Home » » Baby For Alyssa ( Part 18 )

Baby For Alyssa ( Part 18 )


Sivia mencoba membuka kedua bola matanya, walaupun nampak begitu susah. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing dan tak bisa mengenali dimana saat ini Ia berada, yang pasti saat ini Ia tidak sedang berada dirumah Alvin. Ia mencoba untuk menggerakkan tangannya begitu susah dan tertahan, seketika Ia lantas menoleh keatas karena posisinya saat ini terbaring diranjang entah dimana. Sivia terkejut saat mendapati tangannya terikat tali rantai disudut kasur kembali Ia edarkan pandangannya kesebelah tangannya, Sama ! Tangan sebelehnya pun juga ikut terantai. Berbeda dengan kedua kakinya yang tidak terantai. Dalam keadaan yang masih bebas terjulur. 

Sivia menjerit dalam hati. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian sebelum ini, apakah Ia hanya bermimpi ? Ah, tidak ini bukan mimpi. Ini nyata dan sekarang Ia disekap oleh siapa dan Sivia tidak tahu orang itu. Apa alasan penyekapan terhadap dirinya saat ini, siapa pun juga Sivia terus memohon didalam hatinya kalau Orang yang saat ini menculiknya hanya salah menangkap orang. Lagi-lagi Ia berharap Alvin akan menolongnya, atau bahkan ini adalah rencana Alvin ? Tidak mungkin, bukankah tadi malam Pria itu sangat begitu marah padanya, sampai-sampai pagi-pagi sekali Ia telah berangkat bekerja. 

"Alvin.." Sivia bergumam begitu lirih, air matanya mengalir bagai anak sungai yang tengah pasang. Kembali Ia mencoba menggerakkan kedua tangannya berharap rantai itu melepaskan kedua tangannya yang saat ini terasa perih, walaupun Ia tahu sangat mustahil jika rantai itu melepaskan sepasang tangannya. 

"Alvin, aku takut..." Air matanya mengalir lebih deras dari sebelumnya, ketakutan benar-benar menguasai dirinya. 

"Pangeran mu itu sebentar lagi akan menemukan mu. Tetapi......dengan keadaanmu yang terbujur kaku." Sebuah suara mampu membuat Sivia tersentak lantas mengalihkan pandangannya pada pintu kamar besar ini, Ia mengkerutkan keningnya menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas siapa sosok yang tengah berada diambang pintu sana. 'Deg. 

Sivia berusaha menelan ludahnya. "Ze...Zevana?" 

"Ya! Lebih tepatnya Wazeva Tnas, istri dari Phalvin Sena." Sivia terpengah, sosok itu mendekat kearah Sivia yang tengah terbaring lengkap dengan rantaian besi pada sepasang tangannya. Nada yang menguar dan tercampur pada kalimat yang baru saja diucapkan Zavana benar-benar menusuk dan tajam. Tidak, Sivia tidak mempercayai itu. Bagaimana bisa Alvin menikahinya tetapi juga menikahi wanita lain? Hah. Kenapa Alvin melakukan itu padanya? Jika memang pernikahan mereka saat itu hanya berpura-pura tetapi kenapa sangat mewah dan terkesan glamour? Belum lagi para tamu undangannya adalah rekan-rekan penting Alvin, ya... Walaupun saat itu tidak ada Ify sahabatnya menjadi salah satu tamu pernikahannya. Lupakan Sivia, pernikahan mu dari awal hanyalah pembantu bukan sesungguhnya ! Jangan berharap yang tidak-tidak dan jangan pula kau merasa sakit hati mengetahui Alvin menikah dengan wanita lain, Sivia terus membatin menyangkal perasaan-perasaan sakit yang mulai mendera hatinya tanpa ampun. 

"Aku bukan wanita simpanan Alvin, melainkan Istrinya sebelum kau.....walaupun aku tahu dia menikahimu karena alasan bukan pernikahan sesungguhnya." Zevana tertawa penuh kejam dan nyaris seperti mengejek, kenapa rasanya sesakit ini bagi Sivia? 

"Aku marah! Aku sangat marah saat tahu dia menikah lagi, aku......." 

"Hentikan !" Seketika Zeva dan Sivia menoleh kearah sumber suara, dan keduanya terkejut saat mendapati siapa yang tengah berdiri diambang pintu. Langkah Pria itu benar-benar gusar dan marah, matanya menatap Zeva nyalang dan bengis rahangnya mengeras sempurna sehingga menonjolkan tulang-tulang rahangnya. 

*Plakkkk* 

"ALVIN !" Pekik Sivia tak percaya atas apa yang dilakukan Pria itu terhadap Zeva, Alvin hanya menatap sebentar kearah Sivia dan kembali memusatkan tatapan membunuhnya pada Zeva. Ya Tuhan, dengan mudahnya Ia menampar wanita itu hingga Zeva tersungkur ke lantai. Seketika darah mengalir deras pada sudut bibir Zeva. "Apa yang kau lakukan, Hah !" Intonasi yang keluar menunjukkan kemarahan yang sangat begitu besar. 

Alvin terkenal penyayang dengan semua wanita, tetapi? Kenapa rasanya berbeda saat Ia memperlakukan Zeva saat ini? 

"Aku berhak melakukan ini, Alvin. Aku istri mu !" Balas Zeva tak terima, Alvin tersenyum sinis. "Istriku kau bilang? Bisakah kau menerima kenyataan bahwa kau dan aku telah bercerai 2 tahun lamanya." Sivia hanya menatap Alvin dan Zeva dengan tatapan yang sulit diartikan, apakah ? Apakah dirinya telah merusak rumah tangga Alvin dan Zeva secara tidak langsung? Benarkah bahwa dia penyebab bercerainya pernikahan mereka? Jika benar, setelah ini Ia akan menggugat Alvin. Ia berjanji akan menyudahi pernikahan konyol ini. Enough ! 

Tetapi, Alvin mengatakan dia telah bercerai 2 tahun lamanya? Lalu yang sebenarnya terjadi saat ini apa? Sivia benar-benar bingung dan frustasi, berusaha menekan seluruh sakit didadanya saat ini. Ia mencoba untuk mendengarkan saja, tanpa harus berpikir. Sudah cukup, Ia sudah terlalu larut dalam perasaan anehnya terhadap sosok Alvin yang begitu sempurna namun mematikan. 

"Aku mencintai mu, aku masih mencintai mu, Alvin. Bisakah kau kembali seperti dulu? Ku mohon, kita lakukan semuanya dari awal, dan aku? Aku berjanji akan menjaga anak kita lebih baik lagi. Aku berjanji Alvin, ku mohon...." Zeva menangis, tak bisa dipungkiri Alvin juga ikut terhanyut dalam perasaan ini. Dia? Dia merindukan wanita didepannya ini, memeluknya dan rindu akan kehangatan yang terus tercipta dikala itu. 

"Kau tidak tahu Alvin, bagaimana sakitnya aku saat mengetahui berita bahwa kau menikah dengan perempuan itu." Zeva menatap tajam kearah Sivia, dan kembali menatap Alvin yang kini mengalihkan wajahnya kearah lain. Tidak ingin menatap mata itu, tidak ingin menatapnya untuk kesekian kali, tidak ingin lagi terhanyut didalamnya, Ia harus melupakannya. Rasa itu ?tidak Ia harus membuangnya jauh-jauh, Itu tidak pantas untuk Zeva. Alvin pembunuh, benar-benar pembunuh. Membunuh calon bayinya sendiri. 

Sudah banyak kesalahan yang Ia perbuat pada Zeva, terlalu banyak. Ia tidak pantas untuk wanita itu lagi, tidak ! 

"Aku memaafkan mu Alvin, aku telah memaafkan mu. Tetapi kenapa kau tega......" 

"Aku tidaklah pantas untuk mu Zeva, aku pembunuh. Aku pembunuh...." Alvin langsung memotong kalimat dari Zeva, Tubuh tegap itu terperosot ke lantai, entah kenapa Ia merasa tidak lagi bertenaga saat ini. Bayangan-bayangan 3 tahun lalu kembali terngiang-ngiang dipikirannya. 

Tak beberapa lama, seorang dokter dan 3 orang perawat laki-laki masuk ke dalam kamar itu. Sang dokter menatap kearah Alvin, untuk meminta persetujuan. Alvin membalasnya dengan senyum getir, lalu mengangguk. 
"Bius dia terlebih dahulu, jika sudah tenang panggil aku." Perintah Alvin, dokter hanya mengangguk dan menghampiri Zeva. 

"Apa ini? Apa yang kalian lakukan? Aku tidak gila ! Kalian semua brengsek, Alvin ku mohon tolong aku Alvin, aku sudah sembuh! Alvin, kau dengar aku ? Aku mencintai mu Alvin ! Alvin......" Zeva terkulai lemas, saat obat pembius dari suntikan oleh dokter bekerja begitu cepat, Alvin menutup matanya perlahan mencoba mengontrol perasaannya yang mulai berkecamuk hebat. 

Sivia? Entahlah apa yang Ia rasakan saat ini. Tak terasa tangan kanannya disentuh oleh sesuatu, Sivia tersadar lantas menoleh. Ia mendapati Alvin yang tengah mencoba melepaskan tangan Sivia dari rantai-rantai besi itu. "Akan ku jelaskan nanti, dan ku harap kau jangan terkejut." Alvin tiba-tiba bersuara, seperti mengetahui pikiran Sivia saat ini. 

"Maafkan Zeva, dan tidak seharusnya aku berbohong padamu. Ada hal yang tidak ku jelaskan pada mu mengenai bagaimana hidup ku sebelum ini. Aku akan......" 

"Aku muak dengan semua ini, Aku ingin perceraian segera." Kalimat Sivia spontan membuat Alvin terdiam, Ia menatap Sivia tak percaya. Merasa kedua tangannya telah bebas Sivia langsung beranjak dari ranjang itu, membiarkan Alvin yang terpaku duduk diranjang. 

"Sivia !" Sivia berhenti melangkah, tanpa menoleh. Alvin menatap punggung itu, dan kini memastikan bahwa Sivia tengah menyembunyikan tangisannya, merasa dipermainkan? Pasti. Perasaan wanita sangat begitu peka dan mudah tersentuh. 

"Jika itu mau mu, aku akan mengabulkannya. Tetapi kau harus mendengarkan penjelasan ku terlebih dahulu." Kalimat itu benar-benar perintah dan bukan permohonan. 


******** 

Zariel tidak habis pikir apa yangtengah dilakukan wanita cantik dihadapannya saat ini, dia pikir Zariel tidak mengetahui keberadaannya? Wanita ini terlalu bodoh untuk menyembunyikan dirinya dibalik seragam perawat yang Ia kenakan. Zariel berdecak, tampilan yang begitu menonjol. Ia sudah memata-matai wanita ini selama Clara berada di Rumah Sakit, wanita itu tidak mampu menatap Zariel yang saat ini benar-benar marah dan seperti ingin membunuhnya dengan beribu tusukan sebilah pisau yang tajam. 

Zariel menggebrak meja kerjanya begitu keras, sehingga membuat kaca yang melapisi meja itu retak tak beraturan disana, emosinya benar-benar memuncak. Membuat nyali wanita dihdapannya ini semakin menciut takut. 

"Aku tidak pernah ingin berurusan dengan mu!" Tatapan itu benar-benar membunuh dan menusuk. 

"Aku ingin membantu mu." Balas wanita itu masih keukeh dengan pendiriannya. "Karena aku...aku menyukai mu." Oh shitt. Zariel meremas jari-jarinya hingga terkepal hebat disana. Bagaimana bisa, wanita ini menyukainya? Sebuah kejujuran perasaan yang spontan terucap. 

"Aku tidak ada bedanya dengan dirimu, bukan? Tetapi aku rela melihat mu bahagia dengan cinta mu. Aku tidak ingin tangan mu kotor dengan pembunuhan, aku sangat menyayangi mu." Tubuh mungil itu bergetar, dia menangis. Menangis dalam diam, Zariel hanya menatap tanpa simpatik. 

"Tetapi yang kau lakukan saat ini benar-benar menyulut emosi ku, Shilla! Aku tidak ingin Ify mati konyol karena perbuatan mu! Bukan cara bodoh seperti ini yang ku inginkan. Kau mencelakai dia!" 

"Kau berpura-pura menjadi suster Rumah sakit itu lalu masuk kedalam ruangan Clara kembali berpura-pura memeriksa keadaan anak kecil itu lantas memberikan sebuah botol minuman pada Ify yang telah kau campur dengan obat-obatan penggugur kandungan? Ya Tuhan." Suara itu benar terdengar frustasi, Zariel menghela nafasnya berat, sebelum amarahnya terlampiaskan seluruhnya kepada wanita ini, Ia kembalis mencoba menetralkan perasaan amarahnya. 

"Buang semua perasaan mu terhadap ku, sampai kapan pun aku tidak akan memberikan sesuatu yang pasti pada mu, aku hanya mencintai Ify dan seterusnya akan begitu. Berhentilah untuk ikut campur tangan dalam rencana ku." Zariel beranjak lantas melangkah mendekat kearah Shilla, posisi mereka berada pada keadaan sejajar. Shilla yang menunduk dan Zariel yang menatap lurus ke depan. 

"Ini adalah terakhir kalinya kau ikut campur, jika ku taku kau kembali mengikut sertakan dirimu. Aku tidak akan segan-segan memberitakan dirimu hanya tinggal nama pada surat kabar." Kalimat yang terkesan mengancam dan memberikan peringatan secara halus. "Seorang Wanita muda dengan Talenta berbisnis dikawasan Eropa mati dengan cara tragis, membunuh dirinya sendiri dengan sebab yang misterius. Nona Agishilla Lolena." Shilla tersentak lantas menoleh kearah Zariel yang berdiri disampingnya dengan tatapan lurus ke depan, detik kemudian tubuh jangkung itu melangkah meninggalkan dirinya sendiri. Kalimat itu terus terngiang-terngiang dipikirannya hingga membuat setitik embun yang menyelinap pada bendungan matanya menetes perlahan. Dia tersenyum, tersenyum perih penuh dendam, tidak ada bedanya dari Zariel yang juga saat ini penuh dendam. 

"Aku akan terus melanjutkan ini Zariel, akan terus sampai kita menyatu dan bersama." Gumamnya benar-benar yakin. 


******** 

Ia sadar, dan kini mendapati hidung dan mulutnya dibekap dengan tegas oleh sebuah alat pernafasan. Kedua bola mata lembut itu menatap kearah langit-langit ruangan sampai akhirnya tatapannya terhenti pada tangan kirinya. Infusan? 

Ia memejamkan matanya perlahan, kembali membukan kini menoleh kearah samping kanannya dan mendapati jemarinya digenggam lembut dan seperti tidak ingin dilepas. Tanpa sadar bubir tipisnya menciptkan sebuah siluet manis yang terkesan samar dibalik alat pernafasan itu. 

"Rio...." Panggilnya, tak ada respon. Ia berpikir bahwa Pria yang saat ini tertidur serta menggenggam tangannya benar-benar lelah. Ia teringat sebelum semuanya terjadi, kecemasan kembali merajut seperti benang wol yang siap disulam dengan sempurna. Tak terasa air matanya menetes, Ia menangis menumpahkan kecemasan dari aliran yang terus menjuntai disetiap ujung ekor matanya. 

Segukan segukan kecil itu mampu menyita alam bawah sadar Pria ini, Ia terganggu mendengar suara segukan kecil tersebut nyaris terdengar ketakutan yang sangat mendalam. 

"Hey Darling, kau sudah sadar?" Nada itu begitu bahagia bercampur lega, tapi nada itu juga membuat Ify cemas dan takut. Ia ingat jelas bagaimana hebatnya darah yang mengalir pada kakinya saat itu. "Aku takut...." Alis Rio menyatu, Ia kembali meraih jemari Ify lantas mengecupnya penuh sayang. 

"Tidak ada yang perlu kau takutkan, dia benar-benar kuat disana. Kalian benar-benar saling melindungi dan menjaga." Gumam Rio seakan mampu bertelepati, Kembali Ia mengecup kilat jemari Ify, dan perempuan itu merasakan rongga-rongga dadanya diperluas sedemikian rupa hingga oksigen yang tadinya Ia tolak mentah-mentah kini Ia hirup sesuka hatinya. Ia lega dan sangat lega. Mengetahui calon malaikat kecil disana masih bertahan untuknya, untuk hidupnya, untuk Ayah dan Ibunya yang benar-benar mengharapkan kehadiran makhluk kecil yang memiliki kebiasaan menggeliat lucu. 

Ify tersenyum, berganti Ia yang mengecup jemari kokoh Rio yang lebih besar darinya. "Terimakasih, kau menyelamatkan kami." Pancaran mata itu benar-benar alami dan menenangkan. Rio membelai lembut pipi cantik perempuan itu. 

"Ini tugas ku. Katakan apa yang saat ini kau inginkan. Ku rasa kepala cantik mu itu sedang memikirkan sesuatu, sudah lama aku tidak melakukan hal konyol yang selalu kau inginkan." Ify tersenyum lantas melepas alat pernafasannya, Rio menahannya. "Apa yang kau lakukan?" 

"Tenanglah, aku hanya kerasan dengan benda ini. Aku akan baik-baik saja." Rio menggeleng tegas, tidak menyetujui apa yang dikatakan oleh Ify. "Jangan membuat aku khawatir untuk kesekian kalinya sayang, kau tidak ingin bukan? Melihat ku marah layaknya singa yang terbangun karena terganggu?" Ucap Rio tak acuh dan sarkastik, Ia kembali memasangkan benda itu pada Ify. 

Ify menghela nafasnya berat. "Dasar Keras, seperti batu kau menyebalkan." Balas Ify sengit

"Ya ya ya, marahlah sesuka hati mu. Karena aku tidak akan terpengaruh, kau benar-benar perempuan kecil yang pemarah ku rasa." Ify memutar bola matanya, merasa hanya sia sia melawan sikap Rio yang satu ini. Pemaksa dan selalu ingin menang, terkesan egois. Tapi Ia senang, bagian Egois dari Rio beralih tempat menjadi sebuah perhatian yang begitu posesif terhadapnya. 

Rio menatap Ify dalam, memposisikan wajahnya lebih mendekatp pada Ify. Detakan jantung kedua berdentum-dentum bak seperti drum yang tengah dipukul keras, desiran darah keduanya juga ikut serta merta mengiringa irama dan rasa-rasa aneh yang seperti menggelitik gelamir paru-parunya sehingga sulit untuk bernafas secara normal. 

Rio tersenyum, jarinya menyingkap pelan poni Ify yang saat itu menutupi matanya. Mata itu, mata coklat pekat yang menyembunyikan seluruh misteri kenapa Ia bisa mencintai perempuan ini tanpa obsesi, tanpa alasan, mampu menghipnotisnya tampak lebih nyaman dan selalu mengisi bagian kosong dari dirinya. "Katakan sesuatu, aku ingin mendengarkan petuah semangat mu untuk ku." Gumam Rio, dengan jarak sedekat ini begitu membuat nafas Ify tercekat dan sulit untuk bersuara. 

Rio benar-benar mengunci perhatiannya. Sosok tampan ini tak ada bedanya seperti dewa-dewa yang tengah turun dari peradabannya, wajah tampannya memang selalu menarik perhatian. 
Ify menelusuri kembali dari rambut, dahi, alis, sepasang mata tajamya, lalu hidung, pipi, bibir sampai terakhir dagunya. Tak terasa Ia manarik ujung bibirnya hingga melengkung keatas dengan bangganya. Ini Rio, kekasihnya yang sebentar lagi akan menjadi pendampingnya. 

"Kau ingin aku mengatakan sesuatu?" Tanya Ify, tatapan itu masih terus beradu. Rio mengangguk kecil. "Katakan sayang." 

"Jika suatu saat nanti ada Pria yang berani dengan gagahnya mencuri seluruh perhatian ku, kasih sayang ku, dan cintaku melebihi untuk mu. Kau harus mengalah padanya, karena dia yang terbaik bagi ku." Alis Rio bertaut, apa-apaan ini? Kenapa Ify justru mengatakan hal yang membuat cemburu dan memanas. "Tidak akan pernah aku mengalah !" Balas Rio penuh marah, tatapan itu berganti menjadi sarkastik. Deru nafas itu menunjukkan letupan-letupan emosi kecil yang siap membesar. 

Ia menjauhkan wajahnya dari Ify, bersiap-siap untuk menjauh. Tapi lengan kokoh itu tertahan oleh jemari-jemari lentik yang kini menahannya. "Aku belum selesai." Setengah tak berminat, Rio kembali. 

"Apa?" Jawabnya dengan malas, Ify tersenyum geli. "Kau tidak ingin tahu siapa sosok Pria yang ku maksud?" Ify kembali menggoda Pria dihadapannya dengan senyuman menyeringai. 

"Cisshh. Zariel !" Jawab Rio penuh dramatis, tidak berminat menatap Ify. Dasar Pria bertempramen tinggi, selalu berpikir dengan spontan tanpa ingin menelaah bagian-bagian khusus dari kalimat yang Ify ucapkan tadi. 

"Jauh sekali pikiran sampai kesana. Coba telaah kalimat ku sekali lagi." Gumam Ify mencoba bersabar, ternyata Rio juga sangat menguras kesabarannya. Nampak lelaki itu berpikir, membuat Ify bosan menunggu. "Ya Tuhan Rio, sebegitu sulitnyakah kau berpikir? Aku menjadi ragu perusahaan mu berkembang sangat pesat bukan dari usahamu." 

"Enak saja kau berucap." Jitakan kecil mampir begitu indah pada kepala cantik Ify. Rio kembali mendekat, mengecup lama kening Ify. Ify memejamkan matanya merasakan kehangat itu menjalar, bahkan saat ini Ia mencium aroma musk yang bercampur alami dengan tubuh Rio. Sangat nyaman dan menengkan, Pria ini sangat mengurus dirinya. Tidak membiarkan sedikitpun ada yang terlihat mengganjil pada fisiknya secara keseluruhan. Sial! Dia begitu menggoda. 

"Ini jawabannya. Aku tidak akan membiarkan Pria itu mengambil semuanya yang telah ku punya dari mu secara keseluruhan. Aku Pria yang egois bahkan Ayah yang sangat egois. Aku tahu Pria itu, dialah yang nanti menjadi pewaris kekayaan dari Ayahnya. Pewaris dengan nama Arga dibelakangnya, Pewaris Arga Gardian. Walaupun nanti aku bisa saja cemburu dengan anak ku sendiri, ku mohon kau mengerti." Ify tergelas ada rasa haru dan senang. Tetapi tetap saja lelaki ini tidak akan mengalah, Ya Tuhan Rio. Bisakah dia tidak mementingkan perasaannya sendiri walaupun itu nantinya adalah anaknya sendiri? Hah, Rio tetaplah Rio. Sosok pembisnis muda yang berhasil kaya dan berkuasa. Sosok Arogan yang kini berubah menjadi sosok penyayang, walau tak menampik sifat Keras kepalanya, egois dan pemaksa masih kerap kali menghantuinya. Yah, itulah mungkin ciri khas dari seorang pembisnis muda itu yang tidak akan ada yang menyamakannya. 

"Baiklah men, kau berhasil membuat ku melambung tinggi." Rio menyentil hidung bangir Ify dengan gemas. 
"Tidak akan ku mapuni kau disaat malam kedua nanti." Ucap Rio menyeringai. "Berhentilah menggoda ku men." 

"Bukankah dengan seperti itu, kita bisa menghasilkan Pria yang kau maksud dengan lebih banyak lagi, mungkin." Ify meraih ujung selimutnya lantas menyumpalkannya begitu saja pada mulut Rio yang tengah sibuk berbicara. Tidak jelas yang jatuhnya menggoda Ify. 

"Lanjutkan saja pembicaraan konyol mu dengan selimut itu." Balas Ify cemberut, Rio tersenyum senang melihat wajah itu kembali ceria. "Aku akan terus menjaga senyum mu, senyuman yang selalu menjadi semngat pendorongku. Karena senyummu adalah obat utama dari segalanya. Aku berjanji, aku berjanji akan meneliti lebih jelas siapa yang berani mencelakai mu. Aku bahkan akan lebih Gila jika mengetahui dalang dari semua ini adalah..... Zariel." Tatapan itu penuh api yang menyala, Ia akan mencoba bersabar untuk saat ini. Tapi nanti? Jika lebih membahayakan dari ini, Ia tidak akan segan-segan untuk untuk membalasnya. 


******* 

Hati Agni mencelos saat mendapati Clara tidak ingin didekati olehnya, bahkan si kecil lucu dan menggemaskan itu sekian kali menangis jika Agni mendekatinya. Berbeda dengan Cakka, Clara lebih dominan memberikan respon positif pada Cakka. Lihat saja dia tengah bermain dengan cerianya dengan Ayahnya itu. 

"Cakka?" Panggil Agni mencoba membuyarkan keceriaan diantara keduanya yang tengah asyik bermain. Cakka hanya berdehem tanpa ingin menoleh membuat Agni bertambah cemberut saja. 

"Apa aku boleh mendekat kesana?" Entahlah, sudah berapa kalia Ia menanyakan hal yang sama sejak tadi. "Tidak, jangan mendekat. Kau ingin Clara menangis lagi untuk kesekian kalinya pula? Kau pikir mudah merayunya agar tidak menangis lagi." Agni menghela nafasnya dengan berat. 

Dia ingin menggendong Clara, anaknya. Kenapa si kecil itu tidak peka sekali padanya. Huh, "Clara? Ayolah bersama Mama. Jangan selalu bersama Papa mu sayang." Apa? Agni memanggil Cakka dengan sebutan Papa? Tidak salah dengarkah Cakka saat ini? Benarkah itu? 

Dengan tidak tega, Cakka beranjak lalu mendekat kearah Agni. Mendorong kursi roda itu tepat disamping Bed Clara, dan sikecil itu hanya menatap Cakka lalu menatap Agni dan tatapannya.......kembali ingin menangis. 
Cakka tersenyum geli, lalu memposisikan dirinya begitu dekat dengan Clara. 

"Dia Ibumu, Mama mu yang sebenarnya. Dan kau cantik, tidak perlu takut atau bahkan menangis. Mama mu sangat menyayangi mu, jauh lebih besar sayangnya daripada Bubumu menyayangi mu. Kami adalah orang tua mu, orang tua mu yang sebenarnya." Agni menatap Cakka tanpa berkedip, Cakka pribadi yang lembut dan sangat begitu pengertian. 

"Cakka.." Cakka mengalihkan tatapannya pada Agni. "Ya.." 

"Clara perlu waktu untuk membiasakannya dengan ku, aku akan bersabar." Cakka tersenyum lantas menyapu lembut lengan Agni. "Baiklah." Jawab Cakka. 

"Ada yang harus kau tahu." Cakka nampak gusar, ingin mengatakan sesuatu. "Katakan saja." Cakka meneguk ludahnya dengan susah. 

"Kau tahu Clara mengalami penyakit Thalasemia mayor?" Agni mengangguk. "Bukankah kau yang memberitahuku? Bahkan bagaimana definisi penyakit itu." Cakka mengangguk. 

"Kau tahu itu keturunan Gen dari orang tua?" Kembali Agni mengangguk. Cakka melepaskan sepatunya. "Perhatikan baik-baik jari-jari kakiku." Agni memperhatikan jari-jari itu dengan seksama, lantas Ia tersentak. 

"Cak...Cakka...kau...kau.." Agni benar-benar tak percaya. "Ya, aku mengalami penyakit yang sama dengan Clara. Faktor Gen Orang tua, hanya Sivia yang tahu keadaanku. Tetapi karena penyakit ini bersifat keturunan? Aku mulai sembuh dan menurun pada Clara. Walaupun penyakit ini masih meninggalkan tanda-tanda seperti ini." Jari-jari kaki Cakka, berbeda satu sama lain. Pada jari kaki kiri tengah dan kanan mengalami bentuk ruas jari yang melebihi panjang dari semua jari kakinya. Inilah yang merupakan kelainan-kelainan yang diderita oleh orang penyakit Thalasemia. 

"Aku tidak ingin Clara seperti ini, aku akan melakukan Operasi sumsum tulang belakang untuk Clara." Mulut Agni membulat, respon dari bahasa tubuhnya yang menandakan Ia tak percaya. Jadi, Cakka mempunyai penyakit ini? Dan menurun pada Clara? Lalu, saat ini Ia akan mengorbankan sumsum tulang belakangnya untuk Clara? Putrinya? 

"Tap...Tapi...Kka..." Cakka menggeleng tegas. "Aku ayahnya dan berhak melindungi juga menjaganya, mengorbankan apapun itu demi putri ku. Kau ingat janji ku, bukan?" Agni tersenyum samar lantas mengangguk. 

"Terima kasih Cakka." Refleks Agni menggenggam jemari Cakka dengan lembut. Cakka begitu senang, bahkan beribu kali lipat senangnya saat melihat perlakuan Agni saat ini. 


******* 

Sivia menatap punggung itu membelakanginya, Pria itu menatap keluar kaca besar yang saat ini dihadapannya, bukan fokusnya bagaimana orang-orang diluar sana. Melainkan Ia mengkilas balik memori masa lalunya yang begitu hitam pekat dan gelap. 

"Zeva memanglah Istriku saat itu, aku menikah dengannya kurang lebih 4 tahun yang lalu. Kami saling mencintai satu sama lain, tidak ada satu pun dari kami saling menutupi permasalahan yang ada. Aku bukan seorang Alvin yang suka menghipnotis seperti yang kau bilang saat itu, aku benar-benar mengubur Ilmu aneh itu dari diriku. Dan itu demi....Zevana. Aku sangat mencintainya, dan aku akan melakukan apapun itu deminya." Alvin tersenyum getir, mencoba mengendalikan emosinya. Tangannya terkepal hebat disana, menunjukan buku-buku jarinya yang mengetat. 

Ada perasaan aneh mulai mengusik kembali hati Sivia, kenapa ulu hatinya terasa sakit seperti ini? Gelamir paru-parunya seakan-akan berhenti bertugas. 'Apapun demi Zeva?' Ah, astaga. Hanya kalimat itu, Kenapa rasanya sesakit ini? 

"Saat itu aku melihatnya tengah memeluk seorang Pria yang tidak ku tahu siapa, aku tidak mengenali Pria itu. Aku menunggunya di Rumah akan kepulangannya, aku terus menunggu dan menunggu hingga larut malam. Sampai akhirnya dia pun pulang, aku benar-benar marah saat itu belum lagi perihal dia tengah memeluk seorang Pria. Kemarahan ku memuncak, tetapi dia tidak menyadari kemarahan ku. Begitu senangnya Ia menceritakan bahwa Ia tengah hamil muda, dia bilang dia tengah mengandung anak ku yang saat itu baru berumur 3 minggu. Pikiran-pikiran buruk ku bekerja cepat saat itu, aku berpikiran bahwa itu bukan anak ku melainkan anak Pria yang tengah Ia peluk beberapa waktu lalu. Aku tidak mempercayainya, aku marah besar. Aku berusaha tidak membaca pikirannya apakah dia berbohong atau tidak, karena aku sangat memegang janji. Pikiran kotor ku terus bergejolak dan bercampur hebat dengan rasa cemburu ku. Aku mendorongnya begitu keras hingga membentur tembok....." 
Sudah, Alvin sudah tidak bisa menahan embun yang sejak tadi menghadang pada bendungan matanya. Air matanya mengalir mengiringi luka lama yang Ia perbuat sendiri saat itu. 

"Kau tahu Sivia?" Alvin kini berbalik dan menatap tajam pada Sivia. "Aku ternyata pembunuh, aku membunuh anak ku sendiri, aku membunuhnya. Zevana keguguran dan mengalami pendarahan hebat, hingga nyaris tak tertolong. Karena benturan dan kehilangan bayinya, Zeva mengalami gangguan jiwa. Seperti....saat ini." Bertepatan dengan itu Alvin memejamkan matanya, kembali mengingat kesalahan terbesarnya pada Zeva. 

"Dan Cincin yang ku berikan pada mu, aku menyuruh mu untuk menyimpannya agar jangan sampai hilang. Itu adalah cincin perkawinan ku dengan Zeva, hanya itu benda satu-satunya yang ku punya sebelum Zeva menjalani pengobatan diluar negeri. Kami pun resmi bercerai tuntutan dari Orang tuanya, padahal saat itu aku sangat mencintainya. Aku akan menerima seluruh keadaannya sekalipun tengah gangguan mental." Sivia hanya diam, benar-benar sulit baginya untuk mencerna semua ini. Jadi benar? Alvin seorang Duda? 

"Aku mengira saat kedatangannya kesini, dia telah sembuh total dan menerima kenyataan. Tapi ternyata dia berpura-pura seolah-olah telah sembuh dengan menipu dokternya disana. Dia masih mengalami gangguan jiwa...." 

"Aku kesepian dan berusaha menebus semua dosa-dosaku melalui wanita-wanita yang tengah dekat ku, sebaik mungkin aku memperlakukan mereka nyaman terhadapku. Walaupun ku tahu, mereka hanya mengejar popularitas dan kekayaan ku." Jadi ini yang sebenarnya? Rahasia dibalik seorang Phalvin Sena? Yang terkenal loyal dan penyayang kepada semua wanita? 

"Alvin...." Tak sengaja Sivia bergumam, Alvin kembali menatapnya lantas menyeka pelan air matanya sendiri. "Sungguh dramatis? Dan aku pembunuh. Aku tahu kau akan membenciku. Kau bisa tenang aku akan mengurus perceraian itu." Alvin kembali berbalik menghadap kaca. 

"Ada yang harus kau tahu, aku.....aku mencintai mu tanpa ku sadari. Aku selalu mengingat mu ketika ku bekerja, aku selalu mencoba membaca keadaan mu dari jauh. Dan malam itu? Aku benar-benar marah Sivia, aku sangat marah, aku takut kejadian Zeva dahulu terulang pada mu. Aku tidak pernah menganggap pernikahan ini hanya kebohongan, aku menganggapnya nyata dan sesungguhnya. Aku berusaha sebisa mungkin agar kau nyaman dengan ku, tapi ternyata itu hanya sia-sia. Aku terlalu banyak berharap." 
Deg. Jantung Sivia seakan-akan berhenti. Benarkah itu? Benarkah yang dikatakan oleh Alvin? Dia mencintainya? Selama itu? 

"Alvin..."Kembali Sivia bergumam, namun dipotong oleh Pria itu. "Kau tidak perlu kasihan padaku, aku tidak membutuhkan itu. Aku hanya menyampaikan perasaan ku yang terus ingin tersalurkan dan ku rasa ini waktu yang tepat. Aku tidak pantas bersanding dengan gadis polos seperti mu, aku pembunuh." Sivia menggeleng, Ia menangis haru. Gerakan refleks Ia berlari lalu menubruk punggung bidang dan kokoh itu. Sivia menangis dengan memeluk pinggang Alvin, memposisikan kepalanya pada bahu Pria itu. Kehangat itu Ia rasakan. Alvin tercekat dan hanya bisa berdiam dalam posisi tak menyangka seperti ini. 

"Aku mencintai mu Alvin, aku juga mencintaimu." 


******* 

Ify merasa pada ruangan ini yang terbalut dengan cat berwarna putih polos. Ia sendirian disini, ingin rasanya Ia menjenguk Clara. Tetapi Ia ingat pesan Rio, bahwa lelaki itu tidak mengijinkannya keluar dari ruangan. Saat ini Pria itu berada dikantor, itupun hanya dipaksa oleh Ify agar bekerja. 

Bosan sekali rasanya, hanya berbaring seperti ini dan ditemani sebuah Tv. Jika memilih? Ia lebih memilih bermain dengan Clara, Ia merindukan bau lembut khas bayi dari Clara. 

Pintu ruangan itu terbuka, Ify mengkerutkan keningnya. Matanya melotot saat mendapati siapa yang saat ini tengah melangkah pelan menuju kearahnya. -Zariel Ltuno-. Entah kenapa, Ify merasa cemas. 

"Jangan takut, Ify. Aku tidak akan menyentuh mu." Seakan-akan mampu bertelepati pikiran gadis cantik itu. 

"Mau apa kau?" Zariel tersenyum, dan hanya dibalas tatapan siaga dari Ify. 

"Aku hanya ingin memberitahu mu, temui aku ditaman Rumah Sakit ini. Hanya kau, tidak ada yang lain. Ada sesuatu yang harus kau tahu, percaya pada ku Ify, aku tidak akan melakukan apapun yang membuat muterluka. Aku tetaplah seorang Zariel yang mencintaimu dan tidak ingin membuat mu terluka....". Zariel menghela nafasnya berat. 

"Aku tetaplah Zariel yang selalu menjaga mu, malam ini ditaman jam 8. Aku menunggu mu disana, aku janji ini terakhir kali." Tatapan itu menatapnya penuh permohonan sampai akhirnya Zariel pun menghilang dibalik pintu. 


********** 
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Frisca Ardayani Book's - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger