Home » » Baby For Alyssa ( Part 17 )

Baby For Alyssa ( Part 17 )


Alvin melangkah ragu menuju sebuah ruangan yang berada di kiri sayap perusahaan bertandang ini. Sedikit gugup dan raut wajah yang nampak berpikir keras, Ia mencoba untuk membuang pikiran-pikiran buruknya, yang harus Ia lakukan saat ini, untuk berlaku profesional dan tidak mementingkan dulu permasalahan pribadinya dengan Pria yang memiliki perusahaan ini yang mulai mengembangkan nama didunia bisnis. Sahabatnya sendiri -Zariel Ltuno-.

Ia begitu ingat jelas, beberapa minggu lalu saat Zariel mengetahui semuanya dan bagaimana marahnya Zariel waktu itu. Hampir saja dirinya mati konyol akibat pukulan-pukulan mentah Zariel yang terus menyerbunya tanpa ampun. Alvin tahu, Zariel tidak akan membunuhnya, sejahat apapun Zariel lelaki itu adalah sahabatnya. Inilah yang menjadi point penting bahwa pemikiran Alvin saat membaca pikiran Zariel, karena sebenarnya lelaki itu hanya diliputi rasa kacau dan tekanan hati yang begitu meluap.

Zariel masih menganggap Alvin adalah sahabatnya, sahabat sejak kecilnya, sahabat yang selalu rela membantunya. Itulah pemikiran Alvin saat membaca pikiran Zariel, masih ada rasa sayang disana.

Alvin tersenyum samar, saat mendapati dirinya kini telah berada didepan ruangan Zariel. "Zariel sahabat mu, tidak ada yang perlu kau benci darinya." Ia menghela nafasnya pelan lantas mengetuk pintu tersebut sehingga pintu otomatis itu pun terbuka lebar beberapa detik, Alvin melangkah pelan memasuki ruangan ini yang entah kenapa setelah sekian kalinya Ia keluar masuk ruangan ini sesuka hatinya, baru kali ini Ia merasakan hawa dingin yang begitu menusuk dan mencekam.

Didapatinya, Pria jangkung tengah berdiri tegak membelakanginya sedang menggenggam segelas Wine. Yah, Alvin tahu itu.

Sekian detik mereka berdua masih berdiam dengan posisi yang sama, tak ada suara sedikit pun. Karena merasa bosan, Zariel akhirnya mulai membuka suara.

"Kenapa kau hanya berdiam ?"
Suara itu mampu membuat Alvin tersentak, Ia meneguk ludahnya susah dengan tatapan yang kini menatap lekat punggung tegak Zariel, yang tengah memutar badannya tepat menghadap Alvin. Saat ini mereka dibatasi oleh meja kerja besar Zariel.

"Aku kesini untuk....."

"Aku tahu maksud mu." Potong Zariel dengan tatapan tak berminat menatap Alvin. Ia meneguk habis segelas Wine yang sejak tadi bertengger pada jari-jari kokohnya. "Aku membatalkan perceraian itu." Alvin terpengah, tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Zariel, Hey ! Bukankah, lelaki ini begitu menginginkan perceraiannya dengan Agni, bukan. Lalu ? Apalagi yang Ia rencanakan saat ini ?

"Kau bercanda, Zariel ?"

Zariel menatap nyalang kearah Alvin, rahangnya mengetat. “Aku telah membatalkan kontrak kerja ini dengan mu. Itu berkas yang kau perlukan, aku tidak membutuhkannya lagi.” Alvin menggeleng tidak mempercayai apa yang diinginkan Zariel saat ini. Apalagi yang sebenarnya tengah lelaki itu rencanakan ?.

“Apa yang kau tunggu ? kau bisa pergi sekarang !” Alvin kembali tersentak, tatapannya berubah tajam menatap Zariel. ‘Deg.

Ah, Ya Tuhan ! jadi ini, jawaban kenapa Zariel tiba-tiba membatalkan perceraiannya dengan Agni ? Tidak, Alvin tidak akan tinggal diam. Zariel masih berpikiran untuk menyakiti Agni ? Pikiran lelaki itu benar-benar terkabut kebencian dan penuh dendam. Tatapan Zariel yang awalnya penuh kemarahan pada Alvin, kini tatapannya begitu kosong, hampa sama sekali tidak ada tatapan mengerikan yang selalu Zariel hadirkan untuk menutupi kerapuhannya.

Alvin memejamkan matanya. “Maafkan Aku, Zariel. Aku harus melakukan ini, sudah cukup permasalahan yang muncul belum terselesaikan.” Mata berwarna biru pucat itu kini kembali menatap Zariel.

“Ikut aku, kita harus menghadiri Pesidangan perceraian mu.” Sosok Zariel hanya mengangguk pelan, gelas yang tadi digenggamnya jatuh begitu saja kelantai, Zariel lalu melangkah sehingga mendahului Alvin.

Ada rasa tidak tega, dan saat ini Alvin menghardik dirinya begitu jahat dan kejam, karena dengan lancangnya mempengaruhi pikiran sahabatnya sendiri, inikah yang dinamakan sahabat ? Ia melangkah lebih pelan agar tidak menyamakan langkah kakinya dengan Zariel.

“Kau bisa membunuh ku……….setelah ini.” Ucap Alvin lantas tersenyum getir. Alvin tidak akan main-main dengan ucapannya, setelah Perceraian Zariel dan Agni selesai, Ia tidak akan takut bagaimana respon Zariel setelah sadar dari pengaruh tatapan Alvin. Apapun yang nantinya terjadi pada dirinya, entah mati ditangan sahabatnya ini atau hanya luka-luka ringan karena pukulan seperti beberapa minggu yang lalu.


********

Ify tengah mengajak Clara berbicara, Perempuan itu berusaha mengajari Clara untuk mengatakan sepatah atau dua patah kata, Ify tahu itu mustahil mengingat sekarang Clara baru berumur 10 bulan masih ada 2 bulan tersisa yang biasanya minimal sebagai Awal untuk anak-anak seumur Clara berlatih berbicara. Tapi, sepertinya Clara terlalu cerdas lihat saja saat Bibir tipis mungilnya itu tengah bergerak-gerak lucu sambil sesekali menatap Ify yang berbicara persis mengeja.

"Ayo ikuti Bubu. A - Yah." Ucap Ify lagi lagi dan lagi, sebenarnya Ia tidak memaksa Clara untuk mengikutinya hanya saja si kecil lucu itu membuat Ify ingin tertawa geli saat Clara mencoba untuk mengikutinya.

"Bu....bu....bu.." Ify tergelak mendengarnya, padahal Ify menyuruh si lucu itu untuk mengatakan kata 'Ayah' kenapa yang dikatakannya malahan memanggil Ify -Bubunya-. Melihat Ify tertawa ternyata membuat Clara mengikutinya tertawa matanya menyipit saat tengah tertawa dengan 2 gigi kapak yang berada dirahang atasnya serta 2 gigi seri berada dirahang bawahnya membuat si lucu itu terlihat menggemaskan.

"Kau merasa baik ya sekarang ?" Tanya Ify kembali mengajak Clara berbicara, ada rasa khawatir yang terus merasuk dihatinya dengan kondisi Clara saat ini. Clara terlalu kecil dan polos untuk penyakit seberat itu, Ify memejamkan matanya berusaha mengendalikan agar embun yang tadi akan menyelimuti alat indera penglihatannya tidak keluar dari penampungnya. Ify tidak ingin lagi menangis dihadapan Clara, Clara membutuhkan semangatnya bukan kesedihan.

Ia jadi teringat saat malam kemarin bahwa dia mengatakan semuanya pada Rio, semuanya. Dia telah mengetahui semua itu bahkan sejak awal saat dimana Rio melakukan dan merenggut semuanya darinya. Marah ? Sudah pasti saat itu, tapi Ia mencoba untuk bersabar dengan mencari alasan kenapa Rio melakukan itu. Tak bisa dipungkiri Ia merasa dirinya telah hancur dan hidupnya sebentar lagi tidak akan ada bedanya seperti sampah.

Ia berpura-pura untuk tidak terlihat seperti mengetahui semuanya, Walaupun malam perenggutan itu terjadi, Ify masih setengah sadar dan merasakan semuanya. Dan saat Ia mendapati dirinya berada dirumah kontrakannya lengkap bersama Sivia dan juga Alvin, membuat kecurigaannya memuncak.

Ia tahu mereka berbohong, saat sebelum Sivia berpamit pulang ke Desa, Ify mendesaknya dan membuat Perempuan beralis tebal itu menceritakan semuanya, semuanya secara terperinci, malam perenggutan itu didasari dengan dendam Rio terhadap Zariel kakaknya karena tega menyakiti Perasaan Agni, mantan tunangannya yang sangat dincintai oleh Rio tetapi Perempuan itu selalu berbohong pada Rio dan hanya menjadikan Rio sebagai alat untuk mendekati -Zariel-.

Penjebakan dari Rio agar Zariel akhirnya menikahi Agni dengan alasan karena anak yang tengah dikandung oleh Agni adalah anak dari Zariel, tetapi hidup ini memang benar-benar penuh dengan drama. Anak kecil cantik yang kini dihadapannya adalah anak dari Kakak Sivia -Kucakka Xeya-, bukan anak dari Zariel.

Zariel menikahi Agni karena keterpaksaan sehingga membuat hubungan antara Zariel dan Ify menggantung begitu saja. Sudah, Ify sudah melupakan Zariel karena saat ini hatinya benar-benar tertakluk hebat kepada sosok adik Zariel -Argario Tersaa-.

Dunia ini begitu sempit, Ify menggelengkan kepalanya berusaha untuk tidak memikirkan hal-hal buruk lagi. Ify sangat yakin, Rio benar-benar mencintainya apalagi ada bagian dari Rio yang kini berada didalam tubuhnya. Ify tersenyum, tidak seharusnya Ia meragukan cinta Rio saat ini.

Kecupan lembut bertumpu pada puncak kepalanya membuat Ify tersadar lalu mendongak lantas mandapati Pria tampan mengenakan kemeja hitam katun dan Jas kerjanya menggantung dipundak, penampilan yang begitu Fresh apalagi disekitar dagu daerah jambangnya yang nampak berbulu tipis beberapa waktu lalu, sepertinya baru saja dicukur olehnya, nampak lebih elegan dan rapi. Aturan rambut yang selalu acak - acakan inilah yang menjadi daya tarik sendiri pada dirinya, sangat.....mempesona.

"Kau tak berkedip ?" Ia tergelak geli, Ify tersentak mengalihkan wajah merah meronanya karena begitu mengagumi struktur yang terpampang jelas pada bagian-bagian siluet dari sosok Pria didepannya ini. Ah ! Dia begitu tampan sekali hari ini, sial.

Ify menjadi gugup sendiri dibuatnya. "Clara masih tidur ya. Ku pikir dia sudah bangun." Tatapan Ify langsung tertuju pada Clara, Ah ya ! Dia melupakan malaikat kecilnya, Ify mengkerutkan dahinya lantas tersenyum geli.

"Dia tertidur kembali ternyata."

"Sebelumnya dia sudah bangun ?" Tanya Rio, Ify mendongak lalu mengangguk geli. "Dia sudah bangun sejak kau pamit pulang untuk ke kantor, karena aku begitu asyik melamun saat bermain dengannya. Aku jadi melupakan Clara, ceroboh sekali." Jawab Ify merutuki dirinya sendiri, untung saja Clara tidak jatuh dari Bednya melainkan tertidur sekarang.

Rio tiba-tiba saja berjongkok tepat didepan Ify yang sedang duduk dikursi, Ify mengkerutkan keningnya. "Apa lagi yang kau pikirkan ? Jangan bilang, kau kembali meragukan cinta ku ?"

Ify menggigiti daging bibirnya, sepeka itukah Rio ? Ia kembali tersenyum, lantas mengambil Jas kerja Rio yang masih menggantung pada bahu kokoh lelaki tampan dihadapannya ini lalu kedua tangannya memegang lembut wajah Rio yang sangat begitu dekat dengannya, menatap sepasang mata tajam namun penuh keteduhan itu begitu dalam.

"Aku hanya takut, tiba-tiba ku tahu kau hanya mempermainkan persaan ku." Rio meraih kedua tangan Ify yang tengah memegang wajahnya lantas mencium kedua tangan mungil Ify secara bergantian. "Tidak akan, seharusnya aku yang takut kau pergi dari ku. Zariel begitu mencintaimu, dia orang pertama dan lebih awal memiliki mu."

Tatapan Rio berubah sayu. "Aku beranggapan, lambat laun kau akan meninggalkan ku. Tapi aku percaya dengan janji mu, kau tidak akan pernah meninggalkan ku, apapun alasan itu apapun dan apapun." Kembali Ia mengecup tangan Ify secara bergantian.

"Clara....Clara akan diambil oleh Agni, aku harap kau bisa menerima kenyataan ini. Aku tidak punya hak, karena Clara memanglah anaknya. Setelah persidangan perceraiannya nanti, dia akan kesini." Jelas Rio, tatapan Ify langsung tertuju pada Clara.

Benarkah ? Benarkah sebentar lagi tidak akan ada Clara disisinya ? Clara akan tinggal bersama orang tuanya, dan bukan lagi bersama Rio maupun dirinya. Tak terasa air matanya mengalir dan menatap kosong Clara yang tengah tidur, usapan lembut pada pipinya membuat Ify menoleh.

"Kenapa menangis ? Kau takut kehilangan Clara ?" Tanya Rio lembut, Ify hanya mengangguk tidak mampu bersuara. Refleks, Ify memeluk Rio dan menangis tersedu-sedu dalam pelukan itu. "Aku menyayangi Clara, Rio. Aku menyayanginya."

Jujur. Rio sebenarnya tak ada bedanya dengan perasaan Ify saat ini. Kehilangan ? Pasti. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya setelah ini. "Fy...." Rio melepaskan pelukannya dengan lembut kembali menghapus Air mata Ify yang terus mengalir.

"Dengar aku baik-baik, kita masih bisa menjenguk Clara kapan pun kau mau. Dan yang terpenting....." Rio menggantungkan kalimatnya melirik kearah perut Ify lalu tersenyum.

"...aku ingin anak ku sehat dan sama lucunya seperti Clara, aku harap kau tidak melupakan hal itu. Dia disana mendengarkan semua apa yang kita katakan, kecil dan belum terjangkau oleh ku hanya kau satu-satunya tempat untuk Ia berlindung. Masih ada kewajiban lain yang lebih penting, dia juga menginginkan posisi mu sebagai Ibunya." Ify terdiam, menatap Rio lalu tersenyum haru. Apa yang dikatakan oleh Rio benar, Ia hampir saja melupakan hal baru. Hal yang begitu penting dan kewajiban baru dirinya.

Ify meraih tangan Rio lalu memposisikan tepat diperutnya. Rio hanya menurut lengkap dengan senyum bangga. "Apa yang kau rasakan disana ?" Rio tersentak lalu menarik kembali tangannya. Ify menatapnya bingung. "Kenapa ?"

"Di...di..dia..sepertinya marah pada ku." Lama Ify terdiam kembali. "Marah ?"

"Ya, Ify..." Jawab Rio cepat

"Bagaimana kau tahu ?"

"Dia seperti menolak tangan ku yang berusaha mencari keberadaannya disana saat kau menempelkan tangan ku pada perut mu." Jelas Rio wajahnya memucat, Ify menahan tawanya.

"Jangan bilang kau akan takut kembali dengan bayi, seperti Clara waktu itu." Rio menggeleng. "Lalu ?"

"Dia bilang......" Rio mencondongkan wajahnya tepat ditelinga Ify.

"....Papa harus menikahi Mama segera. Seperti yang Mama katakan Malam itu." Rio tergelak tawa, sedangkan Ify ? Dengan wajah memerah memukuli Rio karena malu juga senang. Ia berharap, Tuhan tidak merencanakan untuk menghancurkan hubungannya ini. Hubungan yang sebentar lagi akan membawa mereka pada suatu Perjanjian yang sakral, janji kepada sang Pencipta.


*******


Sivia tidak ingin lagi membuat Alvin marah, maka dari itu Ia mencoba masak sesuatu yang bisa dimakan. Ya, mudah-mudahan saja lidah Alvin agak bersahabat dengan masakan kampungnya. Ini bukan sebagai dia berbakti sebagai Istri, melainkan hanya untuk tanda meminta maaf, semoga saja Alvin menyukainya.

Mungkin saja Alvin tidak tertarik dengan masakannya nanti, atau bahkan membuangnya begitu saja ? Setidaknya Ia mencoba dulu sebelum pikiran-pikiran buruknya mengacau masakan yang akan dibuatnya ini. Dan Cakka pernah memuji masakan Sivia enak, bukan ? Ah. Dicoba saja dulu...

Lemari pendingin itu benar-benar penuh dengan makanan Instan, Daging kaleng, Mie instan, semuanya berbau kaleng dan Instan untung saja Buah-buahan tidak. Sivia sempat berpikir melihatnya saja Apa makanan kaleng itu bisa dimakanan ? Lalu, bagaimana cara memasaknya ?

Hah ! Alvin pikir mereka akan sehat memakan makanan seperti ini, Sivia kembali bingung, apa yang akan dia masak jika semuanya serba instan begini ? Apakah dia harus ke Supermarket untuk membeli sayur-sayuran yang segar ?

Jika Ia meninggalkan rumah, tiba-tiba Alvin pulang. Sivia tidak bisa berpikir bagaimana marahnya Alvin nanti, tadi malam saja sukses membuat Sivia terdiam. Kembali Sivia melirik lemari pendingin besar itu.

"Apa yang harus ku masak ? Jika semuanya penuh dengan kaleng-kaleng begini ?" Gumam Sivia frustasi, Ia menoleh kearah ruang keluarga, sepertinya ada bayangan atau orang lewat. Ah, mungkin saja itu hanya halusinasinya.

Sivia menjadi merinding, kembali Ia menoleh keruang keluarga. Tetap ! Tidak ada siapapun. "Alvin..." Panggil Sivia berharap Alvin telah pulang dan sedang bercanda.

"Alvin, kau kah itu ? Ini tidak lucu Vin. Alvin..." Sivia memberanikan diri melangkah menuju ruang keluarga.

"Alvin ! Jangan bercanda, aku takut Vin." Lengan Sivia tiba-tiba saja ditahan, lalu mulut dan hidungnya dengan cepat dibekap dengan sapu tangan yang sepertinya tercampur Alkohol. Tidak menunggu lama tubuh Sivia tumbang kemudian Ia dibawa sosok berpakaian hitam itu pergi.


*********

Persidangan perceraian itu berakhir dengan hasil yang Alvin harapkan, begitu juga dengan Agni. Agni berusaha untuk melupakan Zariel, dan akan mencoba hidup dengan Clara saja. Dia ingin fokus pada Clara dahulu saat ini, apalagi Ia mendapat kabar bahwa Clara tengah berada di Rumah Sakit.

"Kita ke Rumah Sakit sekarang ?" Sebuah suara membuyarkan lamunannya, Agni mendongak lantas tersenyum memberi isyarat bahwa Ia menyetujuinya. Sejak persidangan itu berlangsung bahkan yang membawanya kesini adalah Cakka, yah ! Cakka menemaninya.

Baru saja Cakka ingin mendorong kursi roda Agni, perempuan itu meminta untuk berhenti, tubuhnya menegang. Cakka tahu kenapa Agni ingin meminta berhenti, karena Zariel yang baru saja keluar dari ruang persidangan dan menatap tajam kearahnya. Agni menunduk, menyembunyikan ketakutannya.

Tetapi setelah itu, Zariel kembali melangkah meninggalkan mereka tak beberapa lama Alvin tengah berlari mengikuti Zariel. "Kau tidak sendiri, ada aku." Cakka memberi ketenangan pada Agni, dan hanya dibalas senyuman oleh perempuan itu.

"Kita pergi sekarang Kka." Akhirnya Cakka pun kembali mendorong kursi roda Agni menuju mobil, ada rasa aneh saat mendapati Agni melihat kearah Zariel tadi. Entah kenapa tatapan Agni masih mengharapkan sesuatu pada lelaki itu, tetapi Ia juga bernafas lega saat ini. Karena hubungan Agni maupun Zariel sudah benar-benar tandas dan berakhir. Entah kenapa Ia selega itu...


Alvin terus mengejar Zariel dan terus memanggil lelaki jangkung sahabatnya itu, namun tak sedikitpun direspon oleh Zariel.

"Yel ! Berhentilah..." Zariel akhirnya berhenti tanpa menoleh.

"Yel..ak..aku..."

"Tutup mulut mu !" Tatapan kemarahan itu kembali hadir, Yah. Zariel telah sadar, saat persidangan itu selesai. "Aku muak melihat mu, Pergi !" Ucapan itu begitu menusuk, tapi tidak membuat Alvin berhenti untuk meminta maaf.

"Yel....."

"Aku bilang tutup mulut mu, Alvin !" Rahangnya mengetat sempurna tatapan nyalang itu begitu bengis dan penuh kemarahan. Kemana sebenarnya Zariel yang dulu ? Kenapa keterbalikan dari sifat buruk Rio kini berbalik pada Zariel ?...

Zariel tersenyum sinis persis mengejek. "Kau tidak perlu mengurus urusan ku lagi, bukankah sekarang sudah tuntas ? Kau Urus saja pengantin baru mu itu, aku mencium bau-bau tidak sedap yang tengah terjadi dirumah mu." Alvin mematung, terdiam. Tubuhnya menegang, desiran darahnya begitu terasa cepat mengalir. Sivia ?

Ada apa dengan Sivia ? Alvin menatap mobil sedan hitam Zariel telah pergi. Beberapa detik Ia mencoba mengendalikan pikirannya. "Sivia !"

Seperti kesetanan, Alvin langsung berlari menuju mobilnya dan menggas cepat mobilnya menuju rumah. Ia berharap tidak terjadi sesuatu pada Sivia, Ya Tuhan Sivia.
"Tunggu aku Sivia, ku harap kau baik-baik saja."


*********

Rio, Ify, Cakka dan Agni tengah duduk menatap Clara yang masih tertidur di Bednya, sempat terjadi kebisuan diantara mereka berempat. Tapi akhirnya, dengan sikap Ify yang terlanjur polos dan memang sangat polos. Perbincangan itu tercipta, Rio masih betah berdiam tidak berminat sama sekali menatap Agni. Entah kenapa Ia sekarang begitu membenci perempuan itu.

Lain halnya dengan Cakka, yang memang mengenal Ify karena Adiknya Sivia adalah sahabat dari Ify. Tidak jarang ketika di desa Ify sering menginap dirumah Cakka dan Sivia.
"Aku pamit keruangan dokter, ingin menanyakan perkembangan Clara saat setelah mendapatkan pendonoran darah tadi malam." Rio mulai beranjak, Ify mengangguk setuju. Agni hanya berdiam tak berani menatap Rio.

"Aku ikut, boleh ?" Cakka bersuara terlihat ikut beranjak berdiri, Rio nampak berpikir. Tidak ada salahnya bukan Cakka ikut ? Dia berhak mengetahui perkembangan anak kandungnya sendiri. Rio mengangguk, lantas kedua Pria itu pun pergi.

Tinggalah Agni dan Ify.
"Fy..." Panggil Agni, sepertinya mereka mulai akrab dengan waktu beberapa menit lalu.

"Ya..." Ify tersenyum, ada sesuatu daya tarik tersendiri saat melihat Ify pikir Agni, Entah apa itu.

"Kau beruntung sekali dicintai 2 Pria, mereka memperebutkan untuk menjaga mu. Tidak dengan aku..." Ify merasa tidak enak lalu mengambil posisi duduk lebih mendekat ke kursi roda Agni. Dengan lembut, Ia pun mengusap lembut pundak Agni.

"Siapa bilang ? Rio dan Zariel berbeda. Aku hanya menangkap suatu Obsesi dari Zariel terhadap ku, jika dia memang mencintai ku dia pasti akan berhenti berharap yang tidak pasti." Jelas Ify, Agni tersenyum.

"Cakka menyukai mu, jadi jangan berpikir tidak ada Pria yang menyukai mu." Sambung Ify, jadi ini ? Ini yang merupakan point penting dan nomor satu dari Ify. Kenapa Ia begitu banyak disukai semua orang terutama Zariel dan saat ini dengan mudahnya Ia juga membuat Rio jatuh Cinta padanya. Ify terlalu baik, jujur, ramah dan penyayang. Pribadi yang begitu lembut.

"Maafkan aku Ify, karena aku kau harus mengalami semuanya. Terutama hubungan mu dengan Zariel." Ify menggeleng tegas.

"Itu dulu. Saat ini aku mempunyai Rio, aku hanya mencintainya." Jawab Ify cepat, membuat senyuman Agni tambah mengembang. "Kau Perempuan kuat, kau baik. Semua yang ada pada dirimu sungguh luar biasa, Fy. Jaga Rio baik-baik ya, dia tipe Pria Posesif."

"Aku tahu itu hahaha." Mereka berdua tertawa bersama, keakraban yang terjadi benar-benar mengental. Ify merasakan perutnya sakit, benar-benar sakit.

"Awww, Agni...Pe..perut ku...Sakit sekali." Agni berhenti tertawa lantas menatap Ify cemas. Wajah Ify terlihat pucat sekarang.

"Ify ! Darah.." Agni tampak panik saat melihat cairan merah itu mengalir hebat pada kaki Ify. apalagi, saat ini Rio dan Cakka belum kembali. Bagaimana ini ?

"Agni sakit sekali, agni sakit !" Dengan cepat Agni merogoh ponselnya lalu menelpon Cakka. Beberapa menit kemudian Rio dan Cakka datang, Rio terlihat sangat panik.

"Lekas bawa Ify, Agar dokter menanganinya. Aku takut terjadi sesuatu." Saran Agni, Rio langsung membopong Ify yang saat ini tengah mengalir cairan merah disekitar kakinya. Ify terus mengerang sakit, kecemasan dan kepanikan dari Rio benar-benar tidak tergambarkan. Matanya memerah. "Tahan sebentar sayang, ku mohon." Ia mengecup lembut puncak kepala Ify memberi kekuatan.

"Rio..sakit sekali." Air mata Ify mengalir karena tidak bisa menahan betapa dahsyatnya sakit yang Ia rasakan saat ini. "Sedikit lagi Fy, ku mohon bertahanlah." Rio terus melangkah menuju Ruangan Unit Gawat Darurat.

Dari kejauhan, seseorang tengah tersenyum sinis dan penuh kemenangan. "Aku kira akan sulit melakukan hal ini, ternyata sangat begitu mudah. Tahanlah Ify sayang, aku tidak akan mencelakai mu. Tapi aku ? Hanya ingin merenggut bayi itu. Tamatlah riwayat mu setelah ini, Argario Hahaha."


*******

Alvin membanting pintu rumah mewahnya, Sial ! Pintu rumah itu tidak terkunci bahkan bagian pengunci seperti di bobol oleh seseorang. Ia berusaha mencari Sivia, mencari satu persatu disetiap ruangan. Namun nihil ! Tidak ada Ia menemukan keberadaan Sivia.

Apakah ini rencana Zariel ? Kenapa Ia bisa tahu ? Berbagai kelabat pertanyaan menjurus kepada Zariel.

"Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan Zariel ! Kenapa harus Sivia ?" Alvin menghantam tembok rumahnya dengan satu pukulan. Kemarahannya memuncak, kemana Ia harus mencari Sivia sekarang ? Kemana ?

"Sivia...." Tubuh Alvin merosot kelantai, "Maafkan aku Sivia, aku terlambat datang." Sebuah sinar kecil tak jauh dari Ia terduduk membuat perhatian Alvin tersita. Gerakan cepat, Ia meraih benda kecil tersebut.

"Cincin ini ? Cincin Sivia ?." Alvin memejamkan matanya mencoba mencari jejak, "ja..ja...jadi...yang membawa Sivia ...." Tanpa menunggu detik berikutnya Alvin langsung pergi kembali. Tidak ! Ia tidak boleh terlambat, keselamatan Sivia benar-benar terancam.

"Tunggu aku Sivia."


**********
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Frisca Ardayani Book's - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger