Home » » Baby For Alyssa ( Part 15 )

Baby For Alyssa ( Part 15 )


Pria ini tersenyum geli sekaligus terlihat frustasi, matanya menatap langit-langit kamar yang kini entah mengapa menjadi objek yang paling menarik bagi kedua matanya, sepasang tangannya yang Ia lipat menjadi tumpuan sebagai pengganti bantal tidur kini beralih Ia lipat tepat didadanya.

Kejadian beberapa jam lalu membuatnya susah tidur saat ini, kejadian konyol serta menyenangkan. "Jadi begitu orang mengidam ?." Gumaman kecil itu begitu saja meluncur pada mulutnya tanpa permisi, lalu diselingi senyum khas yang merupakan salah satu resep bumbu ketampanan yang dimilikinya.

Ia lalu mengambil posisi duduk diranjang besarnya, setelahnya Ia beranjak menuju balkon kamar. Udara ditengah malam seperti ini menghempas tubuh tegapnya dengan kasar, tapi tak menghalangi sedikit pun langkah yang Ia tapakkan menuju pagar balkon. "Pertanyaan saat ini, bagaimana aku menjelaskannya pada Ify ? Apalagi jika dilihat hubungan ku benar-benar baru, seumur biji jagung pun belum. Mungkin hanya sebatas benih."

"Aku belum siap untuk kau jauhi Fy, sudah cukup aku merasakan yang lalu. Aku tahu, lambat laun kau menyadarinya." Begitu dingin, tapi bukanlah hawa malam juga angin yang tak henti meniup tubuh tegapnya kini tengah berdiri. Tetapi, dingin akan ketakutan yang tercipta dari dirinya. "Aku senang...."

"Aku senang, kau mulai mengeluarkan tanda-tanda aneh atas permintaan mu. Lucu." Ketakutan dan hawa dingin yang tercipta perlahan menghilang berganti dengan rasa Bahagia.

-----------


Suasana makan malam yang begitu romantis, tertutup, elegan, formal dan sangat Istimewa. Restorant berbintang yang telah dipesan oleh Rio untuk dikosongkan hanya untuk Dia dan Perempuan yang kini hanya menatap makanan didepannya dengan wajah frustasi. Rio tersenyum geli melihat perempuan didepannya ini yang kini menjadi perempuannya. "Kenapa hanya menatapnya ? Kau tidak ingin makan ? Atau.. Kau tidak suka makanannya ?." Rio bertanya sekedar menguji perempuan didepannya ini, Ia tahu kenapa perempuan itu hanya menatap makanannya.

Ify menatap Rio, lalu menggigit bibirnya takut. "Rio..,"

"Ya." Jawab Rio masih menahan tawanya, Ify terlihat mencondongkan wajahnya dan memberi Rio Isyarat untuk ikut mendekat dan mencondongkan wajahnya kewajah Ify. Awalnya Rio gembira sepertinya Ify ingin dicium pikirnya. Pemikiran gilanya tiba-tiba saja hancur saat tahu Ify malah memukul kepalanya. "Kenapa kau memukul kepala ku ?."

"Itu, bibir mu kenapa ikut mencondong ? Aku hanya perlu telinga mu." Tukas Ify. "Aku ingin membisikkan sesuatu, cepatlah." Sambung Ify, dengan kecewa dan mimik wajah seketika berubah masam. Rio menurutinya juga.

"Aku tidak mengerti bagaimana menggunakan, Pisau dan Garpu ini untuk memotong sepotong daging dipiring ku." Lama Rio mencerna kalimat Ify, lalu Ia tertawa geli dan tidak lagi bisa menahan rasa ingin ketawanya. "Rio ! Bisakah kau berhenti tertawa !." Rio seketika berhenti tertawa. "Ya Tuhan Sayang, kalau hanya itu yang ingin kau katakan. Kenapa tidak langsung berbicara seperti ini ?kenapa harus berbisik ? Kau lucu sekali." Ify menatap Rio sinis lalu membuang buka. "Aku sudah tidak lapar, aku ingin pulang saja." Balas Ify sengit.

Rio mengernyit lalu beranjak mengambil posisi disamping Ify, Ia meraih kedua tangan perempuan itu. "Kenapa sekarang kau sensitif sekali ? Aku hanya bercanda, akan ku ajari bagaimana menggunakannya. Ayo,"

"Tidak perlu."

"Kau marah ?"

"Tidak, aku tidak marah." Jawab Ify singkat lalu Ia menatap Rio dalam. "Lalu ?." Tanya Rio.

"Entah kenapa, aku ingin sate Ayam tetapi rasa Ikan. Aku ingin sekarang juga Rio." Rio terdiam ditempat. Sate ayam tapi rasa Ikan ? Lalu bagaimana bentuknya ? Sate semacam apa itu ? Kenapa permintaanIfyseaneh ini ? Apakah, apakah ini salah satu permintaan calon bayinya tanpa Ify ketahui ? Yang biasa disebut Mengidam ?

"Ify, jika kau ingin sate ayam rasanya memang ayam, tidak ada sate ayam rasanya ikan, jangankan ikan rasa sapi saja tidak ada sayang." Ujar Rio gemas.

Rio menelan ludahnya susah, lalu memanggil pengawalnya. Belum sempat para pengawal itu datang Ify bersuara lagi. "Aku tidak ingin kau menyuruh mereka, kau sendiri yang harus membelinya."

"APAAAAA ?!" Rio kaku ditempat karena syok, Hey ! Dimana harus mencari sate semacam itu ?. Tetapi, akhirnya dia pun menyetujui permintaan Ify dengan catatan Ify menunggu dirumah. Akhirnya, terlebih dahulu Ia mengantar Ify kerumahnya sebelum mencari pesanan Sate yang Ify maksud dan mustahil ada.

Permintaan aneh yang kali ini baru Rio dengar dari mulut Ify. Permintaan yang membuatnya harus memohon kepada warung khusus menjual berbagai macam aneka 'Sate'. Tapi tidak ada satu pun yang menjual 'Sate Ayam rasa Ikan', jika dipikir dengan logika memanglah tidak ada, karena melihat Rio yang frustasi pedagang sate itu pun memberi ide dengan memasukkan sate ayam yang mentah lalu merendamnya pada kaldu ayam, serta bumbu-bumbu lainnya pun harus berbau khas Ikan bukan lagi berbau Ayam.

Rio bernafas lega sekaligus bingung, bagaimana dengan rasanya. ? Anehkah ? Sedangkan pedagang itu bilang, ini pertama kalinya Ia membuat sate semacam itu. Ya sudahlah, terpenting Rio mendapatkan Sate Ayam dengan rasa atau yang lebih tepatnya berbau ikan.

Sesampainya Ia dirumah, tiba-tiba saja seorang pelayan menghampiri. Rio menatapnya bingung, "Ada apa ? Dimana Ify ?" Pelayan itu hanya mengangguk, alis Rio bertaut.

"Nona pulang kerumahnya Tuan, kami mencoba menguhubungi Tuan tetapi Ponsel Tuan ternyata tidak aktif. Nona Ify bersikeras ingin pulang sendiri, tetapi saya memberi saran untuk diantar menggunakan mobil saja. Akhirnya nona Ify mau, dan Nona Clara....." Pelayan nampak takut untuk mengatakannya. "Maaf, ponsel ku mati. Cepat, katakan saja kenapa lagi Clara ?"

"Nona Clara... Ikut bersama Nona Ify Tuan. Tiba-tiba saja dia bangun saat Nona Ify mengunjungi kamarnya, karena tidak tega meninggalkan Nona Clara. Akhirnya nona Ify juga membawa Nona Clara." Pelayan itu nampak tertunduk menahan ketakutannya, tapi sentuhan lembut dari jemari Rio mengenai pundaknya membuat kepala Pelayan itu mendongan.

Rio tersenyum. "Kau tidak perlu merasa bersalah, apapun yang telah kau lakukan saat ini telah baik. Kalau begitu aku akan menyusul Ify." Sang pelayan nampak bernafas lega, membalas senyuman Rio. "Terima kasih Tuan." Rio hanya mengangguk lalu kembali menuju mobilnya.

Pelayan itu menggelengkan kepalanya tidak percaya, benarkah baru saja tadi sosok seorang Tuannya ? Seorang Argario Tersaa ? Sosok yang selalu arogan, kasar dan semaunya tanpa berpikir panjang ? Benarkah tadi Tuannya Rio, yang saat ini detik ini menjadi sosok yang lembut dan perhatian ?. Sebuah kesimpulan lalu Ia dapatkan, Tuannya berubah, berubah lebih menjadi baik, sangat jauh lebih baik dari sebelumnya. Sosok yang dulu kini kembali muncul karena seorang Perempuan, Perempuan yang perlahan mengubah sedemikian rupa arogan Tuannya menjadi rupa yang lembut dan jauh lebih menawan.

"Kami mengharapkan perubahan ini sejak dulu, Terima kasih Nona Ify."

-------------

Rio tersenyum geli, saat setelah Ia datang kerumah Ify. Perempuan itu menolaknya untuk masuk atau menginap disana, apalagi pesanan sate yang Ia maksud tidak disentuh sama sekali.

Disinilah Rio, dikamarnya sendiri bukan lagi diruang tamu tepatnya sofa Ify yang biasanya Ia jadikan tempat tidur. Ia pun memutuskan untuk pulang dengan raut wajah kecewa, tapi bagaimana lagi apapun yang Ify minta Rio berusaha untuk mengabulkannya. Apapun itu...

"Mencintai dan Dicintai ? Lebih bahagia juga menyenangkan daripada hanya mencintai." Sebuah suara tiba-tiba saja membuat Rio terlonjak kaget lalu membalikkan badannya, melihat siapa yang kini tengah berada dikamarnya. Mata Rio menyipit. "Bagaimana kau bisa masuk Zariel ?"

"Kau lupa ? Rumah ini adalah rumah ku juga, bukan ?" -Zariel- bersedekap lalu membebankan tubuh tegapnya yang masih rapi dengan setelan kemeja pada tembok. "Jika pertanyaan mu mengarah bagaimana aku bisa masuk ke kamar mu ? Mungkin, karena kau begitu bahagia dengan cinta mu yang sekarang terbalaskan dengan orang yang berbeda, kau menjadi lupa mengunci pintu kamar mu. Bodoh !" Zariel tersenyum sinis menatap Rio tajam.

"Sudah berapa kali kau menidurinya, tanpa dia ketahui ? Dasar Brengsek !" Makian itu, membuat Rio menelan ludahnya susah. Ia tahu, Zariel akan semarah ini atau bahkan membunuhnya setelah ini.

"Apalagi Rio ? Apalagi yang ingin kau ambil dari ku ? Kekayaan ? Kekuasaan ? Kehancuran hidup ku dengan penjebakan Gila mu itu Dan sekarang.... Perempuan yang selama ini susah payah ku pertahankan untuk kembali lagi bersamanya. Apalagi setelah ini, belum sepuas itu kah, Rio ?" Iyel melangkah mendekat, tangan terkepal kuat matanya semakin menajam menatap Rio.

"Aku sudah banyak mengalah dengan semuanya, tapi kali ini ? Jangan pernah berharap aku kembali mengalah sebagai kakak mu. Aku dan kau bukan lagi saudara, tetapi lawan. Lawan yang akan memenangkan suatu piala, dan saat ini Piala itu terlalu berharga untuk ku biarkan, piala yang selama ini menghantui ku, piala yang lebih dulu dan seharusnya telah jadi milikku. Bukan untuk kau !" Rio membalas tatapan tajam Zariel.

"Jangan pernah memberikan hak pasti terhadap sesuatu yang belum menjadi hak milik mu. Biarkan dia memilih, biarkan dia memberikan haknya sendiri bukan atas pemilihan paksa mu. Aku tidak akan tinggal diam, jika ku tahu kau memaksanya apalagi.......Akan mencelakai calon bayi ku." Tiba-tiba Zariel mendorong bahu Rio dengan keras, membuat Tubuh tegap adiknya itu terhuyung.

Rio hanya tersenyum. "Aku menerima semua perlakuan kasar mu, karena ku tahu ini masalah Ify. Aku tahu kau sangat begitu mencintainya, dan aku saat ini ? Sama halnya seperti mu, mencintai orang yang sama. Bersainglah secara sehat Zariel, aku tidak ingin membahayakan kesehatan Ify."

"Kau pikir aku akan sesehat itu bersaing dengan pengecut semacam dirimu ? Hey, dimana otak mu ? Kau yang memulai persaingan ini dengan tidak sehat, lalu ? Untuk apa aku menuruti semua ucapan mu ? Dasar Bodoh." Rio hanya diam, membiarkan Zariel terus menumpahkan kemarahan dan kekesalannya.

"Aku bukan orang bodoh Rio. Memang, aku memang ingin membunuh mu saat ini, tetapi dengan cara yang lebih pelan dan tanpa tersentuh oleh tangan ku...." Iyel menghembuskan nafasnya dengan kasar.

"....Berbahagialah kau saat ini, kau mencintai Ify dan sebaliknya, dia juga mencintai mu. Kalian memang saling mencintai, tapi ingat Rio. Saat ini Ify tidak tahu akan semuanya, Ify tidak tahu dengan keadaannya sekarang, setelah dia mengetahui ? Tamatlah riwayatmu. Kau bisa tenang sekarang, tapi nanti setelah aku merenggut bayi mu barulah giliran kau." Telak. Zariel melangkah pergi begitu saja setelah mengeluarkan ancaman nyatanya, ancaman yang membuat Pria ini mematung ditempat sulit untuk sekedar mencecap satu kata inti yang dikatakan oleh Zariel.

Tidak, tidak akan. Rio yang sekarang sudah berubah seperti Rio yang dulu, Rio yang penyayang kepada siapa saja, tidak lagi seperti Rio yang arogan, kasar dan sifat buruk lainnya. Dan semua ini karena Ify, Ify menyadarkannya.

"If..Ify...."


**********

Sivia dan Cakka tengah duduk disebuah meja Caffe, tak henti-hentinya Cakka bergumam antara takut, nervous, dan gejala batin lainnya membuat jiwanya gelisah seperti saat ini.

"Tenanglah kak, kau pasti bisa mengendalikan suasana hati mu. Jangan terus bergumam takut. Sebentar lagi Agni akan datang bersama Alvin." Cakka mendesah lalu menggigit bibirnya, pandangannya menyapu seluruh sudut Caffe. Sebentar lagi ? Hah, lagi lagi Ia mendesah tak karuan. Kenapa rasanya segugup ini ? Rasa bersalah akan kejadian yang Ia perbuat dulu memanglah ada, tetapi ? Kenapa dengan hanya bertemu Wanita itu Ia merasa segugup ini ? Ya Tuhan...

"Sivia..." Panggil Cakka, Sivia menoleh.

"Ya." Cakka nampak berpikir kemudian kembali bersuara. "Jadi benar Alvin itu sahabat dari Agni ? Dan tujuan dia menikahi mu, agar apa yang aku perbuat dimasa lalu, sama halnya dengan cara dia menikahi mu sebagai penukar hutang ku ?" Sivia yang tengah menyesap kopi panasanya tersedak, begitu Cakka bertanya.

"Pelan pelan Sivia." Cakka menghapus lembut punggung Sivia, lantas adiknya itu memasang raut wajah yang tak terbaca. "Sebelum dia menikahi ku, dan menyekap ku dikamar saat itu. Itulah yang dia katakan kak, jadi ku mohon, jangan pernah sia-siakan perngorbanan ku. Kau harus mempertanggung jawabkan kesalahan mu." Cakka menunduk lalu tersenyum miris. "Aku tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan mu Sivia. Aku akan mempertanggung jawabkannya." Sivia tersenyum lantas mengangguk kecil, Cakka menggenggam erat jemari Sivia memberi keyakinan.

"Maaf, lagi-lagi aku membohongi mu Kak. Maaf.." Batin Sivia kembali menyesap kopi hangatnya.

Tak berapa lama, Alvin pun datang dengan Agni yang dikursi roda. Mereka berhenti tepat dimeja Sivia dan Cakka. Alvin mendekat kearah Cakka dan Sivia, "Selesaikan semuanya, atau tidak adik mu sasaran utama ku." Ancam Alvin kemudian Ia mengamit lembut lengan Sivia agar perempuan itu menggandeng tangannya.

Baru saja Sivia ingin berontak, Alvin berbisik sesuatu. "Hanya berakting, teruslah menggangeng tangan ku. Agni mengetahui kalau kita sudah menikah dengan resmi tanpa alasan apapun, jadi bersikaplah kau sebagai Isteri ku. Nyonya Sena." Alvin tersenyum geli, Sivia menegang dengan 2 kata terakhir Alvin, tak ingin memperpanjang kemudian Ia menampakkan adegan mesranya dengan mengeratkan gandengan tangannya pada lengan Alvin.

"Kalau begitu aku permisi Agni, dan ini Kunci mobil jika percakapan kalian telah selesai." Alvin meletakkan kunci mobil itu pada tangan Cakka, akhirnya kedua pasangan itu pun pergi meninggalkan Cakka dan Agni yang hanya menatap satu sama lain tanpa ada yang membuka suara.

"Sudah lama tidak bertemu ya. Terakhir, aku mencari mu ditempat itu tapi ternyata kau tidak ada." Agni bersuara begitu saja membuat Cakka tersentak, agni mencarinya ?

"Ka..kau mencari ku ?"

"Pertanyaan bodoh, kau pikir dengan cara mu merayuku ditengah kekacauan hati ku saat itu, kau pikir aku sadar akan semuanya ? Kau merenggut hidup ku, sehingga aku melibatkan orang lain didalamnya. Tragis." Agni berdecak mengontrol emosinya yang tiba-tiba saja meledak, tidak ! bukan seperti ini yang Ia inginkan, ia ingin permasalahan ini berakhir dengan baik. Kenapa sekarang Api hatinya menyala ?

"Aku tidak tahu, bagaimana aku harus memulainya. Terpenting, aku sangat menyesali semua, Aku minta maaf Agni," Agni membuang muka kearah luar Caffe tidak berniat sedikit pun menatap Cakka. "Aku paham dan mengerti jika saat ini kau marah bahkan sangat membenci ku, tapi kau tahu Agni ? Saat itu, aku dan kau sama-sama mengalami kekacauan, kau dengan kekacauan cinta mu dan aku...."

"Karena meninggalnya kedua orang Tua ku. Kita sama-sama kacau dan tidak menyadari apa tengah kita lakukan, Aku menyesali semuanya. Tidak seperti kau, aku tengah sibuk lari dari masalah." Agni memejamkan matanya, lalu menggeleng.

"KAU PENGECUT ! KAU BEGITU PENGECUT !" Tiba-tiba saja air matanya mengalir, cakka yang melihatnya bingung harus berbuat apa. "Aku memang pengecut, aku memang lelaki tidak bertanggung jawab, tetapi itu dulu. Sekarang, aku akan menebus semuanya, kau boleh meminta apapun dari ku Agni." Agni menghapus kasar air matanya.

"Ini terakhir kalinya kita bertemu, kau bebas. Biarkan aku hidup cukup berdua dengan putri ku, aku tidak ingin kau ikut berperan didalamnya." Sebenarnya ini yang ditakutkan oleh Cakka, dipisahkan setelah Ia tahu kalau mempunyai seorang putri yang begitu cantik. Yah, Cakka melihatnya. Cakka melihat Clara ketika dirumah sakit saat pendonoran darahnya untuk Clara, Cakka melihat sedetail dan serinci mungkin wajah putrinya. Rambut pirang yang lembut persis dengan rambutnya, tidak hanya sebatas itu, Cakka juga menggenggam kepalan tangan mungil Clara. Begitu hangat dan bangga jika menyentuhnya, tapi kini ? Angannya untuk ikut andil berperan dalam kehidupan Clara pupus sudah.

"Aku menyetujuinya, tetapi permintaan ku hanya satu. Ijinkan aku mengasuhnya 3 hari bersama mu. Setelah itu aku berjanji tidak akan mengganggu mu maupun Clara." Sepasang Alis agni pun bertatut setelah mendengar permintaan Cakka, lalu anggukan kecil tercipta dari kepala cantiknya.


*********

Rio menunggu Ify yang tengah berdandan dikamarnya, entahlah kenapa perempuannya itu suka berdandan saat ini, tetapi masih dalam kata 'natural'.

"Bubu mu kenapa sekarang suka berdandan sayang ? Apakah kau menjadi bahan percobaannya tadi siang ?" Rio mengajak Clara untuk berbicara, namun sang lawan bicaranya hanya tertawa lalu memukul-mukul boneka yang tadi Rio belikan untuknya. "Heh, bicara apa kau pada Clara ?" Tiba-tiba Ify datang dengan wajah marah, berdekap lantas menatap Rio sinis. Rio menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Ah tidak, ayo kita berangkat sebelum terlalu larut malam. Kasihan Clara," ajak Rio lalu menggendong Clara, melangkah mendekati Ify. "Sebentar." Ify kembali ke kamarnya dan membawa 1 tas kecil.

Dahi Rio mengkerut. "Apa itu ?" Tanya Rio sambil melirik tas kecil yang Ify bawa. "Didalamnya botol susu Clara juga jaket hangatnya dan 1 payung." Rio tersenyum geli. "Payung ?"

"Ya payung, hanya berjaga-jaga jika hujan tiba-tiba datang." Refleks Rio mencubit hidung bangir perempuannya dengan gemas. "Kau selalu bisa bersiap sebelum sesuatu buruk terjadi." Ify tersenyum lalu menggandeng lengan Rio.

Akhirnya dengan berjalan kaki menuju Pasar malam didekat Rumah Ify, mereka pun sampai ditempat tujuan. "Lihatlah Clara, dia terus memperhatikan orang-orang berlalu lalang." Suara Ify membuat Rio memusatkan perhatiannya pada Clara, kemudian Ia tersenyum.

"Sepertinya dia ingin benang gula itu Fy, kita kesana." Ify mengangguk lalu mereka pun menuju pedagang benang gula.

"Benang gulanya 3 Pak." Pesan Rio, Clara bertepuk tangan mungkin begitu senangnya mendapatkan makanan yang baru Ia lihat bahkan Ia rasakan saat ini. Setelah itu, mereka bertiga memutuskan untuk mencari tempat duduk.

"Kau menyukai sayang ? Jangan terlalu banyak, nanti kau sakit. Ambil setengah dari punya Clara, Rio." Rio lalu mengambil setengah benang gula Clara, dan mendapat tatapan aneh seperti marah dari si empunya.

"Ow ow ow, sepertinya dia marah Fy. Clara begitu horor jika sedang marah." Gumam Rio, Ify tertawa kecil. "Lucu sekali mulutnya. Lihatlah Rio, mulutnya persis seperti mu saat malam berkencan waktu itu." Wajah Rio memerah karena malu.

"Jangan membahas itu lagi, kau menyebalkan." Ify masih tetap tertawa, dan Rio tengah memasang wajah masamnya.

"Rio..."

"Ya Alyssa ku."

"Aku boleh bertanya sesuatu ?" Rio tersenyum lalu mengangguk. "Kau benar-benar mencintai ku ? Tidak ada maksud terselubung di dalamnya ?" Rio terdiam, lalu menatap mata teduh Ify dengan dalam.

"Apakah kebahagiaan ini terlihat palsu dimata ku ? Jika kau melihat kepalsuan disana, tolong katakan pada ku bagian mana yang membuat mu ragu dan berpikir bahwa semua ini palsu, terutama cinta ku. Karena percuma bagi ku jika menjawab dengan mulut, jika kau saat ini tengah ragu dengan perasaan ku." Ify mengalihkan wajahnya menatap setiap orang-orang yang berlalu lalang. "Tidak, aku tidak menemukannya. Aku hanya takut kau mempermainkan perasaan ku, membuat ku tersanjung setinggi mungkin lalu terhempas begitu saja dengan mempermainkan perasaan ku." Ucap Ify lirih

Rio meraih jemari Ify lalu menciumnya. "Aku akan membuktikannya, bukan sekedar kata-kata tapi kepastian yang mutlak." Ify tersenyun begitu manis, perhatiannya kembali Ia pusatkan pada Clara. Wajah Clara tiba-tiba pucat, benar-benar pucat pasi. "Clara, Clara, kau kenapa sayang." Ify mulai panik, Rio yang baru menyadari juga ikut panik.


"Rio badannya panas sekali." Tanpa pikir panjang mereka pun memutuskan untuk pulang dan membawa Clara ke Rumah sakit.


********

Alvin dan Sivia memutuskan untuk mencari tempat makan yang berbeda dari Cakka dan Agni. Mereka berdua hanya berharap, bahwa Cakka maupun Agni telah memdapatkan titik terang dengan masalahnya.

Jadi, untuk masalah selanjutnya tidak begitu membebani pikiran kedua pasangan ini, pasangan yang terjebak dalam suatu tali pernikahan yang resmi.

"Kau yakin Alvin, rencana ini berhasil ?" Tanya Sivia, Ia merasa ragu. Alvin tersenyum tipis lalu kembali mengunyah pelan makanannya. "Berhasil atau tidak, semua tergantung mereka, yang pasti kita sudah mencoba." Sivia mengangguk mengerti, Ia ikut tenggelam dengan menyantap aneka makanan yang Alvin pesan.

"Kau tidak keberatan dengan pernikahan ini Sivia ?" Alvin tiba-tiba bertanya, membuat Sivia menghentikan suapan ketiganya. Ia mengangkat bahunya. "Selama pernikahan ini sebagai penolong aku rasa baik-baik saja."

"Kau tenang saja Sivia, kau bebas melakukan apapun. Pergi berbelanja seperti layaknya wanita yang menghambur-hamburkan uang suaminya. Kau bisa pergi dengan lelaki manapun kau mau." Sivia tersedak untuk yang kedua kalinya. "Aku bukan perempuan semacam itu, aku hanya gadis kampung yang terlalu polos untuk berhura-hura. Bagaimanapun juga dengan status pernikahan ini, Aku tetap menghargai mu sebagai suami ku."

Alvin tertawa kecil. "Benarkah kau menghargai sebagai suami mu ? Bisakah aku meminta malam pertama ku, Sivia ?" Sendok logam yang dipegang Sivia sejak tadi meluncur begitu mulus mengenai kepala Alvin. "Kecuali itu, aku tidak akan mau." Wajahnya merona dan kembali menyibukkan dengan makanannya.

Tiba-tiba seorang perempuan cantik dan begitu modis, benar-benar kalah telak dengan penampilan Sivia saat ini yang lebih menjurus kearah pakaian lelaki. Kaus Oblong ukuran besar dengan setelan jeans panjang bermodel robek-robek dibagian lututnya. "Alvin sayang, darimana saja kau selama ini. Kenapa lama tidak berkunjung ke tempat biasa." Perempuan itu langsung mencium pipi kanan dan pipi kiri Alvin secara bergantian.

"Maafkan aku, aku terlalu sibuk." Jawab Alvin singkat. Entah kenapa adegan seperti itu membuat hati Sivia panas. "Ehm..Eh..Ehm.." Sivia berdehem keras dan berpura-pura mengambil gelas minumnya.

Alvin melirik Sivia. "Perkenalkan, ini Casivia Zizari Isteri ku. Sivia, ini teman ku Wazeva Tnas."

Kedua perempuan itu saling berkenalan satu sama lain. "Jadi, kau Isteri Alvin ? Wahh, beruntung sekali. Maaf tidak bisa datang kemarin, pernikahan kalian begitu mendadak dan membuat aku bingung mencuri waktu karena terlalu sibuk." Sivia berusaha tersenyum. "Tidak apa-apa."

Alvin dan Zeva tengah asyik berbincang, membiarkan Sivia yang saat ini seperti tidak diikut sertakan dalam topik pembicaraan antara Alvin dan perempuan teman Alvin membuat Sivia gerah. "Mereka pikir aku hanya sebatas patung dan pajangan ?" Sivia beranjak dan membuat Alvin juga Zeva mendongak.

"Aku pulang duluan, Maaf tidak bisa berlama-lama. Ada yang harus ku kerjakan dirumah. Permisi," Sivia pergi begitu saja tanpa memperdulikan Alvin yang tengah memanggilnya.


********

Rio menyuruh Ify untuk berdiam saja diruang tunggu selama Ia berkonsultasi masalah penyakit Clara. Dan untungnya Perempuan itu menurut saja.

"Jadi bagaimana dok ? Kenapa dengan Clara ?." Dokter nampak berpikir kemudian bersuara.

"Melalui hasil uji lab dengan sample darah Nona Clara, Dia mengalami Thalasemia mayor jenis penyakit darah yang lebih berbahaya dari Thalasemia minor, Thalasemia semacam ini juga sering menyerang anak-anak seumuran Clara karena merupakan faktor gen salah satu orang tuanya. Pasien harus melakukan transfusi darah seumur hidup atau bahkan melakukan pancu, Operasi tulang sumsum. Jika tidak......" Dokter menatap Rio dengan isyarat wajah tak terbaca.

"Kami tidak tahu bagaiman kondisi pasien selanjutnya, kami hanya bisa berusaha." Rio mematung, benar-benar tidak menyangka jika Clara mengalami penyakit seserius ini.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Frisca Ardayani Book's - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger