Home » » Baby For Alyssa ( ENDING )

Baby For Alyssa ( ENDING )


Mata itu menatap dalam sepasang mata
coklat terang yang begitu menghanyutkan dirinya dan saling berpendar. Mata itu memancarkan aura yang sangat begitu berbeda malam ini.

Malam ini adalah malam puncak diatas segalanya, malam bersejarah diantara keduanya. Malam dimana keduanya telah resmi mengikat cinta melalui ucapan sakral yang berjanjikan hanya untuk satu kali seumur hidup. Mereka berjanji, berjanji kepada sang Maha Pencipta bahwa saat ini keduanya telah memantapkan hati untuk menyatukan cinta diantara keduanya.

Alunan musik yang menggema lembut didalam gedung berkelas nan elit ini sangat indah terdengar, mengiringi setiap langkah kecil kesana-kemari dalam irama dansa beberapa pasangan yang tengah hadir. Nuansa putih lembut, semua dekor pesta ini penuh dengan warna putih yang begitu lembut sehingga asri jika terlihat. Sederhana namun terkesan mewah, glamour juga elegant.

Berbagai macam bunga menghiasi disetiap meja-meja makan yang telah tersedia untuk para tamu yang hadir. Pesta pernikahan yang sangat elegant dan Glamour, tak heran jika para tamu yang hadir mengenakan pakaian-pakaian dari rajutan desainer terkenal. Resepsi Pesta pernikahan ini sengaja dibuat dengan latar Eropa klasik, beberapa pelayan yang tengah mengenakan jas model panjang bagian punggung, kemeja putih dengan dasi kupu-kupu hitam untuk menghiasi kerah bajunya. Mereka lalu lalang menawarkan beberapa minuman dan makanan ringan untuk sekedar disantap oleh para tamu dalam waktu senggang.

Gorden-gorden berwarna putih lembut dengan ukuran panjang, juga ikut menghiasi beberapa kaca jendela besar pada Resesi pesta pernikahan ini. Ah, sungguh Pesta yang menyanjungkan hati.

"Kau memikirkan sesuatu?" Akhirnya Pria itu bersuara setelah lama menunggu dan memperhatikan perempuan yang kini berdiri disampingnya. Benar-benar cantik sekali Perempuan disampingnya ini, auranya begitu berbeda saat gaun Merah Marun membalut penuh Glamour pada tubuh mungilnya, apalagi dengan bentuk rambut yang disanggul keatas serta dihiasi mahkota besar diatas kepalanya, sehingga menampakkan leher jenjangnya yang begitu eksotis. Benar-benar Seperti Ratu! Ratu Elizabeth.

"Ini berlebihan. Ah, mak...maksud ku..." Bibirnya terkunci karena jari telunjuk Pria disampingnya itu tiba-tiba saja hinggap. Mata coklat itu kembali berpendar menatap teduh mata tajam Pria disampingnya yang begitu mematikan. Pancaran itu memberi isyarat.

"Tidak ada yang berlebihan. Kata berlebihan itu patut ku sanjungkan untuk mu. Karena kau ratu ku saat ini, Tidak. Bukan hanya saat ini, tetapi sampai usia yang akan memakan ku." Bisiknya pelan tepat pada daun telinga perempuan itu, perempuan yang saat ini resmi menjadi istrinya. Hanya dia yang memiliki tak ada yang lain.

Kejadian itu kembali menghayutkannya. kejadian dimana, Ia merasa benar-benar gagal menjadi perempuan yang berhati lembut seperti sebelum-sebelumnya. Ia sangat menyesali dengan semua yang telah Ia lakukan, benar-benar menyesali karena pada akhirnya, sesuatu yang Ia benci itulah justru membawa kebaikan untuknya.....bahkan menjadi hal terindah seperti saat ini.

Menatap mata tajam itu, mata tajam menyimpan keteduhan. Menatap mata yang sama.....

-------------

Lampu telah menyala, kenapa Rio belum juga kembali? Dan sekarang Ia sendirian, karena beberapa menit lalu Cakka dan Agni telah membawa Clara pulang.

Ify merasa haus, lalu mencoba mengambil segelas air putih dimeja. 'Prangg'.

Ify membeku, menatap segelas Air yang tadi diraihnya tiba-tiba saja jatuh kelantai dan sekarang pecah. Nafasnya tercekat, seakan-akan gelamir paru-parunya tidak bekerja sebagaimana mestinya, darahnya berdesir hebat. Ia merasakan kepalanya tiba-tiba saja pusing, perasaan tak nyaman hinggap tiba-tiba pada dirinya.

"Ap..apa yang sebenarnya terjadi? Rio."

Tiba-tiba Ia mendengar suara teriakan dari lorong tetap didepan ruangannya, dibalik kaca ruangannya Ify melihat seorang Pria bersetelan jas kerja lengkap yang tengah membopong seseorang entah itu laki-laki atau perempuan yang pasti orang dewasa. Kaca ruangan itu begitu kabur jika dilihat melalui dalam, karena penasaran Ify pun beranjak untuk melihat siapa Pria itu.

Dorongan-dorongan kecil memaksanya untuk melihat keadaan diluar yang nampak tegang seketika. Orang-orang juga ikut berhambur melihat siapa Pria yang tengah berteriak memanggil Dokter disepanjang lorong Rumah Sakit ini. Ify teringat akan pesan Rio, agar menunggunya dan jangan kemana-mana. Ify ragu untuk membuka pintu, tetapi Ia hanya ingin sekedar bertanya pada salah satu orang yang lewat.

Akhirnya Ia pun membuka pintu lantas bertanya pada seorang perempuan paruh baya yang tengah lewat didepannya.

"Jika boleh tahu, Siapa pria tadi? Kenapa harus berteriak seperti itu memanggil, Dokter?" Entah kenapa, Ify lagi-lagi merasakan hal yang tidak enak. Dan membuat perasaannya kacau tanpa sebab, Perempuan setengah baya itu menjawab dengan panik.

"Tadi ada korban penembakan. Siapa Pria itu saya juga tidak tahu, yang jelas terdengar hanya, Pria itu berteriak nama Rio. Kejadiannya baru saja ditaman belakang Rumah Sakit ini. Permisi Nona." Deg'. Ify mematung, tubuhnya membeku. Nafasnya kembali memburu, darahnya berdesir hebat. Wajahnya memucat seketika, pleura paru-parunya seakan-akan menciut.

Semua pikirannya kacau, Ia lantas melepas paksa Infusan pada tangannya kemudian menghempaskan botol Infus yang sejak tadi dipegang oleh tangan kanannya. Ia berlari menuju kemana Pria yang berteriak itu pergi, dibenaknya bahwa itu Zariel dan.....Rio.

Ify terus berlari, hingga akhirnya Ia terpaku pada satu objek. Matanya memerah menahan setitik embun yang tiba-tiba akan menyelinap keluar dari bendungannya.

"Dokter ! Ku mohon, lakukan apa saja." Dokter nampak bergeming memperhatikan Pria didepannya ini yang nampak begitu kacau. "Tembakan itu tepat mengenai hatinya, dan kami akan berusaha semampu yang kami bisa." Jawab Dokter kemudian berlalu.

Pria itu nampak frustasi, tatapan matanya sayu dan kosong. Ia melangkah gontai kearah kaca besar tepat dimana para tim medis tengah melakukan tugasnya, hatinya terasa sakit dan perih. Bodoh! Kenapa semuanya harus seperti ini!

Hatinya terus meracau tidak percaya apa yang saat ini terjadi, tangannya kemudian terkepal kuat memperlihatkan buku-buku jarinya. Shilla? Perempuan itu. Rahangnya mengetat begitu keras. Ia harus menemui perempuan itu.

Dikala Ia telah sadar akan perbuatan Gila dan bodohnya kenapa masalah serumit ini muncul untuk membuatnya tergiur. Tidak. Hentikan. Pikiran apa ini! Zariel telah sadar, Ia merelakan semuanya. Ia pun membalikkan badan untuk mencari Perempuan itu. 'Glek. Ia tersentak saat mendapati seorang Perempuan yang tengah menahan tangisnya kini menatap Zariel dengan marah, menyala seperti akan menghanguskan Zariel saat itu juga.

"If....Ify..ka..kau..."

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Sudah. Sudah cukup. Ia tidak bisa lagi menahan bendungan itu, Air matanya menetes satu-persatu. Zariel hanya diam. Ya Tuhan, air mata itu. Ingin sekali saat ini Ia menghapus air mata itu untuk sekedar berhenti sesaat, kemudian memeluk tubuh mungil didepannya ini begitu erat memberi ketenangan. Hatinya memberontak hebat untuk melakukan itu, namun akalnya menang saat ini. Tidak! Ia tidak akan melakukan itu. Tidak akan.

"Jawab pertanyaan ku, Zariel. Apa yang sebenarnya terjadi! Katakan!" Lagi-lagi Zariel hanya diam, sulit baginya untuk menjelaskan sekarang. Pikirannya kacau dan berantakan, belum lagi Ia saat ini tengah menahan emosi yang ingin meledak-ledak.

"Kau membunuh, Rio! Kenapa kau melakukan ini? Kau membunuhnya lalu berpura-pura menolongnya seperti ini, agar aku mempercayai mu, bukan? Cara mu licik! Kau seharusnya yang mati, kau harus mati, ZARIEL!!" Plakk.Plakk. Zariel menutup matanya, Tamparan itu begitu keras dan luka. Zariel merasakan bagaimana perasaan perempuan itu saat ini. "Kau! Kau Pria Brengsek! Aku membenci mu! Kau yang seharusnya mati! Kau Zariel !" Mati? Perempuan itu menginginkannya Mati? Tangan Zariel kembali terkepal, menahan emosi serta perasaan kacaunya saat ini. Dia tidak menyangka, pikiran perempuan itu menuduhnya selicik itu. Ia mengakui, bahwa Ia memang licik. Tetapi ini? Hentikan. Sudah cukup.

Ia lantas membuka matanya, sedikit membuka mulutnya lalu memegang kedua pipinya yang saat ini begitu perih. Perempuan itu? Ify. Kemana dia? Zariel tertegun saat mendengar suara teriakan-teriakan dari dalam Ruangan. Jangan-jangan Ify....Zariel lalu masuk kedalam ruangan tersebut dan menemukan Ify yang tengah memeluk Rio yang saat itu terbungkus jubah hijau serta kain hijau yang menutupi dibagian kepalanya.

"Rio! Bangun, Rio. Apa yang kau lakukan saat ini! Berhentilah untuk bercanda! Lelucon mu tidak mempan untuk ku. Rio! Bangunlah!" Nampak para tim medis tengah memaksa Ify untuk keluar, Zariel mematung ditempat. Ify? Sangat begitu mencintai Rio. Sudah cukup, sudah cukup untuk kesekian kalinya Ia melihat bagaimana perasaan yang tertuang dari Ify kepada Rio.

Ya tuhan, Zariel. Kenapa masih saja berpikiran seperti ini? Pandangannya tak lepas dari sosok mungil itu yang kini mempertahankan diri memeluk adiknya, -Argario Tersaa-.

"Aku membenci mu, Rio! Aku membenci mu. Ayo bangun, kau tidak ingin melangsungkan pernikahan kita? Aku menuntut janji mu, Bangunlah." Tangisan itu semakin memilukan, Zariel tertunduk, merasakan dadanya begitu sesak melihat kejadian ini. Tiba-tiba seorang dokter menepuk bahunya.

Zariel menoleh. "Keluarga pasien?" Zariel mengangguk, matanya memerah menahan seluruh perasaan saat ini yang sangat bercampur baur. "Kita harus mencari pendonor hati untuk Pasien, karena hatinya saat ini benar-benar tidak akan berfungsi sekitar 2 jam lagi. Peluru itu menembus Hatinya, Dan sekarang? Kami benar-benar kosong Stok tersebut, mungkin tuan bisa mencari di Rumah sakit lain. Waktu tuan sekitar 1 jam. Sebab, 1 jam terakhir lagi untuk proses selanjutnya." Apa? Hati? Dalam waktu 1 jam. Zariel menatap Dokter kemudian meneguk ludahnya.

"Saya akan mendonorkannya untuk Adik saya, Dok. Saya yang akan mendonorkannya." Ucapnya dengan nada ketegasan disana, alis dokter bertaut, nampak bergeming. "Kami tidak akan bisa mengambil Hati anda begitu saja, manusia hanya memiliki 1 hati dan tidak mungkin Tuan hidup tanpa hati. Apalagi, jika itu terjadi sama saja kami melanggar prosedur sebagai Dokter, Permisi." Dokter tersenyum lantas pergi meninggalkan ruangan tersebut. Zariel bingung dan pikirannya kini bertambah kacau, Ia meremas dan mengepal kembali jari-jarinya.

"Belum puaskah kau menyakiti ku? Belum sepuas itu-kah, Rio? Jika ku tahu kau akan pergi, aku mengutuk pertemuan kita. Aku membenci mu, aku membenci mu!" Racauan kembali terdengar dari bibir mungil Perempuan itu, membuat Zariel tertekan. Ia melangkah pelan, kearah suster yang tak jauh dari Ia berdiri dan membisikkan sesuatu. Suster itu mengangguk, lantas mengambil sebuah suntikan lalu melangkah pelan kearah Ify. Terlihat 2 suster yang sejak tadi menjaga Ify kini menahan lengannya, suster itu pun dengan telaten menyuntikkan obat penenang pada Ify. Ify memberontak, benar-benar kacau. Tapi selang beberapa menit kemudian suntikan itu bekerja, Ify terlihat lemas dan akhirnya pingsan.

Zariel menggendongnya, membawa Perempuan itu ke ruangannya semula. Ia tidak bisa melihat Ify sekacau tadi, benar-benar tidak bisa.

"Maafkan aku, Ify. aku berjanji, aku berjanji ini terakhir kalinya aku melakukan hal jahat dan menyakiti mu......setelah ini? Tidak akan ada Zariel yang selalu ingin merusak hubungan mu, tidak akan ada lagi Zariel yang terus mengharapkan mu, tidak akan ada lagi Zariel yang selalu memaksa mu bahkan menyakiti mu." Ia membaringkan Ify pada Bed Perempuan itu, Ia baru sadar bahwa selang Infus yang berada ditangan kiri Ify sudah tak ada lagi.

Ia duduk, lalu menggenggam jemari mungil itu. Jemari yang dulu selalu menenangkannya, dan saat ini? Untuk yang terakhir kalinya Ia menggenggam jemari itu. Ia mengecup punggung tangan Ify begitu lama, sampai akhirnya tak terasa Ia menumpahkan pilunya disana, Air matanya mengalir dan jatuh berulang kali pada punggung tangan perempuan itu.

"Kau tahu? Aku begitu mencintai mu."

"Aku pernah mengatakan suatu hal padamu. Hal yang ternyata ku ingkari sendiri. Ini terakhir Ify, aku pasti akan merindukan mu. Aku pasti sangat merindukan mu disana, aku hanya bisa melihat mu dari dimensi yang berbeda dan itu pun belum tentu bisa ku raih." Kembali matanya terpejam, sehingga menimbulkan rentetan-rentetan air matanya yang kembali muncul.

"Aku pasti sangat merindukan mu." Gumamnya kembali, seakan-akan tidak rela untuk berpisah lebih jauh dari perempuan mungil yang kini terbaring tanpa kesadarannya.

"Jika kau mendengar suara ku saat ini? Ku mohon Ify, jangan sia-siakan atau bahkan menolak apa yang telah ku korbankan saat ini untuk kebahagiaan mu dan juga untuk adik ku, Rio." Ya Tuhan. Bisakah waktu ini berhenti sebentar saja, Ia ingin menatap lebih lama lagi perempuan yang terbaring didepannya saat ini.

"Maafkan aku." Bertepatan dengan itu Ia mengecup singkat kening Ify lantas pergi dan berlalu. Ia sudah tidak bisa berlama-lama untuk menatap wajah itu, sudah cukup. Dengan keberanian, dengan kepastian dan dengan seluruh genap jiwanya, Ia benar-benar merelakan semuanya....semuanya.

Zariel masuk begitu saja kedalam ruangan Dokter, dan sepertinya Dokter itu nampak biasa saja bahkan tersenyum serta mempersilahkannya untuk duduk. "Jadi, apakah anda telah menemukan pendonor Hatinya?" Zariel mengangguk mantap

"Baik, kita akan segera melakukannya. Karena jika membuang waktu lebih lama hanya akan membuat resiko lebih fatal."

"Tunggu, Dok." Zariel nampak menelan ludahnya. "Saya-lah yang akan tetap mendonorkan Hati itu. Dokter mengatakan, bahwa saya tidak akan bisa mendonorkan hati itu jika saya masih hidup, bukan? Dan jika masih tetap memaksa maka sama saja Anda sebagai Dokter melanggar prosedur yang ada. Dan saat ini, Dokter bisa melakukannya." Sebilah pisau tajam, entah darimana kini tengah terangkat dan Zariel menempelkan ujung runcingnya tepat dibagian kanan kepalanya. Dokter membelalakkan matanya tak percaya.

"Apa? Apa yang Tuan laku...." 'Clup. Nampak darah segar kini dari bagian kepalanya yang begitu saja tepat mengenai wajah sang Dokter. Dokter syok ditempat, melihat adegan nyata bunuh diri demi menolong seorang nyawa dan membiarkan nyawanya sendiri melayang. Dokter tak bisa lagi berbuat apa-apa. Ia berlari dan menahan Tubuh Zariel yang saat itu akan rubuh, tetapi masih sedikit sadar.

"Dok..dokter...aku...mohon...jangan...memberitahukan...ini...ke..siapapun...cukup...dokter...yang..mengetahuinya..." Darah kemudian mengalir dari mulut Zariel, nafasnya tersengal-sengal menandakan sebentar lagi. Waktunya sebentar lagi.

"....karena...setelah...ini...tidak...akan...ada...lagi...cerita...tentang...ku...seorang...Zariel...L...tu..no..."

"Berjanji...padaku..Dok..."

"Bahwa...kau...harus..menyelamatkan..adikku..." Mata Zariel tak lagi menatap Dokter, Ia mengalihkan pandangannya lurus ke atas menatap langit-langit seakan-akan ada yang memanggilnya, Ia tersenyum.

"Aku....aku...mencintai...mu...Alyssa...sangat...mencintaimu...Jaga...Ify...Rio...ber...bahagialah.."Bertepatan dengan itu nafasnya tak lagi terdengar, tubuhnya yang sejak tadi menegang dan ditahan oleh Dokter kini seakan-akan menciut serta tak ada lagi kehidupan. Tanpa terasa, seorang dokter? Seorang Dokter menangis melihat pengorbanan ini, pengorbanan seorang kakak untuk kehidupan dan kebahagiaan adiknya yang saat ini tengah kritis.

Membiarkan nyawanya sendiri melayang, untuk memberi kehidupan kepada Sang adiknya. Tidak ada, tidak ada bahkan jarang menemukan Pengorbanan seperti ini. Lama Dokter itu menangis tengah memangku sosok yang tak lagi bernyawa. "Aku akan berusaha, pengorbanan mu akan ku yakinkan tidak berakhir sia-sia."


"Semoga kau tenang." Dokter menganngkat tangannya kemudian menyapukan telapak tangannya untuk menutup mata Zariel. Dan saat itu, para Tim Medis pun bergerak cepat melakukan tugasnya.

------------

Tiupan lembut menyapu sekitar daun telinganya, Ia terkesiap dan kembali sadar dari lamunannya. Tiba-tiba pinggangnya terjaga oleh lengan dan melingkar disana, tubuh mungilnya merapat pada Pria disampingnya. Ini isyarat, bahwa yang Pria itu lakukan benar-benar sebuah kepemilikan.

Pria itu menggiringnya menuju taman belakang Gedung Pesta, memang tidak sopan telah meninggalkan pesta sendiri. Tetapi, Itu Ia lakukan untuk menenangkan hati dan perasaan Istrinya saat ini. Ia tidak ingin terjadi sesuatu pada istrinya -Alyssa Gissel Lavendo-

Mereka duduk pada sebuah Paviliun kecil disana saling berhadapan. 2 pasang mata itu kembali berpendar, saling membaca pikiran dari lawannya.
"Kenapa kau membawa ku kesini? Tamu-tamu pasti mencari mu?"Tanya Ify

"Apa yang saat ini mengganggu mu? Bukankah kau harusnya senang?" Pria itu tidak memperdulikan pertanyaan dari Ify, pikiran begitu terusik karena saat ini Istrinya disepanjang waktu pesta hanya melamun dan sesekali tersenyum jika tengah bersalaman dengan para tamu undangan yang datang.

Pipinya digenggam lembut, Ia merasakan ada sesuatu yang membuatnya nyaman Saat ini setelah tadi melamun dan mengingat kejadian beberapa minggu lalu. Kejadian memilukan serta haru yang mendalam, dan pada kenyataannya saat ini. Zariel? Zariel sudah tidak ada, sudah pergi dengan mengubur semuanya.

"Kau memikirkan, Zariel?" Tanya Pria itu kembali seakan-akan mampu bertelepati, belum lagi Ify yang tak merespon pertanyaan pertamanya.

'Tes. 'Tes. Tanpa terasa embun itu kembali menetes tanpa diperintah olehnya, mungkin telah begitu lama terpendam disana. Ya Tuhan, kenapa Ia menangis seperti ini? Pria dihadapannya itu hanya terpaku melihat Istrinya yang saat ini menangis.

Ia mencondongkan kepalanya lantas mengecup pelan air mata perempuan itu yang terus turun.

"Aku disini aku disisi mu." Ucapnya menenangkan. "Zariel...Ak..aku..aku sangat begitu bersalah padanya, Rio." -Argario Tersaa- Pria disampingnya yang kini telah menjadi suaminya, Yah itu terjadi! Karena pengorbanan dari Zariel. Pendonoran itu ternyata benar-benar berhasil walau harus ada kata mengalah diantara keduanya, semua itu demi! Demi seorang -Ify-.

Ify akhirnya berhenti menangis walau masih meninggalkan sesegukan, Rio mendekapnya dan memberi kenyamanan juga kehangatan. Pria itu tahu persis bagaimana perasaan Ify saat ini, Perempuan itu begitu terpukul akan rasa bersalahnya. "Apakah kau merasa tenang saat ini?" Suara Rio begitu nyaman ditelinga Ify membuat hatinya sangat tenang. Ify masih berdiam, menenggelamkan tubuh mungilnya didalam dekapan itu, dekapan seorang -Argario Tersaa- Suaminya.

"Aku tahu kau masih belum menerima kenyataan ini, aku mengerti perasaan mu." Rio menghela nafasnya, kemudian mengecup pelan puncak kepala Ify begitu lama. "Tetapi, yang harus kau tahu. Zariel melakukan ini karena dia sayang dengan mu, dia ingin kau bahagia melalui diri ku." Ify mendongak tatapan itu kembali berpendar.

Ify tersentak saat melihat Rio tiba-tiba menitikkan air matanya dan sempat jatuh pada pipi perempuan itu,dengan refleks Rio menghapusnya. "Kau menangis?" Tanya Ify bingung, Ia duduk seperti posisi semula menatap Rio dalam.

Rio menggeleng. "Aku tidak mungkin menangis." Tiba-tiba Ia beranjak, melangkah pelan diujung pojok paviliun tersebut, sambil memperhatikan ikan-ikan koi yang tengah berenang disebuah kolam mini tepat disamping Paviliun tersebut.

Dari ujung yang berbeda, Ify memperhatikan punggung tegap itu berdiri membelakanginya. Ify tahu, Rio sebenarnya lebih merasa kehilangan. Apalagi saat ini, bagian organ tubuh Zariel hidup dalam tubuhnya,memberi kehidupan.

Tidak hanya sebatas itu, Zariel yang selalu menjadi musuhnya, kakaknya sendiri mengorbankan semuanya untuk Rio. Jika lebih diperdalam, Rio benar-benar seorang Adik yang tidak tahu diuntung. Egois dan selalu memikirkan dirinya sendiri, Rio selalu membuat kesalahan pada Zariel dikala dulu. Tapi sekarang? Zariel justru memberikannya suatu hal saat ini. Sebuah kebahagiaan yang tidak bisa terhitung nominalnya. Zariel.....kau sungguh kakak yang terbaik, bahkan diatas yang terbaik.

"Aku begitu bersalah, dan seharusnya aku yang merasa bersalah bukan kau." Rio tersenyum getir, kedua tangannya Ia masukkan kedalam saku celana katunnya, membuat Pria tampan itu lebih elegant walaupun saat ini Ia tengah dilanda kesedihan, kesedihan yang bercampur dengan rasa bersalah.

"Tapi aku? Aku dengan tanpa berdosanya menikmati semua kebahagiaan ini. Berpura-pura lupa dengan rasa bersalah ku pada Zariel, aku memang saudara Brengsek, Ify."

Apa yang kau lakukan Ify? Tidak seharusnya suasana seperti ini kembali terjadi, kalian telah bahagia, dan Zariel menginginkan itu bukan kembali mencabut masa lalu itu untuk dinikmati. Berhentilah. Dan cukup. Kau hanya membuat Rio kembali bersalah! Hati Ify terus berseru seakan-akan Ify melakukan kesalahan pada Rio.

Ify berdiri, melangkah pelan menuju Rio yang masih membelakanginya. Menyelinapkan kedua tangannya melingkari pinggang Rio. Ify tersenyum lantas memposisikan kepalanya pada punggung Rio yang kokoh. "Kau hal terindah yang pernah ku miliki." Rio terpaku saat merasakan lengan mungil itu memeluknya dari belakang, justru setelah itu Ia tersenyum dan mulai menghilangkan suasana tegang saat ini.

"Kau mulai memberi kode." Balas Rio, lantas melapaskan pelukan itu perlahan, kemudian memposisikan Ify tepat dihadapannya. "Ini posisi yang tepat, Sayang. Bukan seperti tadi." Kembali Ia menghadiahkan kecupan singkat pada puncak kepala Ify.

"Walaupun saat ini, Hati Zariel-lah yang berada didalam tubuh ku, itu tidak akan bisa merubah cintaku pada mu. Semua masih sama dan cenderung melebihi dari sebelumnya." Jari telunjuk Rio menghela dagu Ify, agar menatap sepasang mata tajam miliknya.

"Mungkin kau merasakan suatu hal yang beda, tapi ingatlah. Ingatlah sebagaimana Argario mencintai mu. Mencintaimu dengan caranya sendiri, bukan sosok Zariel. Aku berani bertaruh, kau merasakannya, Alyssa." Tatapan itu membuat Ify terhanyut, darahnya berdesir hebat, gelamir paru-parunya seakan-akan tidak bekerja, nafasnya tiba-tiba tercekat belum lagi dentuman-dentuman jantung keduanya saat ini benar-benar terdengar.

Ify mencoba menutup kedua bola matanya, Rio terus mencondongkan wajahnya agar lebih mendekat. Meraih apa yang sejak tadi begitu mengusik pikiran gilanya saat ini.

"Ayolah, ini pesta kalian. Jangan melakukan itu disini." Rio dan Ify terkesiap lantas menjauhkan diri masing-masing. Nampak Alvin yang menggandeng Sivia, kemudian Cakka dan Agni juga Clara yang tengah digendong oleh Cakka.

"Rio terlalu bernafsu, Vin." Tambah Cakka. "Dan Ify yang polos? Mau mau saja ternyata." Kini Sivia ikut menambahkan membuat semburat rona merah menghiasi wajah Ify saat ini, Ia tidak tahu bagaimana malunya Ia saat ini.

Begitu refleks, Rio justru menarik Ify agar mendekat kearahnya, melingkarkan lengan kokohnya pada pinggang Istrinya. "Angkat kepalamu, kita tunjukkan kepada pasangan heboh itu kalau kau Nyonya Tersaa." Rio berbisik pelan memberi kode. Ify mendengus. "Kau pikir aku mau? Tentu saja tidak." Rio tercengang akan respon Ify, Perempuan itu justru melepaskan lengan Rio dari pinggangnya lantas melangkah menuju Cakka. Ternyata perempuan itu ingin menggendong Clara.

"Ternyata Rio tidak lagi laku, jika Ify telah melihat Clara. Kau harus berhati-hati Rio, jika anak mu telah lahir. Kau mungkin akan ditendang dari kamar." Mereka disana langsung tergelak saat mendengar celetohan dari Alvin, Rio hanya mendengus tapi akhirnya ikut melangkah mendekati Ify yang saat ini asyik dengan Clara.

"Hay, malaikat kecil ku. Kau selalu saja mengalihkan fokus Bubu mu dariku. Bisakah kau pergi sebentar dari kami?" Ucap Rio frustasi. "Bisakah mulut mu kau tutup sebentar." Sinis Ify kemudian kembali membelakangi Rio.

"Kami mungkin akan kembali ke Amerika lusa nanti." Tiba-tiba Agni bersuara. "Lalu, Papa dan Mama akan ikut?" Tanya Ify, dia telah mengetahui bahwa Agni saudaranya dan juga siapa Orang Tuanya yang sebenarnya dan itu semua karena Rio.

"Sepertinya mereka ikut, karena Cakka tidak bisa menemani ku. Dia harus menghandle semua pekerjaan Papa, kau tahu bukan? Papa sekarang lebih sering terserang penyakit." Jawab Agni, Ify hanya mengangguk. "Lalu pernikahan kalian?" Kini berganti Sivia yang bertanya.

"Akhir tahun ini, do'akan saja yang terbaik. Aku masih berusaha mengumpulkan uang, apalagi aku baru saja bekerja diperusahaan Papa Agni dan Ify." Yah, Cakka dan Agni saat itu memutuskan menjalin hubungan, mereka sadar akan perasaan masing-masing apalagi, Agni merasa kehilangan jika Cakka tak berada disisinya begitupun sebaliknya, belum lagi Clara yang menyukai Ayahnya sendiri. Sejak saat itulah keduanya mengakui perasaan masing-masing kemudian menerima keadaan masing-masing sehingga hubungan itu terjalin seperti saat ini.

"Rio.." Tiba-tiba Ify memanggilnya, Rio hanya mengangkat satu alisnya. "Bisakah bulan madu kita ditunda dulu? Aku ingin menemani Clara." Mata Rio seketika melotot kemudian menggeleng tegas. "Tidak! Tidak akan, lagipula Clara sudah ada yang menemani. Kau ini..." Rio menjadi gemas sendiri meihat tingkah Ify.

"Tapi...."

"Tidak ada tapi-tapian. Kita tetap berangkat bulan madu." Rio melangkah dan berlalu kembali menuju dalam gedung pesta tersebut, Ify cemberut. "Dasar Rio, terlalu egois." Gumamnya kesal.

"Sudahlah, Ify. Kau seperti tidak tahu Rio saja lagipula aku ditemani Papa dan Mama. Ayo kita kembali ke Pesta." Balas Agni seraya tersenyum dibalik kursi rodanya, Akhirnya mereka semua pun kembali menuju pesta.


**********

Ify dan Rio melangkah bersamaan menuju sebuah Area pemakaman. Saat ini mereka tengah berziarah ke makam Zariel, memanjatkan doa juga berbagai macam ribuan terima kasih atas apa yang telah Zariel lakukan pada kebahagian mereka.

Setelah menemukan batur nisan dengan nama yang 'Zariel Ltuno', mereka berdua pun meletakkan karangan bunga diatas makam tersebut. Rio masih berdiri, tidak dengan Ify yang telah berjongkok serta membelai pelan batur nisan tersebut. Ia memperbaiki kacamata hitamnya, "kau senang disana?" Ucap Ify seraya tersenyum getir.

"Ku harap kau berada ditempat yang terbaik, kau lihat? Saat ini aku benar-benar bahagia dan itu semua berkat pengorbanan mu." Rio hanya memperhatikan Ify, lantas tersenyum.

"Jika saja saat itu Shilla tidak memberitahu ku, aku tidak akan tahu bahwa kau yang mendonorkan Hati mu untuk Rio. Shilla memberitahu ku semuanya, dia melihat semua apa yang terjadi saat itu. Bahkan saat kau bunuh diri didepan dokter." Tampak Ify sebentar lagi akan hanyut dalam suasana rasa bersalahnya, Rio turun ikut berjongkok menghapus pelan punggung Ify memberi ketenangan. Ify menoleh dan Rio tersenyum.

"Zariel tidak akan suka jika kau kembali mengingat kejadian itu, aku yakin dia lebih merasa nyaman jika kau tersenyum saat ini." Ify membalas senyuman Rio, sekarang Rio menatap gundukan tanah itu begitu intens

"Apakau kau menemukan bidadari disana? Aku harap iya, karena aku tidak akan membiarkan mu merebut Ify dari ku. Walaupun sekarang, kau telah mengorbankan semuanya untuk ku." Rio mencoba menghibur dirinya, kemudian menghembuskan nafasnya kasar. "Aku kira aku yang akan mati, saat tidak sengaja melihat mu tengah menunggu siapa ditaman saat itu, aku menjadi penasaran lalu bersembunyi dibalik semak-semak lumayan dekat dengan jarak mu berdiri. Tetapi aku terkejut saat mendapati Shilla disana, mengarahkan sebuah pistol kearah mu. Yah....aku mendengar semuanya."

"Aku berusaha menyelamatkan mu, tetapi justru aku yang tertembak. Aku berpikir tidak ada lagi kesempatan ku untuk hidup, maka dari itulah aku meminta mu untuk menggantikan posisi ku menjaga Ify." Rio menoleh kearah Ify, mata coklat terang itu menatapnya penuh harap. Ify melingkarkan tangannya memeluk lengan Rio, kemudian mengecupnya.

Rio tersenyum, kembali menatap makam itu. "Tapi justru kau yang menyelamatkan ku, kau terbaik Zariel. Maafkan semua yang terjadi selama ini mengenai hubungan kita sebagai saudara. Tetapi dibalik itu semua, aku menyayangi mu. Menyayangimu sebagai kakak ku."

"...kami pamit, aku dan Ify selalu merindukan mu." Setelah menatap lama makam itu, mereka berdua pun beranjak lantas meninggalkan pemakaman tersebut. Berusaha mengawali semuanya dari awal, sudah cukup masalah serumit itu menuju pada puncak kebahagiaan yang selalu ditunggu-tunggu.

Dan kini? Saatnya-lah menggapai semuanya. Semua kebahagiaan itu harus terbayar saat ini, walaupun pada akhirnya masalah rumit bahkan lebih rumit dari yang sebelumnya akan kembali datang menerpa, tanpa memandang bulu.


*******

5 Tahun kemudian.....

"Bisakah kau menggunakan dasi mu sendiri, Rio." Wanita cantik itu tengah cemberut saat memasangkan dasi suaminya sendiri. "Tidak bisa, aku ingin kau manja. Ada yang salah?" Balas suaminya cuek bahkan terkesan dingin. Mulut wanita itu mengerucut kembali saat mendengar balasan dari suaminya.

"MAMAAAAAAA." Teriakan dari meja makan membuat sepasang suami istri ini menghentikan kegiatan mereka, mereka saling menatap.

"Kau dengar? Putri mu tengah memanggil ku, berdiamlah Rio." Semakin lama Ia semakin jengkel dengan tingkah Rio yang selalu bergerak saat Ia tengah memasangkan dasi suaminya itu.

"Biarkan saja dia, putri ku terlalu manja saja. Dia pikir cuma dia yang selalu kau urusi. kau dengar? Semenjak dia bayi waktu mu hanya padanya, dan aku? Selalu mendapatkan mu tertidur kelelahan karena sibuk mengurusnya." Tanpa Ify ketahui, Tangan Rio bergerak melepas tali gaun yang saat ini dikenakan oleh wanita itu, Rio sebenarnya hanya ingin menjahili istrinya, tetapi ternyata keterusan.

"Apa yang kau lakukan pada gaun tidur ku." Ahh, ternyata Ify sadar akan perbuatan Rio. Ify menepuk dada Rio kemudian mundur lalu bersedekap.

"Ini masih pagi, dan kau perlu bekerja sekarang. Lekaslah ke meja makan, Putri mu menunggu." Rio mendesah kasar, gagal sudah rencananya menjahili istrinya itu. Dengan langkah gontai Ia menuju pintu.

"Fy..." Panggi Rio diambang pintu, Ify tidak menoleh hanya berdehem karena asyik mencari baju santainya di dalam lemari.

"Sedikit saja." Sambung Rio, Ify mengkerutkan keningnya. "Maksud mu?" Ify benar-benar bingung dengan sikap Rio yang kekanak-kanakan sekarang. "Kiss morning misalnya." Sempurnalah Rio memperhatikan Ify yang masih memilih-milih baju.

"Tidak, cepatlah ke meja makan. Putri mu menunggu, Rio." Akhirnya karena kesal Ify menghadap persis kearah Rio. Nampak Rio terkejut awalnya kemudian tersenyum nakal.

"WAWWW, Sempurna sekali sayang." Rio bersiul-siul tidak jelas, sambil memperhatikan Ify secara detail. Ify bingung lalu ikut memperhatikan keadaan pakaiannya. Oh, Shitt, Damn. Refleks Ify mengunci kembali gaun tidurnya, lalu melempari Rio dengan bantal. Bagaimana bisa Ia melupakan keadaan pakaiannya.

"Sepertinya itu sudah cukup untuk ku sebagai sarapan." Rio tergelak tawa kemudian berlalu dibalik pintu, dasar Rio! Wajah Ify benar-benar merah karena malu.

"Awas kau Rio." Gumamnya geram penuh kesal.

*******

Ify turun dari anak tangga, kemudian melihat Putrinya tengah dipangku oleh Rio disebuah Sofa ruang keluarga, Kemudian Ia mengkerutkan keningnya.

"Kenapa mereka berdua tidak berangkat?" Gumam Ify, Ia mempercepat langkahnya menuju kearah Putrinya dan Rio.

"Kenapa masih disini? Belum berangkat?" Ify ikut duduk disebelah Rio memperhatikan Putrinya tengah menggambar dipangkuan Rio.

"Ssttt jangan berisik, sepertinya dia menuruni bakat melukis ku. Masih ada waktu 30 menit lagi." Rio bergumam nyaris berbisik ditelinga Ify, Ify tersenyum lalu ikut melihat lukisan dari Putrinya. Ternyata benar, Putrinya -Yunissya Terssa- memiliki bakat melukis seperti Rio.

Tapi anehnya, kenapa yang digambar Nissya justru sketsa wajah seseorang? Seseorang laki-laki?

Ify berdehem. "Nissya, kau sedang melukis wajah siapa? Apakah dia teman mu?" Nissya menghentikan kegiatannya kemudian menatap Ify.

"Bukan Mama, dia Pacar Nissya." Jawab Putrinya begitu polos, seketika Ify dan Rio saling menatap. Pacar? Anak sekecil ini baru saja berumur 4 tahun mengetahu kata semacam itu? dia baru saja masuk sekolah Taman Kanak-kanak. merasa penasaaran Ify kembali bertanya.

"jika boleh Mama tahu, siapa namanya sayang?" Ify tersenyum geli mendengar Putri kecilnya ini mempunyai pacar.

"Zariel, Ma. dia itu teman ku disekolah, dia selalu baik sama Nissya." senyum Ify seketika memudar, Rio menatap ify syok. apa yang dikatakan oleh putrinya? Zariel?

"Apa yang dia katakan Fy?" tanya Rio yang masih menegang. "Ku rasa kau mendengar sendiri apa yang putri mu katakan." Ify tak kalah tegangnya menatap Rio.

"ZARIEL."
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Frisca Ardayani Book's - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger