu dan sholat." Ify beranjak dari kasur lalu melewati Rio dan menuju dapur. "Selama kau sholat aku akan memasak," Ternyata Rio membuntutinya, Rio mengangguk lalu mengambil wudhu.

Setelah selesai Rio pun melaksanakan Sholat, namun terhenti saat Ify memanggilnya. "Ada apa ?."

Ify mendekat. "Jadi seperti ini gaya mu menghadap Tuhan ? Tak sopan, Gunakan Peci ini." Ify menyodorkan sebuah peci hitam ke arah Rio, namun hanya dibalas dengan tatapan bingung.

"Peci ? Aku...aku biasanya hanya seperti ini jika sholat, tidak menggunakan Peci." Ify menghembuskan nafasnya, "Ahhh, sudahlah yang terpenting kau harus memakainya dan membiasakan menggunakan ini. Ayo gunakan." Suruh Ify, mau tak mau Rio mengambilnya lalu memasang pada kepalanya. Kesan pertama yang Riorasakan adalah kepalanya terasa nyaman dan dingin, Rio tersenyum. "Aku menyukai Peci ini, begitu dingin dikepala ku." Komentarnya kemudian, membuat Ify terkekeh geli.

"Yasudahlah, lekaslah kau sholat setelah itu makan." Rio mengangguk lantas menjalankan sholatnya. Ify tersenyum simpul . "Dasar Rio !." Ify merasakan kepalanya terasa pening, entah kenapa. Namun Ia berusaha untuk mengabaikannya, Ia mengira hanyalah pusing biasa karena jam tidurnya yang kurang. Selama Rio Sholat, Ify memutuskan untuk istirahat di kamar, lagi pula Ia telah selesai memasak. "Istirahat sebentar mungkin akan membantu." Gumamnya kemudian lalu mengatupkan kedua bola matanya.


********

Agni tersenyum senang saat mendapati kedua orang tuanya datang menjenguk, mereka baru saja datang dari Italia. Mereka menetap disana saat Agni berumur 5 tahun, walaupun Ibunya yang asli Indonesia dan Agni lahir pun di Indonesia. Kedua orang tuanya hanya mengetahui bahwa putrinya itu telah melahirkan dan tidak tahu menahu soal kecelakaan yang menimpa putri mereka, semua itu dirahasiakan atas permintaan Agni karena tak ingin membuat orang tuanya yang tengah sibuk. Hati Agni menjerit saat kedua orang tuanya menanyakan hubungan anaknya itu dengan sang Suami saat ini apakah tidak ada masalah ?, dan Agni menjawab hubungan mereka sangatlah baik. Memang kedua orang tuanya tidak mengetahui akan hal yang sebenarnya, Agni begitu pandai menutupi semua keadaan yang menimpanya secara rapi.

"Lalu bagaimana dengan cucu kami Agni ? Dimana dia sekarang ? Apakah Mama dan Papa boleh melihatnya ? Maafkan kami baru datang, pekerjaan selalu menyita waktu." Tanya sang Mama -Zahrasya Nazuela-.

"Tidak apa-apa Ma, Clara sedang dibawa Zariel ke luar kota. Tuntutan kerja dan mau tak mau dia harus membawa Clara, dia tak ingin Clara sendirian dengan pelayannya dirumah. Mungkin Papa dan Mama bisa menjenguknya jika mereka telah pulang." Jawab Agni merasa bersalah karena telah membohongi kedua orang tuanya yang jauh-jauh datang dari Italia.

"Lalu kau sendiri disini ?." Tanya sang Papa -Kiki Richard Lavendo-, Agni menggeleng. "Tidak Papa, aku telah disisapkan beberapa suster dan dokter khusus yang selalu menjaga ku disini." Kedua orang Tuanya mengangguk mengerti. "Kalau begitu, Papa dan Mama akan kembali ke Italia. Kau baik-baik ya disini." Nasehat Zahra

"Secepat itu kah ?." Tanya Agni tak percaya, Kiki mengangguk. "Iya sayang, kau tahu sendiri kami begitu sibuk. Salam untuk suami mu dan cucu manis ku, kami pergi." Agni tersenyum seraya mengangguk. "Hati-hati."


*********

Rio tersenyum geli saat Ia datang ke kantor, seluruh mata para pegawainya seperti terhipnotis dan hanya tertuju padanya. Mungkin mereka bingung karena penampilan atasannya itu seketika berubah karena sebuah benda hitam yang terpasang pada kepalanya begitu pas membuat decakan kagum dan pujian yang terlontar dari mulut pegawainya.

"Sepertinya, dengan memakai Peci pemberian Ify membuat ku nampak lebih Elegan dari sebelumnya." Kaca besar yang memang berada diruangannya, dan awalnya tidak pernah Ia pergunakan sama sekali saat ini tak pernah lepas dirinya melirik kearah kaca. Karena Peci pemberian Ify, yang nampak elegan dikepalanya bagaikan sebuah Mahkota, Rio merasa dirinya bak sebagai pangeran.

Kesan nyaman dan kesejukan dikepalanya tak henti Ia nikmati dengan membayangkan wajah Ify. Rio melepas Pecinya lalu mencium Peci itu dengan lembut. "Terima kasih Ify, akan selalu ku kenakan Peci ini kemana pun aku pergi." Rio tersenyum hangat dan kembali memasang Pecinya dikepala lantas melanjutkan pekerjaannya kembali.


*******

Seperti cacing kepanasan, Zariel tak henti-hentinya mondar-mandir diruangannya. Ia terus memikirkan Ify, rindunya sudah tak terbendung, tapi alvin bilang dia harus bersabar sampai perceraiannya dengan Agni telah selesai. "Ya Tuhan ! Sampai kapan aku menunggu waktu itu !." Ucap Iyel yang benar-benar tak sabar untuk menemui Ify, melihat senyuman perempuan itu saja tak apa, asalkan bisa melihatnya dari kejauhan sekali pun.

Rindunya benar-benar tak terbendung lagi, "Mungkin. Mungkin tidak apa jika aku hanya sekedar melihatnya dari kejauhan. Ya, ku rasa begitu." Baru akan melangkah, Zariel ingat akan sesuatu.

"Astaga, kenapa aku melupakan satu berkas untuk ditanda tangani perempuan itu." Geurutu Iyel lalu memutuskan untuk menuju Rumah Sakit terlebih dahulu menemui Agni.


********

Ify baru saja menitipkan Clara dirumah Rio, Ify benar-benar tidak bisa menahan mual pada perutnya juga pusing yang terus mendera padanya. Ia tidak ingin Clara sendirian dirumahnya atau membawa Clara ikut dengan ke Rumah sakit membeli obat.

Ify juga bingung, tidak biasanya Ia sakit aneh seperti ini. Perutnya telah berulang kali mengeluarkan isi didalamnya tanpa ampun saat Ify dirumah sedang tidur Belum lagi pusingnya yang tak kunjung mereda.

Akhirnya Ia sampai di Rumah Sakit, baru akan melangkah menuju dikursi tunggu. Pusingnya bertambah parah, belum lagi perutnya seketika mual kembali. Tenaga Ify mulai melemah dan berkurang, sebuah tangan kokoh membuat tubuh mungilnya terjaga. Sempat Ify mencoba membuka matanya.

"IFYYYYY !."

"Zariel....,"


*********
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Frisca Ardayani Book's - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger