Home » » Serpihan Gelap [ Tiga ] *kematian Raynald*

Serpihan Gelap [ Tiga ] *kematian Raynald*


Tittle :: Serpihan Gelap (SerGap) 
Author :: Frisca Ay 
Genre :: Romance, Family Complex, Adult(tapi Untuk Semua Umur) 

PS :: Mohon Maaf Apabila Ada Kesamaan Nama Tokoh Dan Latar Belakang, Ini Murni Untuk Kepuasaan Belaka..... 
Langsung ajj yuk .. 
Keep Reading 'n' Enjoy 


******* 

Ify mengernyitkan keningnya, perlahan membuka kedua bola matanya. Ia masih bingung berada dimana Ia saat ini, pelan-pelan matanya mulai menelusuri setiap sudut ruangan. Namun tetap, Ia tidak tahu berada dimana saat ini. Samar-sama Ia mendengar suara air, sepertinya ada seseorang yang tengah mandi. Seketika Ify menegang, saat mendapati dirinya dibalik selimut tebal berwarna putih bersih. 

Jantungnya seketika berdebar cepat, nafasnya memburu, desiran darahnya juga ikut serta meramaikan ketegangan dirinya saat ini. 'Glek. Ia menelan ludahnya secara paksa, berusaha mengingat kejadian-kejadian sebelum ini. "Mabuk?" Hanya sebatas itu yang baru diingatnya, setelah itu semuanya gelap bagai kepingan-kepingan Puzzle yang sulit dipecahkan. 

"Kau sudah bangun rupanya, perempuan pemalas." Ify tersentak, mengalihkan pandangannya pada sumber suara. Mendapati Pria tampan yang sama, Pria yang sangat begitu Ia benci mulai saat ini. Dan Ify? Akan berusaha untuk berontak! Pria itu hanya mengenakan handuk putih menutupi sebagian tubuhnya yang....Shitt. Kembali Ify meneguk ludahnya, "bagaimana aku bisa disini? Ini dimana?!" Ia berusaha untuk menampakkan nada marah, walaupun terdengar bergetar dan ketakutan. Tapi setidaknya, itu mampu membuat Pria arogan dan sombong itu tidak memandangnya sebagai perempuan lemah. 

"Oh, jadi kau lupa akan adegan semalam? Apa aku harus menjelaskan secara detail pada mu?" Seketika wajah Ify memucat, debaran jantungnya kembali memompa cepat. Apa yang dikatan Pria Gila itu? Adegan apa? Damn. Kenapa sedikit saja Ia tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi, ini semua karena minuman pemabuk itu. Pria brengsek! 

"Bagaimana pun usaha mu untuk mengingat, kau tidak akan pernah tahu ataupun mengingatnya. Karena......." Rio melangkah mendekat, lagi-lagi wajahnya tanpa ekspresi dan dingin. Pluera paru-paru Ify semakin menciut, kala Pria arogan itu jaraknya semakin mendekat. "Alasan pertama karena kau mabuk, dan yang kedua? Jangan pernah bermimpi aku meniduri mu. Stupid Girl!" Lanjut Rio lantas mengetuk dahi Ify, membuat perempuan itu meringis dan menunduk. 

"Cepatlah mandi, aku tidak punya waktu untuk mengantar mu kerumah." Gumam Rio kemudian, Ia lantas membalikkan tubuhnya untuk pergi. 

"Aku tidak tahu apa yang salah pada ku." Langkah Rio terhenti, Ia mengernyitkan keningnya. Tanpa menoleh, terpaku. 

"Entah apa yang membuat mu sangat membenci ku, membeli ku lalu memerintah ku sesuka hati mu. Aku bukan robot, aku punya hati dan perasaan. Apakah kau memang ditakdirkan untuk kejam karena kekuasaan mu?" Rio memejamkan matanya, tangannya terkepal kuat. Tapi Ia tetap diam dan terus mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh Perempuan itu. 

"Kau tahu? Untuk pertama kalinya aku menemukan Pria seperti mu, kau sempurna kau segalanya. Tapi.....ternyata itu jauh dari diri mu. Kau tidak ada bedanya seperti Iblis. Aku membenci mu!" Cukup. Cukup sudah! Rio benar-benar sudah tidak bisa menahan lagi emosinya yang semakin memuncak mendengar seluruh ucapan dari perempuan itu. 

"Aku tahu bagaimana suami ku! Aku tahu bagaimana dia dan sifatnya. Dia punya alasan lebih logis! Aku sangat yakin dan percaya padanya. Dia tidak mungkin melakukan semua......" Plak. Nafas Rio memburu, matanya merah rahangnya mengetat. 

Ify tertunduk, tamparan yang sangat keras. Tubuhnya bergetar, Ia menangis dalam diam. Kenapa saat ini justru orang lain yang berlaku kasar padanya? Orang yang tidak Ia kenal sama sekali. Sedangkan suaminya tak pernah melakukan hal sekasar itu padanya. Hati Ify menjerit, air matanya terus mengalir dengan deras. "Berhenti untuk mempercayai Raynald! Dan jangan pernah sedikit pun kau menyebutkan namanya didepan ku!" Setelah mengucapkan kalimat singkat itu, Rio benar-benar pergi meninggalkan Ify yang saat ini menangis. Bukan karena tamparan itu, melainkan hatinya serasa telah dipermainkan. Sakit, kacau dan hancur! 


******* 

Alvin memasuki Ruangan Direktur, setelah menutup pintu ruangan Ia mendapati sosok Pria bertubuh tinggi menjulang kini tengah melamun bersandar pada kursi jabatannya namun tetap elegan. 

Wajah arogan yang sering kali terpancar tak lagi nampak, hanya kesan sendu yang terlihat oleh Alvin. Ia mendengus kendati sang Direktur muda itu tak kunjung menyadari kehadirannya. Kembali Ia melangkah mendekat, lantas berdehem keras. Membuat sang Direktur tersadar menatap Alvin sekilas lalu memperbaiki posisi tubuhnya kembali tegak dan merapat pada meja kerjanya. 

"Ada apa?" Hanya itu pertanyaan yang Ia lemparkan pada Alvin. Pria bermata sipit yang kini masih berdiri itu lagi-lagi mendengus. "Apa lagi sekarang yang kau lakukan? Kau terlalu memaksakan kehendak." Nada Alvin begitu frustasi menghadapi Direktur muda yang keras kepala ini, yaitu sahabatnya sendiri -Dambrio Gluemian-. Ah ya! Alvin hampir lupa, bukankah Pria ini memang pemaksa dan keras kepala? Setidaknya bersahabat hampir setengah umur mereka, bukankah itu sudah lebih dari cukup untuk mengenal kepribadian diantara keduanya, secara luar maupun dalam. 

"Lebih baik kau diam saja. Kunci mulut mu dan urus saja kekasih mu, Via. Ini masalah ku." Wajahnya kembali nampak dingin dan menahan marah. "Well, aku hanya memberikan sebuah masukan. Ah ya masalah Via, aku melihat mu memarahinya kemarin. Cukuplah untuk berakting seperti kemarin Dambrio!" 

"Berakting kata mu?" Rio mendengus seraya tersenyum sinis, Ia menatap Alvin bengis lantas beranjak. "Jika kau tidak menyukai cara ku. Cukup sampai disini kau ikut campur." Ia mengalihkan wajahnya, tak ingin menampakkan dirinya yang sebenarnya. Dia sama seperti orang-orang biasa, mempunyai masalah yang sangat pelik. Dirinya rapuh, bahkan sangat rapuh. 

"Kadangkala aku juga lelah. Kau tidak akan pernah tahu, bagaimana marahnya aku setelah mengetahui semua ini." Alvin terdiam, menatap wajah Direktur muda yang dengan aksen dingin itu penuh Iba. Ia sebenarnya mengerti, bahka sangat mengerti bagaimana masalah yang saat ini sangat menyiksa batin sahabatnya itu. "Apakah Ify merasakan kehadiran mu?" Rio tersenyum getir 

"Entahlah, aku masih belum bisa membaca keadaan. Dia..... Dia masih mempercayai Raynald." Mata Alvin seketika melotot, kemudian Ia menggeleng tak percaya. "How can?!" 

Ketukan pintu membuat keduanya menoleh, Rio mempersilahkan masuk. Hingga akhirnya sosok perempuan yang sejak tadi menjadi topik pembicaraan mereka nampak dibalik pintu. Tangannya seperti kesusahan membawakardus yang berisi beberapa map dan berkas lainnya. Rio mengkerutkan keningnya, menyuruh perempuan itu masuk. Alvin yang melihat itu menggelengkan kepalanya tidak habis pikir akan jalan rencana sahabatnya itu. 

Seperti yang Alvin duga, sepertinya sang Tuan Muda Almian Classes tidak ingin mangsanya tersentuh sedikit pun oleh siapa saja. Alvin mendengus, melangkah pelan menuju kearah sosok perempuan tersebut maksud untuk membantu membawakan kardus yang mungkin berbeban berat itu. Sebelumnya Ia menatap Rio, lalu tersenyum mengejek membuat Pria arogan itu menggeram. 

"Biar aku yang membawanya ke meja mu." Ucap Alvin lantas mengambil alih kardus tersebut seraya meletakkannya pada meja kerja kosong tepat disamping meja kerja sang Direktur. "Tugas mu sudah selesai Alvin, sekarang kau boleh pergi." Alvin menoleh kearah Rio yang nampak mengepalkan tangannya. Ya! Alvin tahu, Pria itu nampak menahan emosinya. Sesekali Ia tersenyum geli melihat wajah Arogan dengan aksen dingin tersebut menggeletukkan giginya. 

Kembali Alvin menatap Ify kemudian tersenyum ramah serta lembut pada perempuan polos itu, yang sejak tadi hanya memperhatikan adegan wajah Arogan Rio dan gerakan santai Alvin. "Hati-hati, dan selamat bekerja." Pria bermata sipit itu berlalu pergi namun sebelumnya Ia menepuk pundak Perempuan itu dengan samar. Setelah kepergian Alvin, suasana sepi dan mencekam bagi Ify mulai muncul. 

Ia hanya tertunduk didepan meja kosong tempat dimana semua barang-barangnya berada. Sedikitpun Ia tak berani menatap Rio yang berada pada jarak 2 meter darinya saat ini, Pria itu masih menampakkan wajah datarnya yang sombong. "Kenapa kau tidak duduk? Duduklah!" Ify memejamkan matanya, kenapa Pria itu selalu saja menampakkan suara berat dinginnya kerap kali berbicara dengan Ify? Tidak bisakah Ia berbicara biasa-biasa saja! 

Dengan pelan, Ify melangkah menuju kursi meja kerja kosong tersebut. "Aku tidak menyuruh mu duduk pada kursi itu, tapi kursi didepan meja ku saat ini." Shitt! Ify mengepalkan tangannya menahan kekesalan terhadap Pria menyebalkan dan menjengkelkan itu. Ia kembali memutar balik langkahnya menuju kursi yang Rio suruh lantas duduk. 

"Jangan pernah menyentuh benda apapun yang ada dimeja ku, kau ku pindah kesini karena aku tahu kau perempuan tak punya telinga. Kau pasti akan tetap mencari teman disana lalu meyakinkan mereka untuk dimintai tolong agar kau bisa pergi dari ku." Kenapa Pria ini bisa tahu akan jalan pikirannya? Kenapa bisa seperti ini? Jadi Ia benar-benar pindah tempat? Dan selalu akan seruangan dengan Pria menyebalkan ini? Setiap harinya? Ya Tuhan! Ify merutuki nasibnya. Tidak adakah jalan sedikitpun untuknya melarikan diri dari Pria mengerikan dan menakutkan ini. 

"Kau menjadi Sekretaris ku saat ini." 

"Ap....Apa?!" Ify benar-benar kaget entah bagaimana saat ini ekspresi perempuan itu. Ia syok dan sama sekali tidak menyangka posisinya tiba-tiba bisa berubah sekian detik seperti ini? Apa yang sebenarnya diinginkan Pria mengerikan dihadapannya? 

"Kenapa? Kau menolaknya? Oh, bermimpilah. Kau, sekretaris ku saat ini!" Rio kemudian berlalu meninggalkan Ify yang tengah menahan kekesalannya. "Menyebalkan!" 


******** 

Alvin mendengus kesal, sudah sejak beberapa menit yang lalu Ia berdiri didepan meja kerja Via. Perempuan itu nampaknya sama sekali tidak berminat untuk menggubris Alvin. Ia masih saja menyibukkan diri pada layar computer dihadapannya saat ini. Merasa kesal akhirnya Pria sipit itu menyeret Via untuk keluar dari mejanya membawa Perempuan keras kepala itu menjauh dari ruangan itu. 

"Lepaskan tangan ku, Alvin!" Via terus meronta dan berteriak meminta Alvin melepaskan tangannya, tetapi nampaknya Pria sipit itu tak menghiraukannya terus menarik paksa hingga mereka berdua sampai pada sebuah ruangan Manager Almian Classes, jabatan seorang Alvin. Via menyentakkan tangannya dan akhirnya terlepas dari genggaman Alvin. Ia menatap Pria itu marah. 

"Disini tempat mu, tidak lagi disana." Perintah Alvin, Via masih menatap Alvin marah. Ia membalikkan badan, akan keluar dari ruangan ini. Tapi nampaknya Ia kalah cepat, Pria itu menarik tangannya begitu keras, sehingga membuat tubuh Via membentur pada dada kokohnya. Dengan cepat Alvin mendekap Via begitu erat, tidak ingin melepaskan perempuan itu darinya. "Tugas mu selesai, jadi berhentilah untuk bekerja diruangan sana. Kau kembali disamping ruangan ku, tempat asal mu memang bekerja sejak awal." Gumam Alvin penuh penekanan dengan aksen memerintah. Via yang berusaha keluar dari rengkuhan Alvin, hasilnya sama. Rengkuhan itu terlalu kuat untuk tenaganya yang tak seberapa. "Ini perintah! Dan aku calon suami, mu! Inikah sikap terbaik mu untuk ku?" 

Via berdecak, "apa kau bilang? Kau calon suami ku? Bukankah aku sudah bilang, hubungan kita telah berakhir kemarin!" 

"Sayangnya aku tidak menganggap ucapan mu itu." Balas Alvin santai, perlahan Alvin melepaskan pelukannya kemudia menggenggam wajah Via agar menghadap tepat pada wajahnya. Tatapan mereka beradu, Alvin tersenyum membuat seluruh rasa aneh kembali menjalar pada hati Via. Ya Tuhan Alvin! Jika saja Pria ini sedikit peka terhadap perasaannya, mungkin Ia tidak akan semarah ini terhadap Pria ini. Kenapa selalu saja Rio yang Alvin dahulukan? Kenapa selalu Rio? 

"Aku memang tidak seromantis Pria yang kau dambakan, aku memang tidak sepeka apa yang kau harapkan dan aku memang selalu menduakan mu setelah sahabat ku. Tapi yang harus kau tahu, hati ku? Selamanya terjaga untuk mu." Alvin mencondongkan wajahnya mengecup pelan kening Via, Via hanya menjerit dalam hati bahwa yang saat ini terjadi untuk berhenti sebentar. Dia merindukan Alvin seperti ini, Alvin yang selalu bersikap lembut padanya. Walaupun nanti sifat tak pekanya kembali hadir. 

"Jangan pernah berucap untuk mengakhiri hubungan ini dengan pangeran mu, my Princess. Karena aku tahu, sebagaimana pun mulut mu berucap sekalipun membenci ku, aku paham itu hanya karena rasa kesal mu sesaat terhadap ku, Alvin yang penuh kekurangan." Ada haru yang kini menyelimuti hati Via, Alvin benar! Semua ucapannya kemarin bukanlah hal yang sesungguhnya. Via hanya menggertak Alvin, apakah Pria ini masih tetap mempertahankannya? Dan saat ini, Alvin membuktikannya. Bahwa Via terlalu berharga untuk Ia lepas begitu saja. 


******** 

Ify hanya diam mematung, sesekali menatap layar computer dihadapannya lalu beralih pada meja kerja Rio yang kosong. Entahlah, kemana Pria mengerikan itu pergi, yang jelas Ify bersumpah serapah agar Pria itu tidak kembali lagi. Tadinya Ify telah berusaha untuk membuka pintu ruangan ini, namun ternyata Pintu itu terkunci dari luar. 

Rio tidak sebodoh yang Ify kira ternyata! Ah ya, bukankah Perusahaan besar ini telah terkenal pesat diseluruh negara Eropa maupun ASEAN? Harus berpikir berjuta kali untuk menaklukkan sang Direktur muda itu. Apalagi wajah tampannya yang begitu mendominasi, terpahan dengan garis wajah yang tegas, alami dan kharismatik. Mata hitam pekatnya yang tajam dengan aksen misterius mampu menarik perhatian siapa saja, tentu saja yang pertama kali tertarik adalah perempuan-perempuan muda yang cantik dan berkelas sekalipun. Seorang direktur Arogan yang tampan! 

Ify menatap sebuah Laptop bermerk Apple berada tepat diatas meja kerja Rio, Ia mengkerutkan keningnya. Mungkin saja, seluruh pekerjaan penting Rio berada didalam sana. Sebuah ide muncul, Ify tersenyum sinis. Ia melirik kembali kearah pintu, tidak ada tanda-tanda suara sepasang Pantofel mewah itu mengarah keruangan ini. Masa bodoh, dengan perintah Pria mengerikan itu. Ify sudah cukup kesal dengan semua perlakuannya, dia memang telah membeli Ify. Tapi apakah Ify harus menurut terus menerus dan merasa tertindas? Ck. Sekalipun Ia akan dibunuh nanti, Ify tidak akan takut. Ia lebih memilih dibunuh daripada harus tertindas seperti ini. 

Ify melangkah pelan menuju meja Rio, tangannya mulai tergerak untuk memegang Laptop itu. Benar saja, semua file-file penting didalamnya ada. Dengan berbekal sedikit ilmu kala dulu Ia masih menyandang status kekasih dengan Ray, Pria itu sedikit mengajari bagaimana menggunakan alat modern ini. Ify tersenyum licik saat file terakhir berhasil Ia hapus. 

Prok.Prok.Prok. Suara tepuk tangan mampu membuat Ify terkejut dan mengalihkan pandangannya tepat pada ambang pintu. Tubuh Ify menegang seketika, Ia lantas menjauh dan mundur dari meja Rio. Sebisa mungkin Ia meneguk ludahnya yang tiba-tiba saja sulit untuk ditelan. Ya Tuhan! Sejak kapan Pria mengerikan itu berada disana? 

Keringat Ify terus menjalar turun, seakan-akan tahu bahwa sebentar lagi keringat itu akan terganti dengan aliran darah. Akankah Ia dibunuh setelah ini? Ah, itulah yang Ify mau saat ini. 

Rio hanya menaikkan satu alisnya, tersenyum mengjek kearah Ify. Ia memasukkan kedua tangannya pada saku, lantas melangkah maju mendekat kearah Ify yang setengah syok akan kehadirannya. Glek. Ify kembali menelan ludahnya entah sudah sekian kalinya. Deru nafasnya tak kunjung terkontrol saat ini, apalagi dengan beraninya menentang tatapan tajam yang mematikan dari Direktur muda ini. "Apakah kau sudah berhasil menghapus seluruh File penting ku disana?" Pertanyaan mematikan! Ify menjerit kembali didalam hatinya, menggigit daging bibirnya begitu keras untuk menahan seluruh rasa takutnya saat ini. 

Rio mencengkram kedua bahu Ify begitu keras. Sehingga membuat perempuan mungil itu meringis menahan sakit, perih sekali. "Bukankah aku telah mengatakan suatu peringatan, agar kau tidak menyentuh apapun yang berada dimeja ku?" 

"Kau!" Rio melayangkan tamparannya untuk mengenai pipi Ify, perempuan itu pun hanya memejamkan matanya dan sedikit menciutkan tubuh mungilnya. Tangan Rio justru tertahan hanya berjarak beberapa centi dari pipi perempuan itu. Rio menggeletukkan giginya menahan seluruh emosi, Ia berbalik kearah mejanya lantas meraih Laptop miliknya. 

Brak. Laptop putih itu pun berhasil hancur dilantai, Ify yang tadi masih memejamkan matanya seketika membuka kedua matanya dan menyaksikan bagaimana mengerikannya Rio menghempaskan benda mahal itu begitu saja. "Ke...kena...kenapa..kau?" Suara Ify nyaris bergetar menahan takutnya. 

"Bukankah itu yang seharusnya terjadi? Untuk apa aku masih menyimpan benda yang tak lagi penting karena semua isi yang ku perlukan sudah tidak ada disana?" Tatapan mata Rio masih tajam dan mengerikan, Ia mendorong tubuh Ify hingga membentur tembok. "Kau pikir aku sebodoh itu untuk kau kalahkan? Aku tidak akan pernah melepaskan mu sampai kapan pun, sekalipun dirimu tak lagi bernyawa. Ingat itu!" 


********* 

Ray tengah menyesap secangkir kopi hangatnya disebuah Resto yang cukup ramai. Ia memperhatikan setiap pengunjung yang berdatangan pada pintu masuk, kembali Ia melirik arloji coklatnya. Ternyata begitu bersemangat, Ia justru datang lebih awal 1 jam dari perjanjian. 

Dengan cara inilah, Ia bisa menatap dan menghempaskan rindu walau sesaat pada wanita yang Ia rindukan saat ini. Wanita yang selama 7 bulan ini selalu menghiasi hari-harinya dan tanpa Ia sadari justru menjadikan sebuah rasa yang timbul. 

----------- 

Setelan kemeja merah padam polos, serta celana hitam kain katun membalut tubuhnya yang kokoh. Ia menatap dapur rumahnya, lantas tersenyum miris. Dengan pelan Ia melangkah menuju dapur, bukan maksud untuk membuat makanan atau mencari makanan. Ia lakukan disana hanyalah, memandangi seluruh dapur itu. 

Setiap pagi Ia selalu mendapati Perempuan cantik yang tengah memasak disini, tapi sekarang? Semua angan. Hanya angan! Kenapa harus sesakit ini? Bukankah ini semua memang telah direncanakan? Pernikahan itu bukan sungguhan, ada maksud didalamnya. Bahkan Ia juga bertekad, tidak akan hanyut dalam perasaan yang tanpa sadar menyelimutinya?. Tidak! Ini salah! 

"Apa aku harus merebut mu kembali? Haruskah?" Ucap Ray, Ia tersenyum getir melawan seluruh rasa rindunya. "Kau tahu? Ini bukan ingin ku, maafkan aku Ify." Ia tertunduk mengepal kuat tangannya hingga buku-buku jarinya terlihat mencuat. 

Sudah cukup. Ia tidak akan bisa seperti ini terus menerus. Ia membalikkan tubuhnya, untuk pergi kesuatu tempat. Namun saat Ia berbalik, tubuhnya menegang saat melihat siapa saat ini yang tengah berdiri tepat dibelakangnya. 

"Ka.....kau?" 

"Ya. Aku! Dambrio Gluemian, senang kembali bertemu dengan mu." 

"Cisshh! Tidak perlu berbasa-basi, katakan apa mau mu?!" Ray nampak terlihat menekan seluruh emosi yang cukup besar saat ini. Rio nampak menyeringai, "kau merindukan Perempuan ku itu? Oh baiklah biar ku tebak, kau memang merindukannya." Nada yang sangat mengejek! Ray kembali mengepal jari-jarinya. 

"Dia juga merindukan mu sepertinya. Aku akan mempertemukan kalian, tapi untuk terakhir kali!" Rahang Pria berwajah manis itu mengetat sempurna. "Kau dengar! Aku mempertemukan kalian karena aku tidak ingin Perempuan ku itu terus mempercayai mu! Dia milik ku, maka dia harus mempercayai ku. Bukan lagi dirimu!" Kini giliran Ray yang nampak tersenyum mengejek, membuat Rio menggeram. 

"Ck. Karena dia mencintai ku." Balas Ray sesantai mungkin, walaupun saat ini Ia sungguh menaham seluruh emosinya. "Terkutuk kau Raynald!" Pukulan mentah seketika menghujam wajah Ray tanpa ampun, membuat Pria itu tersungkur. Rio mengontrol kembali desahan nafasnya yang nampak memburu. "Kau seharusnya berterima kasih karena aku telah memberikan kesempatan ini. Tapi tenang, aku akan tetap mempertemukan kalian. Dan itu adalah pertemuan terakhir kalian!" Rio langsung saja berlalu meninggalkan Ray yang masih tersungkur dengan luka tepat mengenai ujung bibirnya. 

---------- 

Ray tersadar saat tatapan matanya menangkap sosok perempuan mungil lengkap dengan busana kantor tengah digandeng agresif oleh Pria tampan berpakaian jas resmi lengkap. Pria itu terus menuntun perempuan disampingnya menuju kearah meja Ray. 

Glek. Tatapan itu beradu, sedikit kikuk Ray tersenyum kearah Ify. Perempuan itu membalasnya takut-takut karena melihat tatapan Rio yang mengerikan. "Duduklah." Ucap Ray mempersilahkan. 

Rasa rindu Ray benar-benar terbayar saat ini, begitupun dengan Ify. Mereka saling berpandangan. Rio mencengkram jas kerjanya, menatap Ify yang saat ini nampak begitu bahagia karena bertemu dengan Ray. Rio berdehem membuat keduanya tersadar. Rio mengeluarkan sebuah map dan menyodorkannya kearah Ray. 

"Apa ini?" 

"Surat perceraian kalian." Dengan santai Rio menjawabnya membuat Ify melotot tak percaya. 

"Aku akan meninggalkan kalian 15 menit. Setelah aku datang map itu sudah harus bertanda tangan. Jangan pernah berpikir untuk kabur, Ify." Rio beranjak lantas meninggalkan mereka berdua. Terjadi kesunyian diantara keduanya dan saling menatap map tersebut. 

Ray sudah tidak bisa membendung rasa rindunya, Ia beranjak lantas memeluk perempuan mungil itu yangmasih berstatus istrinya. Ray terus mengecup puncak kepala Ify dengan sayang, mempererat pelukan itu begitupun dengan Ify. Sedangkan Ify? Ia benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan Ray seperti ini, cepat saja anak sungai mulai mengalir dipipinya. "Aku merindukan mu." Hati Ify mencelos saat Ray mengatakan kalimat itu, kenapa baru sekarang setelah beberapa minggu pernikahannya Ray mengatakannya? 

Ify mempererat pelukan itu, tidak ingin terpisah lagi dengan suaminya. "Aku ingin pergi dari sini Ray, bawa aku pergi. Aku takut." Tanpa terasa Ray juga ikut menangis, Ia kembali memberi kecupan singkat pada kening perempuan itu. 

"Maafkan aku, maafkan aku." 

"Aku takut." Ify lagi-lagi bergumam, dengan lembut Ray membelai rambut Ify dengan sayang. "Ada aku disini, kita akan pergi. Kau tenang ya," Ray berusaha meyakinkan Ify bahwa Ia menyesal dan akan membawa Ify pergi, pergi sejauh mungkin tanpa Rio ketahui. Dengan telaten Ray menghapus air mata Ify, lalu menyapu keseluruh sudut pengunjung. Sepertinya Rio benar-benar pergi meninggalkan mereka. 

"Ikut aku, Fy." Ify menggandeng lengan Ray, mereka pun menuju pintu Resto berniat untuk pergi. Ify tersenyum senang akhirnya Ia benar-benar lepas dari cengkraman Rio, Ray kembali untuknya. Mereka berdua pun langsung masuk ke dalam mobil Ray meninggalkan Resto tersebut. Seluruh rasa sakit hati Ify benar-benar terenyahkan saat ini, Ray benar-benar mencintainya. Ia tahu itu. "Maafkan aku." Entah sudah berapa kali Ray mengecup punggung tangan Ify, dan hanya dibalas dengan senyuman lembut oleh perempuan itu. 

"Berjanji Ray, bahwa kau tidak akan melakukan hal ini lagi." Ray menepikan mobilnya dipinggir jalan, Ia tersenyum lantas memposisikan tubuhnya tepat kearah Ify. "Aku berjanji, maafkan kesalahan ku kemarin. Kita mulai lagi dari awal, kau mau?" Ify mengangguk senang. Ya Tuhan, Ia benar-benar bersyukur bahwa sekarang Ia kembali bersatu dengan Ray, suaminya. 

"Kau tunggu disini, aku akan membelikan bunga Lily putih kesukaan mu diseberang sana. Tunggu sebentar." Ray mencondongkan wajahnya, mengecup kilat kening Ify kemudian keluar. 

Ify memperhatikan Ray yang tengah menyebrang jalan, Ia benar-benar membelikan Ify bunga itu. Lily putih kesukaannya. Ray nampak melambaikan sebuket Lily putih diseberang sana kearah Ify, membuat perempuan itu tersenyum senang melihatnya. "Hati-hati, Ray." Teriak Ify dari dalam mobil, seperti mendengar suara Ify walaupun bertempur dengan suara kendaran mampu membuat Ray mengerti, Ia mengacungkan jempolnya bahwa akan baik-baik saja. 

Ray mulai menyebrang jalan, benar-benar hitungan detik! Ray terpental jauh saat sebuah mobil menabraknya, Ify yang melihat itu langsung syok. Wajahnya seketika pucat, air matanya mengalir begitu cepat. Kenapa? Kenapa semua secepat ini? Ify mendengar jelas orang-orang berlarian dan berteriak diseberang sana. 

"RAYYYYYYY!" Ify membuka pintu mobil namun justru mendapati Sosok tinggi menjulang kini menatapnya tajam, rahangnya mengeras. "Kau lihat apa yang baru saja terjadi? Itulah hukuman bagi orang yang ku beri kepercayaan tapi justru menusuk ku." Lengan Ify kini sudah ditarik paksa oleh Rio untuk menuju mobilnya, tapi Perempuan itu terus meronta dan berusaha melepaskan diri. 

Ify terus menangis dan menyebutkan nama Ray, Rio memejamkan matanya kembali manahan emosinya. Ia mengguncang tubuh Ify lalu menampar begitu keras agar perempuan itu sadar. "Dia sudah mati! Apalagi yang kau harapakan darinya! Dia sudah ku buat mati saat ini!" Ucap Rio geram 

"Kau Iblis! Aku membenci mu! Kau Pria biadab! Kau bukan manusia, sikap mu sungguh jauh untuk dikatakan manusia, Rio! Kau pembunuh! Kau pembunuh, Rio! Aku ingin Ray! Aku hanya dia!" 

"RAYYYYYYYYYY!" Tubuh Ify melemas, matanya tiba-tiba saja berkunang-kunang. Kepalanya terasa berat hingga akhirnya Ia tidak merasakan apapun. Gelap. 


******* 

Shilla memasuki kamar Dami, kamar yang penuh dengan nuansa bola basket dan robot-robotan. Ia menatap sendu kearah Dami, sudah hampir 3 hari Rio tidak menjenguk anaknya ini. Ada apa sebenarnya dengan lelaki itu? 

Lihatlah sekarang, Dami justru terserang demam. Entah sudah berapa kali bocah lucu ini mengigau memanggil papanya. Shilla duduh dipinggiran ranjang Dami, Bocah itu tertidur lucu. 

Sudah sekian kali Shilla menelpon Rio, tapi nampaknya Pria itu tak ingin diganggu karena selalu bernada sambung sibuk. "Kau harus sabar, sayang. Ibu akan terus tetap disisi mu." Shilla menghapus lembut rambut Dami, panasnya belum jugaturun. Bukan maksud Shilla tidak ingin membawa Dami ke Rumah Sakit tapi Rio harus mengetahui lebih dulu keadaan anaknya saat ini. 

Ketukan pintu kamar Dami, membuat Shilla terlonjak kaget. Sosok Pria bertubuh tinggi langsung saja masuk dan menghampiri Shilla. "Rio?" 

"Maaf, aku baru datang menjenguk. Ada apa dengan Dami?" Rio merasa ganjil saat melihat kompresan dan beberapa botol syrup obat kini bertengger rapi pada meja lampu Dami. "Dami sakit, dia merindukan mu. Kemana saja kau beberapa hari ini, sehingga melupakan anak mu sendiri, Rio." 

Rio merutuki kesalahannya, bagaiamana bisa Ia justru melupakan Dami? Ya Tuhan.... 
"Dami, ini Papa sayang. Papa juga merindukan mu. Papa punya banyak mainan untuk mu. Maafkan Papa." Rio terus mengecup punggung tangan Dami, melepas kerinduan dan kesalahannya disana. 

"Dami tidak pernah menginginkan hanya sekedar barang untuk mengalihkan perhatiannya terhadap mu. Walaupun dia masih kecil, dia mengerti betul akan kasih sayang. Berpikirlah untuk mementingkan Dami saat ini." Shilla kemudian berlalu, membuat Rio mencerna setiap kalimat yang Perempuan itu katakan. Kasih sayang? Ya Tuhan....sudah begitu berdosanya Ia melupakan anaknya sendiri. 


******** 

Seorang Pria mengepalkan tangannya penuh emsoi yang meluap-luap. Melihat sosok yang terbujur kaku dengan rona wajah yang tak lagi ada tanda-tanda kehidupan disana, pucat dan bibir yang telah membiru. Ia kembali menutup wajah itu dengan kain putih. Mata Pria itu memerah menahan seluruh emosinya saat ini. Ia baru saja tiba dari Indonesia, dan mendapatkan kabar bahwa keluarga satu-satunya yang Ia punya, adik kandungnya sendiri dikabarkan meninggal karena tertabrak sebuah mobil yang melaju sangat cepat dan sampai saat ini belum diketahui. 

"Ray. Aku bersumpah! Akan membalas dendam mu, kematian harus dibalas dengan kematian." 


******* 
Share this article :

2 komentar:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Frisca Ardayani Book's - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger